KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) telah mengumumkan kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen pada April 2024. Terkait hal ini, para ekonom memperingatkan perbankan untuk melakukan penyesuaian ulang terhadap kegiatan operasionalnya setelah kenaikan BI Rate.
Ekonom Senior dan Associate Faculty dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto, menjelaskan bahwa hal ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kreditur dan debitur agar tidak mengganggu aktivitas ekonomi pelaku usaha.
“Harapannya, kenaikan BI Rate ini tidak harus diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit perbankan dan pinjaman lembaga pembiayaan secara otomatis karena berpotensi meningkatkan risiko kredit dengan implikasinya,” ujar Ryan dalam keterangan resminya, Rabu 24 April 2024.
Ryan juga menyarankan agar perbankan mempertimbangkan melakukan stress test untuk menguji ketahanan bank-bank secara individu, terutama mengingat ketegangan geopolitik yang terus memanas di Timur Tengah belakangan ini.
“Dengan cara demikian, recovery plan dapat segera ditindaklanjuti sebagai upaya menjaga kesinambungan pertumbuhan dan perkembangan bank sebagai lembaga intermediasi,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, keputusan BI menaikan suku bunga acuannya sebesar 25bps merupakan pilihan terbaik yang dapat dilakukan. Menurutnya, hal itu masih dapat ditoleransi oleh pelaku pasar dan para pebisnis.
Untuk diketahui, BI mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi April. Sesuai ekspektasi, Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat mengumumkan kenaikan suku bunga acuan.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen, suku bunga Deposit Facility menjadi 5,5 persen, dan suku bunga Lending Facility menjadi 7 persen," ungkap Perry dalam jumpa pers usai RDG, Rabu 24 April 2024.
Terkait hal itu, Ryan menyebut kenaikan BI Rate dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global, serta untuk memastikan inflasi tetap dalam target 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025.
“Jadi, upaya untuk menahan daya tahan nilai tukar rupiah menjadi basis prioritas pertimbangan RDG BI kali ini,” jelas Ryan.
Meskipun begitu, ia yakin keputusan tersebut akan memberikan ruang untuk perekonomian RI tumbuh dengan penekanan pada kebijakan makroprudensial didukung kebijakan sistem pembayaran yang efisien dan efektif.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong ekspansi penyaluran kredit, pembiayaan ke sektor prioritas yang meliputi sektor hilirisasi, konstruksi dan perumahan, ekonomi kreatif, otomotif, perdagangan, listrik, gas, air bersih ,serta jasa sosial.
“Kebijakan ini didorong dengan memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong ekspansi penyaluran kredit dan/atau pembiayaan melalui perluasan cakupan sektor prioritas,” kata Ryan.