Logo
>

BI Rate Mungkin Tetap di 6 Persen, Prediksi Naik 25 Bps

Ditulis oleh KabarBursa.com
BI Rate Mungkin Tetap di 6 Persen, Prediksi Naik 25 Bps

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang dimulai hari ini dan berlangsung hingga besok, Rabu 24 April 2024, menarik perhatian karena dilakukan di tengah kondisi rupiah yang telah mencapai level terendah sejak April 2020. Meskipun ada desakan untuk menaikkan suku bunga acuan BI Rate guna memberikan dukungan lebih besar terhadap nilai tukar, mayoritas ekonom yang disurvei oleh Bloomberg masih memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga pada level 6 persen.

    Dari 41 ekonom yang disurvei, hanya 12 yang memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen. Namun, sejumlah bank asing seperti Goldman Sachs, Barclays Bank, BNP Paribas, dan DBS Bank, serta beberapa ekonom dari Bloomberg LP, Bahana Sekuritas, dan Trimegah Securities memperkirakan kenaikan suku bunga. Sementara itu, sebagian besar bank asing dan lokal lainnya mempertahankan prediksi bahwa BI Rate akan tetap pada 6 persen.

    Dalam prediksinya, bank-bank lokal seperti Bank BCA, Bank Mandiri, dan Permata Bank, juga memperkirakan tidak akan ada perubahan suku bunga. Hanya Bank Danamon yang hingga saat ini memperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 25 bps.

    Lebih banyak ekonom yang memperkirakan BI rate masih akan ditahan lagi di 6 persen pada Rabu esok. "Sejauh ini, ekspektasi inflasi masih di rentang yang sama," kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, yang memprediksi BI rate akan tetap di 6 persen.

    Dengan kata lain, bila mengacu pada potensi kenaikan inflasi ke depan, kenaikan BI rate belum perlu dilakukan saat ini meskipun nilai tukar rupiah telah kehilangan 5,3 persen nilainya sepanjang tahun ini.

    Inflasi Maret lalu memang terakselerasi ke 3,05 persen, tertinggi sejak Agustus 2023 karena lonjakan inflasi harga pangan menyusul peningkatan permintaan dengan kedatangan Ramadan dan Lebaran. Begitu musim perayaan berlalu, inflasi berpeluang kembali melandai. Berkaca pada hasil survei terbaru BI yang dirilis pekan lalu, ekspektasi inflasi ke depan yaitu pada Mei menurun terindiksi dari Indeks Ekspektasi Harga yang melandai dari 161 menjadi 147,8.

    "Perkiraan penurunan Indeks Ekspektasi Harga pada Mei 2024 terutama seiring dengan normalisasi aktivitas masyarakat pasca perayaan Idulfitri," jelas BI. Sementara ekspektasi harga pada enam bulan mendatang atau pada Agustus mencatat kenaikan jadi 164,9 dari 144,4.

    Ekonom BCA melihat, kemungkinan kenaikan BI rate tidak tertutup ke depan nanti apabila rupiah masih dalam tekanan yang terus menerus dan sinyal The Fed makin hawkish. Namun, untuk RDG bulan ini, BI rate ia perkirakan masih di 6 persen.

    Rupiah dinilai masih akan 'baik-baik saja' meskipun BI kembali menahan BI rate esok hari. Level saat ini di kisaran Rp16.200-an/USD menjadi kenormalan baru. "Selama tidak ada kejadian yang ekstrem, seharusnya [rupiah] aman. Paling jelek [ada sentimen dari data] inflasi Amerika tapi itu baru bulan depan," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas yang memprediksi BI akan kembali menahan bunga acuan esok hari.

    Di ujung pekan ini Amerika memang akan melaporkan data inflasi PCE (personal consumption expenditure) pada Jumat malam nanti. Meski inflasi PCE itu sangat diperhatikan oleh The Fed sehingga mempengaruhi sentimen pasar, akan tetapi 'gong' lebih besar baru berbunyi pada Mei nanti ketika inflasi IHK bulan April diumumkan oleh Badan Statistik AS. "Fokus pasar saat ini sudah mulai melihat ke bulan depan," kata Lionel.

    Bila BI rate diputus tetap, imbal hasil surat utang berpeluang turun dari posisi saat ini yang sudah di atas 7 persen untuk tenor pendek 2 tahun maupun 5 tahun. Sebaliknya, bila BI rate naik, ada potensi yield SUN melambung hingga di atas 7,2 persen.

    Modal asing sudah hengkang dari pasar keuangan domestik dengan nilai jual bersih mencapai lebih dari Rp30 triliun di pasar surat utang negara sejak awal tahun lalu. Di pasar saham, pekan lalu, asing net sell hampir Rp8 triliun namun masih mencatat posisi beli bersih bila dihitung sejak awal tahun.

    Para ekonom bank asing menilai, akan menjadi tindakan terbaik bila pengetatan moneter melalui kenaikan BI rate terus dilanjutkan untuk menyokong rupiah. "Pelemahan rupiah akan terus terjadi bila BI kembali menahan bunga acuan pekan ini. Pengetatan lebih lanjut akan menjadi tindakan terbaik," kata Brendan McKenna, Ahli Strategi Mata Uang di Wells Fargo.

    Rupiah berpeluang menyentuh Rp16.500/USD tertekan sentimen bunga global di mana periode pivot Fed fund rate diperkirakan mundur jadi September dengan penurunan lebih sedikit.

    Rupiah bahkan bisa anjlok hingga ke level terlemah sepanjang sejarah di Rp17.000/USD pada September nanti bila tidak ada kebijakan yang mampu menahan arus keluar modal asing dari pasar domestik. "Pelemahan menuju Rp17.000/USD akan terjadi bertahap, tidak serta merta. Namun, tanpa kenaikan BI rate, tidak akan membantu [rupiah kembali menguat]," kata Elias Hadad, Senior Market Strategist di Brown Brothers Harriman di London.

    Saat ini, tekanan jual masih berlangsung di pasar surat utang meski sudah lebih termoderasi. Yield SUN 2Y masih bertahan di kisaran 7,017 persen, sementara tenor 10Y saat ini ada di 7,053 persen. Kurva imbal hasil yang mendatar itu memberi sinyal pasar sudah bersiap-siap bila bunga acuan naik.

    Sinyal juga datang dari lelang sekuritas tenor pendek Bank Indonesia. Jumat pekan lalu, dalam lelang Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yield untuk tenor 6 bulan menyentuh 6,81 persen dan 12 bulan di 6,94 persen, tertinggi sejak Oktober lalu ketika BI rate naik ke 6 persen.

    Lebih dari itu, sokongan bagi rupiah apabila terjadi guncangan pelemahan lagi juga semakin minim menyusul anjloknya nilai cadangan devisa hingga USD6 miliar hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Bulan lalu, nilai cadev bahkan turun hingga USD3,6 miliar.

    Rupiah sudah melemah 3,4 persen selama April saja dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Dalam pernyataan sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo pernah melontarkan petunjuk bahwa BI rate perlu naik bila rupiah sampai terperosok lebih dari 2 persen.

    "[Menguatkan rupiah] melalui intervensi ke pasar valas secara terus menerus, meminjam istilah Anwar Nasution [mantan Deputi Gubernur BI] seperti menuangkan air pada pasir," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas yang memprediksi BI menaikkan 25 bps pada hari Rabu nanti.

    Berkaca dari histori pergerakan BI rate selama ini, di bawah kepemimpinan Perry, kenaikan bunga acuan hampir selalu untuk 'menolong' rupiah alih-alih demi menjinakkan inflasi, menurut ekonom Bloomberg LP Tamara M. Henderson yang memprediksi akan ada kenaikan 25 bps untuk BI rate.

    Rupiah bukan hanya menghadapi risiko yang muncul dari arah bunga global, melainkan juga dari tensi geopolitik di Timur Tengah yang meningkat dan bisa mengerek inflasi harga energi akibat lonjakan harga minyak dunia ditambah kenaikan biaya logistik global.

    "Kami tidak melihat dampak yang signifikan pada perekonomian bila BI rate naik 25 bps. Proyeksi kami, ekonomi Indonesia tahun ini masih tumbuh 5 persen," kata Tamara, sembari menambahkan menahan BI rate masih mungkin hanya bila rupiah mampu kembali ke kisaran sebelum kejatuhannya.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi