KABARBURSA.COM – Laporan per September 2025 menempatkan PT Bank BJB (BJBR) dalam posisi serba tanggung. Pendapatan bunga bersih tumbuh, tapi laba bersih justru tergerus dalam.
Hingga kuartal III/2025, diketahui laba yang diatribusikan ke pemilik entitas induk hanya Rp790,7 miliar, jatuh 32 persen dari Rp1,16 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini terjadi bukan karena mesin pendapatan macet, melainkan karena biaya yang berlari lebih kencang daripada pendapatan.
Secara topline, pendapatan bunga dan syariah naik 10,0 persen menjadi Rp12,79 triliun. Setelah dikurangi beban bunga dan bagi hasil Rp7,28 triliun, net interest income naik lebih cepat, +13,8 persen ke Rp5,51 triliun.
Artinya, manajemen masih mampu menjaga spread di tengah suku bunga yang belum sepenuhnya longgar. Masalahnya, di sisi lain beban operasional lainnya melompat 18,3 persen menjadi Rp5,89 triliun.
Lonjakan biaya, yang lazimnya mencakup provisi kerugian penurunan nilai (CKPN), biaya pegawai, dan investasi TI, menyerap habis tambahan margin bunga. Imbasnya terasa langsung, laba operasional susut 6,2 persen ke Rp1,38 triliun. Begitu pula dengan laba sebelum pajak yang turun ke Rp1,37 triliun, dan setelah pajak, laba tahun berjalan tersisa Rp1,14 triliun.
Dari jumlah itu, porsi untuk pemilik induk sebanyak Rp790,7 miliar. Sisanya, Rp347,8 miliar, terserap sebagai kepentingan nonpengendali. Struktur ini semakin menekan kinerja “core” pemegang saham publik.
Aset Turun, Kredit Anjlok, DPK Naik Tipis
Di neraca, sinyal kehati-hatian terasa. Total aset menurun 1,86 persen menjadi Rp215,87 triliun dibanding akhir 2024. Kredit yang diberikan turun 3,2 persen dari Rp135,22 triliun ke Rp130,89 triliun.
Ini bukan sekadar perlambatan, tetapi kontraksi buku pinjaman yang biasanya menjadi sumber utama pendapatan bank daerah. Sebaliknya, DPK justru naik tipis ke Rp148,27 triliun (dari Rp142,61 triliun).
Kombinasi kredit turun dan DPK naik berpotensi menurunkan Loan-to-Deposit Ratio (LDR). Likuiditas membaik di atas kertas, tetapi profitabilitas tertekan karena aset produktif mengecil.
Dengan kredit menyusut tetapi NII masih tumbuh, dapat dibaca bahwa yield aset naik (pricing kredit/penempatan lebih tinggi) atau biaya dana relatif terkendali. Namun, kenaikan biaya operasional, termasuk kemungkinan provisi, meniadakan manfaatnya di bottom line.
Pasar menangkap pelemahan ini tanpa panik, namun tetap memberi diskon valuasi. Harga BJBR pada 4 Nov berada di Rp805 (-0,62 persen harian). Dalam 1 bulan, masih naik +5,88 persen, tapi data 6 bulan justru turun -4,71 persen dan year-to-date -12,9 persen dari Rp925.
Trajektori ini menggambarkan derating bertahap. Investor mengakui daya tahan pendapatan bunga, tetapi meragukan kendali biaya dan momentum pertumbuhan kredit dalam jangka pendek.
Arus Biaya Tidak Disiplin Dibanding Laju Pendapatan
Intinya, problem 9M25 BJBR bukan pada kemampuan menghasilkan pendapatan bunga melainkan pada arus biaya yang tidak disiplin dibanding laju pendapatan. Jika lonjakan biaya banyak berasal dari CKPN, maka hasilnya bisa: negatif untuk laba kini, namun positif sebagai bantalan kualitas aset ke depan.
Tetapi jika didominasi oleh biaya struktural (seperti pegawai, IT, overhead) tanpa perbaikan produktivitas, maka marjin akan terus tergerus.
Di saat yang sama, kontraksi kredit menjadi sinyal yang perlu segera dibalik. Pada dasarnya, bank daerah hidup dari penetrasi kredit payroll PNS/ASN, konsumtif, dan UMKM. Jadi, bila buku menyusut, skala ekonomi hilang dan leverage operasional tidak bekerja.
Ke depan, ujian BJBR ada pada tiga hal. Pertama, menahan beban operasional agar pertumbuhan NII jatuh ke bottom line. Kedua, menyalurkan kembali kredit secara prudent untuk memulihkan pendapatan berbasis aset dan ketiga, mengangkat fee-based income agar tidak terlalu bergantung pada spread bunga.
Tanpa perbaikan pada tiga titik ini, bank akan tetap solid secara likuiditas namun kurus secara profit. Saat ini, narasi BJBR masih “defensif”, ditandai dengan marjin ditopang, namun profitabilitas dan pertumbuhan perlu dibuktikan lagi.(*)