KABARBURSA.COM – Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menjalankan sebuah kajian mendalam untuk memetakan potensi penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering/IPO) di Tanah Air.
Uniknya, proses ini tak hanya berfokus pada aspek teknis pasar, namun turut melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari kalangan grup usaha besar lintas sektor, termasuk perusahaan yang belum maupun yang sudah mencicipi lantai bursa.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengungkapkan bahwa inisiatif ini menjadi bagian dari upaya strategis untuk merumuskan kebijakan berbasis masukan riil dari pelaku industri.
"Saat ini kami tengah melakukan kajian terkait potensi IPO di Indonesia. Kajian ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk grup usaha dari berbagai sektor yang saat ini masih belum menggunakan pasar modal sebagai opsi pendanaan, maupun perusahaan yang telah IPO, guna mengetahui pengalaman mereka dan memetakan hal-hal yang menjadi masukan bagi kami dari atas proses yang telah dilakukan pada saat mereka IPO," jelas Nyoman melalui keterangan resminya di Jakarta, dikutip Kamis, 22 Mei 2025.
Nyoman menyebut bahwa sektor-sektor yang disasar dalam kajian ini cukup beragam, merepresentasikan wajah industri nasional saat ini, dari energi, infrastruktur, pertanian modern, manufaktur, hingga sektor digital yang berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Namun, BEI menekankan bahwa nama-nama perusahaan dan sektor tertentu tidak akan dipublikasikan selama proses kajian masih berlangsung. Proses diskusi pun dilakukan secara anonim guna menjaga objektivitas serta independensi proses evaluasi.
"Sebagai bagian dari proses perumusan kebijakan dan penyempurnaan regulasi, kami sampaikan bahwa BEI secara aktif mendengarkan pandangan dan aspirasi dari para pemangku kepentingan," kata Nyoman.
Lantas, apa saja masukan yang muncul dari para grup usaha besar ini? Menurut Nyoman, spektrum masukan yang diterima sangat luas, mulai dari aspek regulasi, proses administratif, hingga keberlangsungan ekosistem pasar modal yang menopang proses IPO itu sendiri. "Masukan yang kami terima tentu sangat beragam, mulai dari terkait peraturan, proses, hingga ekosistem pasar modal secara menyeluruh yang mendukung proses IPO di Indonesia," imbuhnya.
Meski tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa isu ketentuan free float menjadi perhatian utama, namun banyak pelaku industri diketahui mempertanyakan fleksibilitas dan kesiapan infrastruktur pasar dalam mendukung perusahaan yang ingin IPO, terutama dari sisi aturan yang dinilai masih bisa lebih adaptif terhadap dinamika sektor riil.
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah pelaku industri memang menyuarakan bahwa beban pemenuhan free float yang terlalu besar di awal bisa menjadi salah satu faktor penghambat. Namun, dalam narasi resmi BEI, tidak ada penekanan khusus pada satu poin semata. “Kami menerima seluruh masukan ini sebagai masukan yang baik untuk kami dapat melakukan perbaikan berkelanjutan,” ujar Nyoman.
Seluruh proses ini, menurut BEI, dilakukan dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas. Setelah kajian selesai, hasilnya akan diumumkan secara terbuka sebagai pijakan bagi kebijakan berikutnya. "Setelah proses kajian ini selesai, kami akan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik dan para pemangku kepentingan sebagai dasar pengambilan kebijakan lebih lanjut," ujar Nyoman.
Dengan demikian, langkah ini mencerminkan komitmen BEI untuk terus beradaptasi dan menyusun kebijakan yang inklusif, berbasis data, serta selaras dengan dinamika industri.
“BEI senantiasa berkomitmen untuk menyusun kebijakan yang berbasis data dan masukan dari pemangku kepentingan agar dapat menjawab tantangan pasar secara tepat dan mendukung pertumbuhan pasar modal Indonesia secara berkelanjutan,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Data perusahaan yang melantai di pasar modal Indonesia dari tahun ke tahun alami penurunan.
Perusahaan Daftar IPO Menurun
Dilansir dari laman resminya Bursa Efek Indonesia (BEI) jumlah perusahaan yang melantai melalui skema penawaran umum perdana saham (IPO) mengalami tren penurunan dalam empat tahun terakhir. Data yang dihimpun dari otoritas pasar modal menunjukkan bahwa pada 2021 terdapat 52 perusahaan yang melakukan IPO. Angka ini sempat meningkat menjadi 56 perusahaan pada 2022, namun mulai menunjukkan pelemahan signifikan dalam dua tahun berikutnya.
Pada 2023, jumlah perusahaan IPO meningkat tajam menjadi 78 entitas, namun hal ini terbukti tidak berkelanjutan. Memasuki tahun 2024, jumlah perusahaan yang tercatat melakukan IPO justru anjlok menjadi hanya 41 perusahaan, mencatatkan penurunan hampir 47 persen dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan ini mencerminkan kondisi makroekonomi yang masih penuh ketidakpastian serta meningkatnya kehati-hatian investor terhadap aset berisiko. Selain itu, tingginya suku bunga global dan pengetatan likuiditas menjadi faktor eksternal yang turut menghambat minat korporasi untuk mencari pendanaan lewat pasar saham.
Penurunan jumlah IPO juga dinilai tidak serta merta mencerminkan kelesuan ekonomi, tetapi lebih pada perubahan strategi pendanaan korporasi yang kini lebih selektif dan berhati-hati.
Analis Strategi Institute, Fauzan Luthsa, menilai turunnya jumlah perusahaan yang melakukan IPO tersebut karena strategi yang berkaitan dengan penjabat di pasar modal.
Salah satu orang yang menyebut dirinya sebagai aktivis 98 ini mengatakan penurunan itu menjadi sinyal perlunya perombakan komposisi direksi BEI, terutama menjelang periode kepemimpinan baru di lembaga tersebut.
“Pemenuhan target IPO tahun lalu saja gagal. Tahun ini ada kemungkinan terulang. Ini pertaruhannya pasar modal Indonesia,” ujar Fauzan dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com pada Jumat, 16 Mei 2025.
Menurutnya, salah satu penyebab utama rendahnya jumlah IPO adalah lemahnya kapasitas tim penilaian, yang dia klaim belum memiliki sertifikasi profesi penunjang pasar modal, baik secara nasional maupun internasional. "Sehingga sepertinya menggunakan asumsi akan kebutuhan sektor riil," ujar dia.
Ia mengatakan ada beberapa perusahaan yang sebenarnya sudah memenuhi persyaratan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) namun gagal melanjutkan proses IPO karena dinilai belum layak oleh BEI.
Sebagai langkah reformasi, Fauzan mengusulkan agar calon direksi BEI ke depan bukan berasal dari jalur karier internal bursa, melainkan dari kalangan sekuritas yang sudah memahami dinamika pasar dan memiliki sertifikasi kompetensi pasar modal.
Fauzan juga menyebut bahwa kewajiban sertifikasi sudah berlaku luas di berbagai profesi pasar modal, sehingga idealnya juga diberlakukan terhadap tim penilai IPO di BEI.
“Jadi sebaiknya tim yang melakukan penilaian atas calon emiten yang akan IPO, juga tersertifikasi,” kata dia.
Ia menekankan pentingnya sertifikasi sebagai standar minimal dalam mengelola pasar yang semakin kompleks. Direksi yang tersertifikasi dinilai lebih mampu menyusun strategi IPO yang inklusif dan menganalisis risiko berdasarkan data konkret.(*)