Logo
>

Bos MIND Curhat: Timah RI Kritis Tambah Monopoli Swasta

Indonesia sempat menyumbang 17,5 persen pasokan timah dunia pada 2023

Ditulis oleh Dian Finka
Bos MIND Curhat: Timah RI Kritis Tambah Monopoli Swasta
Ilustrasi Timah. Foto: dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Tekanan terhadap pasar timah global makin terasa seiring turunnya kontribusi ekspor Indonesia dalam dua tahun terakhir. Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), Maroef Sjamsoeddin, menegaskan bahwa Indonesia memegang peran vital dalam ekosistem perdagangan timah dunia, sehingga perlunya reformasi tata kelola yang menyeluruh dan lintas sektor.

“Komoditas timah belum bisa tergantikan oleh bahan lainnya di pasar global. Maka, kebutuhan akan timah terus meningkat setiap tahun,” ujar Maroef dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025.

MIND ID mencatat, Indonesia sempat menyumbang 17,5 persen pasokan timah dunia pada 2023 dengan volume produksi 65 ribu ton. Namun pada 2024, angka itu anjlok jadi 45 ribu ton, hanya setara 12 persen dari pasokan global. 

“Penurunan ini langsung memengaruhi harga. Dari rata-rata 26.583 dolar AS per ton pada 2023, kini naik jadi 31.164 dolar AS per ton di 2024,” paparnya.

Maroef menyoroti pentingnya kolaborasi dengan sesama produsen utama dunia seperti Tiongkok dan Peru. 

“Strategi Indonesia ke depan harus mengarah pada kerja sama strategis tiga poros: Indonesia, China, dan Peru, agar kita bisa memperkuat posisi tawar dalam pasar global,” jelasnya.

Tata Kelola Masih Tumpang Tindih

Dalam paparannya, Maroef membagi sistem tata kelola timah menjadi tiga segmen: hulu, niaga, dan industri. Namun saat ini, pengelolaan masih terfragmentasi di banyak kementerian. 

“Kementerian ESDM dan KLHK pegang hulu, Kemendag pegang niaga, dan Kemenperin pegang hilir. Tanpa koordinasi lintas sektor, kita sulit mewujudkan tata kelola yang komprehensif,” tegasnya.

PT Timah saat ini tengah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) ke Kementerian ESDM. Namun proses distribusi dan hilirisasi bergantung pada kementerian lain. 

“Kita perlu kebijakan yang sinkron dari hulu ke hilir agar potensi timah bisa dimaksimalkan untuk negara,” kata Maroef.

Swasta Kuasai 75 Persen Produksi, PT Timah Tergerus

Salah satu sorotan tajam datang dari dominasi produksi timah oleh sektor swasta. Berdasarkan data internal, 75 persen produksi timah nasional dikuasai swasta, sementara PT Timah hanya menyumbang 25 persen.

“Padahal wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah sangat luas, mencapai lebih dari 473 ribu hektare, gabungan dari IUP darat dan laut,” jelas Maroef.

Ia menyebut lemahnya kontribusi BUMN ini tak lepas dari tumpang tindih perizinan dan tata kelola yang tidak optimal. 

“Harus ada perbaikan menyeluruh agar PT Timah bisa lebih dominan, bukan justru kalah dari swasta di negeri sendiri,” sindirnya.

Maroef menegaskan bahwa timah harus diposisikan sebagai mineral strategis dan kritis dalam kerangka pembangunan nasional. Ia mengingatkan bahwa sejak liberalisasi tambang pada era 1998, regulasi sektor timah terus berubah dan menciptakan ketidakpastian.

“Kita pernah ada di fase PT Timah dan Kobatin sebagai pemegang dominasi. Namun setelah itu, regulasi berubah: ekspor ore dilarang, perdagangan diwajibkan lewat bursa, dan pengawasan beralih dari daerah ke pusat. Semua ini harus diformulasikan ulang secara tepat,” paparnya.

Dorong Hilirisasi Nasional

Pemerintah menggulirkan narasi baru: menjadikan mineral kritis sebagai alat tawar strategis dalam merespons ketegangan dagang dengan Amerika Serikat. Namun di balik wacana tersebut, muncul pertanyaan mendasar dari kalangan analis: apakah pendekatan ini efektif atau justru membuka risiko baru?

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai wacana tersebut harus dilihat secara proporsional. 

“Kalau mineralnya batu bara atau emas dari Freeport, saya kira tidak akan menimbulkan friksi serius. Amerika tetap butuh, dan sejauh ini Indonesia bukan mitra dagang utama mereka seperti China,” ujarnya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.

Menurutnya, selama ekspor Indonesia ke AS tidak menyentuh komoditas sensitif atau strategis bagi keamanan nasional AS, maka risiko pembalasan dagang relatif kecil. 

“Yang perlu dicermati justru komoditas hasil industri yang bisa bersinggungan dengan sektor manufaktur Amerika. Di situ titik rawannya,” kata Fahmy.

Alih-alih menjadikan hilirisasi sebagai instrumen tekanan, Fahmy menyarankan strategi yang lebih diplomatis dan berorientasi pada neraca.

 “Yang paling konkret dan kredibel saat ini adalah memperkecil defisit neraca perdagangan kita dengan AS,” tegasnya.

Salah satu opsi yang diusulkan adalah pengalihan impor energi dari kawasan Timur Tengah ke Amerika.

 “Minyak mentah dan LPG, itu dua komoditas yang bisa kita alihkan ke AS. Kilang kita butuh pasokan stabil, dan ini bisa jadi win-win solution,” lanjutnya.

Fahmy juga menyoroti potensi kerja sama teknologi, khususnya dalam proyek gasifikasi batu bara yang sedang didorong pemerintah. 

“Teknologinya bisa kita beli dari AS. Dengan begitu, kita tak hanya menutup defisit lewat barang, tapi juga lewat jasa,” katanya.

Dalam waktu dekat, MIND ID akan menginisiasi pembentukan forum koordinasi antar-kementerian untuk menyamakan visi tata kelola timah nasional. 

“Jika kita ingin Indonesia jadi pemain utama, bukan hanya eksportir bahan mentah, maka hilirisasi dan tata kelola komprehensif adalah jalan satu-satunya,” pungkas Maroef.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.