KABARBURSA.COM - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengumumkan bahwa proyek Light Rail Transit (LRT) Bali, yang menghubungkan Bandara I Gusti Ngurah Rai dengan Sunset Road, akan dibangun di bawah tanah (underground). Rencana pembangunan ini sesuai dengan studi kelayakan (feasibility study/FS) yang telah selesai beberapa waktu lalu.
"Untuk Tahap 1A ini sepenuhnya underground," ungkap Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal, Minggu, 9 Juni 2024.
Risal menjelaskan, keputusan untuk membangun LRT Bali di bawah tanah bertujuan untuk menghindari masalah sosial, meskipun biaya pembangunan akan lebih tinggi dibandingkan dengan konstruksi di atas tanah. Berdasarkan studi kelayakan, proyek ini diperkirakan memerlukan biaya sebesar USD876 juta atau setara Rp14,19 triliun (kurs Rp16.200 per dolar AS).
"Kalau hanya melihat biaya konstruksi, tentunya underground akan lebih mahal dibandingkan at-grade. Namun, jika dibangun at-grade, masalah sosial seperti pembebasan lahan dan lain-lain bisa menyebabkan biaya yang lebih tinggi," jelas Risal.
Lokasi pembangunan LRT Bali Tahap 1A akan melewati wilayah padat penduduk, tempat wisata, dan akses jalan yang kecil. Situasi ini akan memerlukan pembebasan lahan yang cukup banyak, yang dapat menambah biaya. Oleh karena itu, proyek ini diputuskan untuk dibangun di bawah tanah guna menghindari masalah sosial dan kesulitan dalam proses konstruksi.
Keputusan ini telah dikaji dalam studi kelayakan yang juga di-review oleh Kemenhub dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
"Dalam studi kelayakan ada kajian alternatif pemilihan trase, dan berdasarkan studi kelayakan terpilih trase underground," ujar Risal.
Detail Proyek LRT Bali Tahap 1A
Proyek LRT Bali Tahap 1A akan dibangun sepanjang 6,04 kilometer (km) dan memiliki 5 stasiun, yaitu Bandara I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Pura Desa Adat, Central Park, dan Sunset Road.
Sebelumnya, Kementerian PPN/Bappenas mengungkapkan bahwa pembangunan LRT Bali di bawah tanah bisa tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan jika dibangun di atas tanah.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas Ervan Maksum menjelaskan bahwa beberapa aturan pembangunan di Bali tidak bisa dilanggar, seperti ketentuan bahwa bangunan tidak boleh lebih tinggi daripada pohon kelapa.
"Kita lihat, di Bali itu ada masalah besar, di mana bangunan itu tidak boleh lebih tinggi daripada pohon kelapa, enggak boleh ke atas. Dan kalau mau pelebaran jalan, banyak pura. Bagaimana? Harus ke bawah, satu-satunya cara," kata Ervan dikutip dari YouTube Pustralugm.
Ervan juga menambahkan bahwa meskipun panjang jalur LRT Bali hanya 5,3 kilometer yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Extended Terminal dan area parkir di Kuta Central Park, perkiraan kebutuhan investasi pembangunan sebesar USD596,28 juta atau setara Rp9,17 triliun.
"Ke bawah itu bisa tiga kali harga daripada kalau (dibangun) di atas," terang Ervan.
Saran dari Pengamat untuk LRT Bali
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang fokus pada proyek LRT Bali setelah menyelesaikan studi kelayakan. Pembangunan LRT di pulau tersebut menjadi semakin penting untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang meningkat seiring dengan pertumbuhan masyarakat dan sebagai respons terhadap lonjakan kendaraan bermotor, terutama di destinasi wisata utama seperti Bali.
Menurut data Pemprov Bali, jumlah sepeda motor dan mobil pada tahun 2023 mencapai 4,8 juta unit, meningkat 4 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Selain itu, panjang jalan juga mengalami penurunan sebesar 4 persen, dari 9.800 km pada tahun 2020 menjadi 8.700 km pada tahun 2023. Risal Wasal, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, menyatakan bahwa studi kelayakan untuk proyek LRT Bali telah selesai.
"Rencananya jalur LRT Bali akan dibangun di bawah tanah atau underground," kata Risal, dikutip Minggu, 9 Juni 2024.
Risal mengatakan, nilai investasi proyek ini kurang lebih sekitar USD876 juta atau setara dengan Rp14,2 triliun. LRT Bali tahap 1A rencananya akan memiliki lintasan sepanjang 6,04 kilometer.
Jalur LRT rencananya akan membentang dari Bandara I Gusti Ngurah Rai ke kawasan Sunset Road. Pada tahap awal ini, LRT Bali akan memililki 5 stasiun pemberhentian, yakni Bandara Ngurah Rai, Kuta, Pura Desa Adat, Central Park, dan Sunset Road.
Risal tidak dapat memperinci target peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek ini. Dia menuturkan, target ini bergantung pada kesiapan Pemprov Bali dalam menyelesaikan perencanaan, termasuk lelang atau tender proyek tersebut.
LRT Bali adalah salah satu bagian dari Bali Urban Rail yang merupakan rencana pengembangan angkutan massal di Bali. Implementasi Bali Urban Rail selanjutnya akan dilaksanakan dengan skema business to business (B2B) dan dapat dimulai dari perpanjangan LRT Bali ataupun koridor lainnya di luar koridor LRT Bali.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) merespons proposal pemerintah untuk memperkenalkan sistem transportasi umum massal berupa LRT di Bali. MTI menyarankan agar pemerintah fokus terlebih dahulu pada pengembangan transportasi berbasis jalan sebelum memulai pembangunan jenis moda transportasi lainnya.
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota MTI Pusat, Aditya Dwi Laksana, mengungkapkan pentingnya adanya layanan transportasi publik di Bali, mengingat minimnya opsi angkutan umum di sana. Ia menyoroti pertumbuhan populasi yang cepat serta meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali sebagai faktor penting. Aditya juga menekankan tingginya mobilitas wisatawan di Bali karena statusnya sebagai destinasi wisata utama bagi baik penduduk lokal maupun turis mancanegara.
Meski demikian, dia menyebut pengembangan angkutan umum berbasis jalan akan lebih optimal dibandingkan moda kereta. Hal tersebut karena budaya penggunaan angkutan umum oleh masyarakat Bali belum terbentuk secara optimal.
"Angkutan umum berbasis jalan seperti Bus Rapid Transit, mikrobus dan bus ulang alik (shuttle) sebenarnya lebih baik untuk dikembangkan lebih optimal di Bali. Seharusnya pemerintah lebih fokus dulu mengembangkan moda-moda ini," kata Aditya.
Selain mengembangkan angkutan berbasis jalan, pembentukan budaya penggunaan kendaraan umum massal juga dapat dilengkapi dengan pembatasan penggunaan kendaraan.
Aditya menyarankan, pembatasan tersebut dapat dilakukan pada beberapa kawasan tertentu sebelum diperluas.
Setelah budaya penggunaan angkutan umum terbentuk, pembangunan transportasi publik jenis lain seperti LRT atau MRT baru dapat dikaji secara matang. Dia menuturkan, pembangunan moda angkutan berbasis rel memakan waktu relatif panjang dan biaya investasi yang sangat tinggi.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kajian mendalam tentang kebutuhan awal tujuan (origin destination) perjalanan masyarakat. Hal tersebut agar moda transportasi berbasis rel yang dibangun nantinya dapat memenuhi mobilitas masyarakat secara optimal.
"Ini agar menghindarkan moda transportasinya dari minimnya minat sehingga okupansinya rendah, contohnya bus Trans Sarbagita dan Trans Metro Dewata,” pungkasnya. (*)