KABARBURSA.COM - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meyakini kebijakan penerapan short selling dapat meningkatkan likuiditas transaksi, meskipun menuai pro dan kontra. Bahkan BEI menargetkan penerapan mekanisme tersebut akan meningkatkan nilai transaksi saham sekitar 2 persen sampai 3 persen.
Irvan Susandy, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI, menyampaikan bahwa target tadi sejalan dengan data transaksi pasar saham yang meningkat di beberapa bursa pascapenerapan short selling, seperti Bursa Malaysia (BM) 2 persen, Stock Exchange of Thailand (SET) 2 persen, Hong Kong Exchange (HKEX) 17 persen, Singapore Exchange (SGX) 18 persen.
“Untuk di pasar modal Indonesia sendiri, karena ini sesuatu yang baru akan diperkenalkan, maka pada tahap awal kami menargetkan untuk turnover transaksi short selling disekitar 2-3 persen dari daily turnover yang ada saat ini,” ujarnya.
Menurut data BEI, indikator perdagangan saham BEI periode 24 sampai dengan 28 Juni 2024 ditutup mayoritas pada zona positif. Kenaikan tertinggi pekan ini terjadi pada rata-rata nilai transaksi harian, yaitu sebesar 6,49 persen sehingga menjadi Rp16,16 triliun dari Rp15,17 triliun pada penutupan pekan yang lalu.
Irvan menjelaskan, seiring dengan perkembangan bisnis, semakin banyaknya investor yang mengetahui risk dan return dari perdagangan short selling, serta semakin banyaknya Anggota Bursa yang berpartisipasi, maka angka ini akan meningkat dalam 1-3 tahun mendatang. Sementara itu, saat ini terdapat sekitar 10 hingga 12 Anggota Bursa (AB) yang sedang proses persiapan menjadi AB short selling dengan jenis AB yang bervariasi yaitu lokal, regional broker, dan BUMN.
Adapun lisensi transaksi Short Selling terbuka untuk seluruh Anggota Bursa. Untuk Anggota Bursa yang bisa mendapatkan lisensi transaksi short selling adalah Anggota Bursa yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam POJK 6 tahun 2024 tentang Pembiayaan Transaksi Efek oleh Perusahaan Efek bagi nasabah dan short selling oleh Perusahaan Efek dan Peraturan Bursa nomor III-I tentang Keanggotaan margin dan/atau short selling.
Ditambahkan Irvan, dengan short selling, investor memiliki pilihan untuk melakukan eksekusi atas suatu saham, sesuai dengan valuasi yang telah dianalisa. Selain itu, short selling juga disebut dapat membantu liquidity provider (yang ada di Pasar Structured Warrant dan Derivatif) untuk dapat melakukan hedging atas kuotasi yang diberikan di pasar sekunder instrumen produk terstruktur dan derivatif.
Dalam kajian yang telah dilakukan, short selling cenderung menstabilkan volatilitas pasar saham. Short selling dapat menambah alternatif pilihan investasi dan membuka peluang bagi investor yang ingin melakukan hedging dan profit management atas kondisi pasar yang bearish.
Sementara Presiden Direktur Schroder Investment Management Indonesia, Michael Tjoajadi mengatakan bahwa kehadiran liquidity provider di pasar saham Indonesia merupakan langkah positif yang mirip dengan mekanisme di pasar obligasi, di mana market maker berperan sebagai liquidity provider. “Liquidity provider akan membantu menciptakan likuiditas dan membuat pasar menjadi lebih efisien," ujarnya.
Dirinya pun menekankan pentingnya kriteria yang ketat bagi liquidity provider untuk memastikan mereka dapat menjalankan perannya dengan baik. Namun, tidak semua saham akan memiliki liquidity provider. “Pasti ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Liquidity provider lebih diperlukan untuk saham-saham yang kurang likuid, di mana jumlah investor dan profil investornya menjadi faktor penentu,” jelasnya.
Pasar Modal Stabil
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman menyampaikan bahwa pasar modal Indonesia yang maju dan stabil akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, hal tersebut tetap harus disertai dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat.
“Industri pasar modal memiliki peran yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan perekonomian negara,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pasar modal Indonesia sejak tahun 2019 telah mampu mencatatkan akumulasi penghimpunan dana senilai Rp479,42 triliun, di sisi lain sejak periode yang sama sektor perbankan mencatatkan total pinjaman beredar senilai Rp5.142 triliun. “Perbandingan ini menunjukkan bahwa pasar modal adalah alternatif strategi pendanaan yang kompetitif,” kata Iman.
Selain itu, lanjutnya, kontribusi pasar modal Indonesia bagi negara juga tercermin dari total nilai pajak yang dibayarkan oleh perusahaan tercatat yaitu senilai Rp185,17 triliun, atau sekitar 26 persen dari total pendapatan pemerintah tahun 2023. Kemudian, pembagian dividen oleh perusahaan tercatat kepada para investor juga meningkat menjadi senilai Rp366,6 triliun pada tahun 2023.
Di sisi lain, pihaknya mengingatkan terkait adanya peluang dan tantangan yang perlu dihadapi oleh pasar modal Indonesia. Dia menjelaskan, beberapa peluang, di antaranya Indonesia sebagai negara peringkat ke enam terbaik di Asia Tenggara dalam kemudahan berbisnis pada tahun 2020, serta bonus demografi dari populasi keempat terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat (AS), yang dapat diubah menjadi aset yang produktif bagi perekonomian Indonesia di masa depan.
Kemudian, beberapa tantangan, di antaranya adanya bahaya perlambatan ekonomi global, inflasi dan tingkat suku bunga yang meningkat, sehingga dapat mengurangi daya beli konsumen dan investasi dalam industri pariwisata.
“Serta ketegangan geopolitik, terutama di Timur Tengah yang dapat mempengaruhi harga komoditas, inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang,” ujar Iman. (*)