Logo
>

BI 'Biang Kerok' Pelemahan Rupiah, Kok Bisa?

Ditulis oleh KabarBursa.com
BI 'Biang Kerok' Pelemahan Rupiah, Kok Bisa?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan sedikit penguatan hari ini, namun kondisi ini tak serta-merta menandakan bahwa rupiah sedang baik-baik saja. Pada Selasa 25 Juni 2024 pukul 10:51 WIB, USD1 setara dengan Rp16.376,5. Rupiah terapresiasi 0,11 persen dibandingkan hari sebelumnya.

    Namun sepanjang tahun ini (year-to-date), mata uang Tanah Air membukukan pelemahan 6,35 persen. Rupiah menjadi yang terlemah di antara mata uang utama Asia.

    Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter menyebut salah satu penyebab depresiasi rupiah adalah persepsi terhadap arah kebijakan fiskal di bawah pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hal tersebut beberapa kali diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo.

    “Ada persepsi, belum tentu benar lho, yaitu akan kesinambungan fiskal ke depan,” kata Perry dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Juni, pekan lalu.

    Kemarin, Perry juga menyampaikan hal serupa dalam rapat di DPR. Perry menyebut bahwa arus modal asing (capital inflow) menurun dari Rp 80,29 triliun pada Mei menjadi Rp 28,05 triliun bulan ini.

    Dari sisi domestik, Perry menjelaskan terdapat dua faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, meningkatnya permintaan valas dari korporasi untuk membayar dividen dan utang. Kedua, munculnya persepsi di pasar mengenai kesinambungan fiskal ke depan.

    Apa yang disampaikan Perry memang tidak bisa dibilang salah. Sebab, persepsi seperti itu memang terbentuk di pasar. Fitch Ratings sudah memberikan wanti-wanti soal risiko fiskal tersebut. Dalam jangka menengah, risiko fiskal Indonesia diperkirakan bakal meningkat.

    “Kami meyakini risiko fiskal Indonesia dalam jangka menengah akan meningkat, karena janji kampanye pemerintahan mendatang. Prabowo menjanjikan, misalnya, makan siang dan susu gratis yang bisa menelan biaya 2 persen dari PDB, menurut perhitungan timnya. Prabowo juga menyatakan akan menaikkan rasio utang terhadap PDB dan menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen,” sebut keterangan tertulis Fitch.

    Ancaman terhadap keberlangsungan fiskal dan prospek pertumbuhan ekonomi memang membuat pelaku pasar menjadi gusar. Alhasil, Morgan Stanley merevisi ke bawah posisi bursa saham Indonesia menjadi underweight.

    “Kami melihat ketidakpastian jangka pendek mengenai arah kebijakan fiskal di masa depan serta beberapa pelemahan di pasar valas di tengah-tengah suku bunga AS yang masih tinggi dan prospek dolar AS yang menguat.”

    Akan tetapi, bukan berarti pula BI tidak punya ‘dosa’. Sedikit banyak MH Thamrin pun harus bertanggung jawab atas kejatuhan rupiah. Pertama adalah komunikasi BI yang kurang efektif, kurang mampu menenangkan pasar. Hal ini disinggung oleh Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar.

    “Masyarakat melihat, orang sudah bicara ini kita akan ke Rp 17.000/USD. Kalau sudah seperti itu apa yang terjadi, faktor kepercayaan masyarakat,” kata Misbakhun.

    {

    "width": "100 persen",

    "height": "480",

    "symbol": "FX_IDC:USDIDR",

    "interval": "D",

    "timezone": "Etc/UTC",

    "theme": "light",

    "style": "1",

    "locale": "en",

    "hide_top_toolbar": true,

    "allow_symbol_change": false,

    "save_image": false,

    "calendar": false,

    "hide_volume": true,

    "support_host": "https://www.tradingview.com"

    }

    Oleh sebab itu, Misbakhun menyarankan BI untuk memperkuat komunikasi kepada masyarakat atas pelemahan rupiah yang sedang terjadi. Misbakhun juga meyakini bahwa rupiah memiliki fundamental yang kuat.

    “Ini yang perlu dikuatkan pada masyarakat bagaimana masyarakat percaya pada sumber-sumber resmi yang disampaikan negara. Sebab begitu kita tembus Rp 16.000/USD, lari Rp 16.400/USD, ini sudah banyak yang bertaruh ini akan Rp 17.000/USD,” tegasnya.

    Pada 8 Mei lalu, Perry sempat menggelar jumpa pers yang disebutnya sebagai press briefing. Kala itu, Perry menjanjikan bakal memberikan press briefing secara berkala, bahkan setiap pekan.

    Namun janji tinggal janji. Hingga saat ini, belum ada press briefing lagi dari BI. Alhasil, masyarakat dan pelaku pasar tidak mendapatkan pembaruan informasi dari bank sentral secara berkala. Komunikasi yang rutin pun tidak terbentuk. Ini berisiko menyebabkan pasar menjadi ‘liar’ karena minimnya arahan dari otoritas moneter.

    Kedua adalah belum optimalnya BI dalam memupuk cadangan devisa. Per akhir Mei, cadangan devisa Indonesia tercatat USD 138,97 miliar. Naik dari bulan sebelumnya yang sebesar USD 136,22 miliar, dan menjadi kenaikan bulanan pertama pada tahun ini.

    Namun sejatinya cadangan devisa Indonesia tergerus sangat dalam. Dibandingkan posisi akhir 2023, cadangan devisa sudah berkurang lebih dari USD 7 miliar.

    BI bisa dibilang kurang memanfaatkan kenaikan harga emas untuk mendongkrak cadangan devisa. Mengutip catatan BI dalam Special Data Dissemination Standard (SDDS), cadangan emas moneter per akhir April ada di 2,53 juta troy ons. Hampir tidak bertambah dibandingkan posisi akhir tahun lalu.

    Bank Sentral China (PBoC), contohnya, melakukan aksi beli yang masif di emas. Hingga Mei, PBoC terus menambah cadangan emas mereka setiap bulannya selama 18 bulan berturut-turut.

    Per akhir Mei, cadangan emas PBoC tercatat 72,8 juta troy ons. Bertambah 16,22 persen dalam 18 bulan. Hasilnya, cadangan devisa China tetap kuat. Cadangan devisa China pada akhir Mei adalah USD 3,23 triliun. Hanya turun sedikit dibandingkan posisi akhir 2023 yang sebesar USD 3,24 triliun.

    Saat harga emas naik, cadangan devisa akan ikut terungkit jika porsi sang logam mulia bertambah. Ini yang dilakukan PBoC tetapi kurang ditempuh BI.

    Padahal, kekuatan cadangan devisa memberi kepercayaan kepada pasar. Cadangan devisa jumbo membuat pasar yakin bahwa bank sentral punya amunisi yang memadai untuk stabilisasi nilai tukar.

    Sebaliknya, cadangan devisa yang terus berkurang membuat pasar kurang percaya bahwa bank sentral punya ‘peluru’ untuk menjaga nilai tukar. Persepsi itu yang membuat rupiah tertekan.

    Oleh karena itu, kelesuan rupiah tahun ini tidak bisa dikatakan hanya gara-gara persepsi terhadap kebijakan fiskal. Persepsi yang terbentuk terhadap otoritas moneter pun ikut membuat rupiah lesu darah. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi