Logo
>

BI Rate Tetap 6,25 Persen: Dovish Hold-Proyeksi Penurunan

Ditulis oleh Syahrianto
BI Rate Tetap 6,25 Persen: Dovish Hold-Proyeksi Penurunan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuannya, BI rate, pada level 6,25 persen, dalam Rapat Dewan Gubernur bulan Mei yang diumumkan Rabu, 22 Mei 2024 kemarin. Keputusan ini mencerminkan kecenderungan yang bersifat dovish hold, menunjukkan bahwa langkah selanjutnya dari BI adalah untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga tersebut, dengan kemungkinan penurunan di masa mendatang, terutama jika ada pengurangan suku bunga yang diantisipasi oleh Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (Fed fund rate/FFR) dalam 2024 ini.

    Menurut evaluasi terakhir Dewan Gubernur Bank Indonesia, kenaikan sebesar 25 basis poin pada bulan April telah dianggap cukup untuk mengantisipasi risiko potensial yang terkait dengan penundaan kenaikan tingkat bunga oleh The Fed. Namun, berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh otoritas di Amerika Serikat (AS), Bank Indonesia memperkirakan kemungkinan penurunan tingkat suku bunga Fed fund rate tahun ini masih ada, setidaknya satu kali penurunan sebesar 25 basis poin. Oleh karena itu, langkah kenaikan BI rate menjadi 6,25 persen pada bulan April dianggap sudah cukup.

    "Saat ini, indikasinya lebih baik artinya sekarang pun terkonfrmasi bahwa FFR akan lebih besar ke skenario baseline yaitu turun satu kali tahun ini, berdasarkan informasi saat ini dan bacaan kami terhadap beberapa data ekonomi AS, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi dan statemen para pejabat-pejabat The Fed. Itu mengonfirmasi kenaikan BI rate sekali sebesar 25 bps pada bulan lalu kami rasa sudah cukup untuk terus menarik aliran modal asing dan cukup untuk membuat rupiah stabil dan menguat dan memastikan inflasi tetap dalam sasaran," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI di kantor Bank Indonesia.

    Penegasan itu mengulangi pernyataan Perry tentang stance kebijakan bank sentral dalam media briefing dua pekan lalu bahkan ketika posisi cadangan devisa sudah longsor tajam hingga lebih dari US$4 miliar bulan lalu. Juga, di tengah kenaikan permintaan valas di pasar domestik yang biasanya memuncak pada kuartal dua seiring jadwal pembayaran dividen, pembayaran utang luar negeri jatuh tempo juga musim haji.

    Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang melebar pada kuartal satu lalu bersamaan dengan defisit Transaksi Berjalan dan Transaksi Modal dan Finansial (triple deficit) diyakini akan membaik pada kuartal dua ini. "Perkembangan terkini pada triwulan II-2024 menunjukkan NPI kembali membaik ditopang oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan pada April sebesar US$3,6 miliar dolar AS didukung oleh ekspor nonmigas. Sementara itu, aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II sampai data 20 Mei lalu, secara neto tercatat sebesar US$1,8 miliar," jelas Perry.

    BI memperkirakan, NPI tahun ini akan terjaga defisitnya di level rendah di kisaran 0,1 persen-0,9 persen dari Produk Domestik Bruto. Sedangkan Transaksi Modal dan Finansial diprediksi masih akan surplus tahun ini seiring meredanya ketidakpastian pasar global, persepsi modal asing yang membaik terhadap aset-aset di pasar domestik serta imbal hasil investasi yang menarik.

    Bauran Kebijakan BI

    Keyakinan BI bahwa kebijakan saat ini sudah cukup memadai dan fundamental rupiah akan terus mendapatkan dukungan terutama dari aliran arus masuk modal asing, tidak bisa dilepaskan dari langkah bank sentral yang semakin agresif mengimingi global fund dengan bunga tinggi melampaui suku bunga kebijakan.

    Sebagai gambaran, instrumen penampung hot money, dana asing jangka pendek, terbaru dari Thamrin yang disebut Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sempat memberikan tingkat bunga diskonto hingga 7,53 persen untuk tenor 12 bulan, jauh di atas level BI rate di 6,25 persen.

    Dalam lelang terakhir 17 Mei lalu, bunga SRBI diberikan masing-masing di kisaran 7,29 persen (6 bulan), lalu 7,38 persen (9 bulan) dan 7,48 persen (12 bulan). Jauh lebih tinggi dibanding surat utang pemerintah (SBN) tenor 3 bulan dan 12 bulan masing-masing di 6,60 persen dan 6,89 persen.

    Dengan imbalan tinggi, SRBI berhasil menarik peningkatan minat investor dengan kini outstanding mencapai Rp508,41 triliun di mana investor asing menguasai 28,1 persen atau setara Rp142,9 triliun. Angka itu jauh meningkat dibanding bulan sebelumnya di mana proporsi asing baru sekitar 18,8 persen.

    Mengandalkan SRBI untuk menarik modal asing dengan bunga jauh di atas policy rate, menuai kritikan dari para ekonom karena dikhawatirkan akan memicu instabilitas rupiah akibat tersandera hot money, juga akan membatasi fleksibilitas kebijakan bank sentral dalam jangka panjang.

    Pasalnya, pada saat yang sama, BI juga terus menumpuk kepemilikan SBN hingga saat ini keluar sebagai penguasa obligasi pemerintah terbesar di pasar sekunder. Data Kementerian Keuangan mencatat per 20 Mei 2024, BI menguasai 22,94 persen dari total SBN yang beredar di pasar sekunder, setara dengan kepemilikan bersih Rp1.311,02 triliun, jauh lebih besar dibanding kepemilikan perbankan dan institusi swasta lain seperti industri asuransi, dana pensiun dan mutual fund.

    Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, sebagian merupakan dampak dari skema burden sharing saat pandemi 2020, bukanlah tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020. Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi akan membengkakkan biaya moneter dan memicu defisit anggaran BI tahun ini menjadi Rp29,3 triliun, dari proyeksi surplus neraca tahun 2023 sebesar Rp27,2 triliun.

    Defisit neraca bank sentral bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter di mana dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3 persen, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.

    Selain itu, bunga tinggi SRBI juga dapat mempengaruhi likuiditas di pasar di mana bunga SBN bisa ikut terkerek dan bisa berdampak pada cost of fund atau biaya utang pemerintah menjadi lebih mahal.

    Pada sisi lain, kendati kini skema burden sharing telah berakhir, kepemilikan SBN oleh bank sentral nyatanya malah semakin besar. Perry menjelaskan, pembelian SBN oleh bank sentral pada dasarnya adalah bagian dari sinergi bank sentral bersama-sama Kementerian Keuangan menstabilkan nilai tukar rupiah.

    "Kami beli [SBN] bila terjadi outflow karena [outflow] berdampak pada kenaikan yield yang berlebihan. Kalau sekarang, ya, tidak perlu [membeli SBN]. Jadi itu bagian dari koordinasi dengan Kementerian Keuangan, begitu juga mengenai SRBI ataupun yang berkaitan dengan pembelian SBN di pasar sekunder," kata Perry.

    Menurut ekonom, berakhirnya skema burden sharing seharusnya membuat BI mengurangi sedikit demi sedikit eksposurnya di SBN. Hanya saja, dengan risiko pelemahan yang masih dihadapi oleh rupiah, menjual SBN tidak bisa begitu saja dilakukan bank sentral karena akan menyeret nilai tukar rupiah juga. "Akhirnya, BI kini seperti tersandera, maju kena mundur kena," kata Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira.

    "Seharusnya setelah berakhir [skema burden sharing], proporsi SBN milik BI turun. Bila ini dilanjutkan, bisa-bisa pemerintah semakin agresif menerbitkan SBN 'toh ada BI sebagai standby buyer. Disiplin fiskal pemerintah jadi melemah, dan BI seperti berada di bawah 'ketiak' pemerintah," imbuh Bhima.

    BI Memungkinkan Naik

    Analisis Bahana Sekuritas memperkirakan, BI masih akan menaikkan lagi BI rate tahun ini meski sinyal dovish berulang ditegaskan oleh Perry.

    "BI kemungkinan besar mempertahankan kebijakannya dan kemungkinan menaikkan bunga lagi dalam dua bulan ke depan," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, sebelum pengumuman BI rate hari ini.

    Prediksi itu keluar menimbang risiko tekanan pelemahan mata uang Asia masih terbuka terutama karena ada gelagat China akan berupaya mendevaluasi yuan untuk mengimbangi dampak tarif AS terhadap kinerja ekspornya.

    Selain itu, Amerika diprediksi akan semakin agresif menambah utang jelang pemilihan umum pada November nanti dan bisa menambah bobot ketidakpastian atas prospek bunga The Fed.

    Pengamatan terhadap sektor industri kelapa sawit juga mempengaruhi prospek rupiah. "Sektor ini adalah pemasok dolar terbesar di Indonesia karena para eksportir seringkali harus mengkonversi devisanya untuk membayar upah para pekerja. Produksi CPO lebih tinggi baik di Malaysia dan Indonesia bisa membawa harga minyak kelapa sawit melemah dan arus masuk devisa ikut turun," jelas Satria.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.