KABARBURSA.COM - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengungkapkan kekhawatirannya terkait terus meningkatnya volume keramik impor yang membanjiri pasar lokal.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, mengatakan bahwa puluhan juta meter persegi keramik impor diperkirakan akan masuk ke pasar domestik dalam satu bulan ke depan.
Menurut Edy, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena sering kali harga produk keramik impor lebih murah daripada produk lokal.
Edy pun menekankan perlunya langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk melindungi industri keramik nasional, seperti melakukan antisipasi dengan memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
"Yang dikhawatiran Asaki saat ini adalah importasi keramik yang sangat masif," kata Edy dalam keterangan tertulis, yang dikutip, Rabu, 17 Juli 2024.
Menurut Edy, tidak hanya industri keramik saja yang dirugikan, tetapi konsumen juga akan terdampak lantaran ditawarkan harga murah dengan kualitas produk yang tak berkualitas.
"Contohnya penurunan ketebalan keramik yang sebelumnya 1 centimeter menjadi 7 milimeter. Ini tentu mempengaruhi kekuatan dari keramik itu sendiri yakni Bending dan Breaking Strength-nya menurun," ungkap Edy.
Kata Edy lagi, beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), dan beberaa negara di kawasan Eropa Timur, juga di kawasan Timur Tengah telah melakukan perlindungan terhadap produk keramik dalam negeri mereka dari maraknya keramik impor China.
"Sampai sekarang tidak ada keberatan maupun tuntutan balik oleh China ke WTO karena memang terbukti praktik dumping tersebut," pungkas Edy.
BMAD tak Ampuh Tekan Produk Impor dari China
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) khawatir kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) bernasib sama seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 tahun 2018 lalu.
Adapun hal itu dia ungkap menyusul rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Rekomendasi itu juga lahir dari temuan dumping barang impor keramik yang diduga berasal dari perusahaan asal China.
Ketua Tim Kerja Pembinaan Industri Keramik dan Kaca Kemenperin Ashady Hanafie menuturkan, kebijakan BMTP atau safeguard sebelumnya telah diberlakukan selama tiga tahun, terhitung sejak 2018 hingga 2021.
Awalnya, kata Ashady, kebijakan safeguard terbukti mampu menekan impor keramik dan ubin dari China dengan pengenaan BMTP sebesar 23 persen pada tahun pertama, 21 persen pada tahun kedua, dan 19 persen di tahun ketiga.
"Pertama dari awal, nilainya 23 persen saja dikenakan safeguard-nya itu di awal. Ternyata, kita kan awalnya kita mengenakan safeguard itu ke negara China, pada tahap saat awal diberlakukan turun impor, setelah beberapa saat kembali naik lagi," kata Ashady dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Akan tetapi, kata Ashady, impor keramik dan ubin kembali mengalami lonjakan. Hal itu terjadi kerena China mengimpor komoditasnya melalui India dan Vietnam. Sementara kedua negara tersebut, lepas dari kebijakan safeguard.
"Jadi pengiriman barang itu tidak dilakukan melalui China, tetapi malaui india dan Vietnam. Makanya pada akhirnya, kami meminta safeguard ini diberlakukan juga kepada India dan Vietnam," katanya.
Ashady khawatir, kebijakan BMAD juga akan bernasib serupa safeguard. Karenanya, Kemenperin juga hendak melihat perkembangan dari implementasi BMAD seandainya diterapkan. Diketahui, berdasarkan rekomendasi KADI, BMAD yang hendak dikenakan sekitar 100,12 persen hingga 199,88 persen. BMAD ditetapkan dengan harapan mampu meredam angka impor keramik dan ubin.
Meski begitu, untuk mengurangi potensi terjadinya hal serupa safeguard, Ashady berharap BMAD juga diberlakukan terhadap semua negara.
"Pengenaan BMAD ini kan berjenjang, jadi beberapa perusahaan itu kan diberikan preferensi, presentase masing-masing jadi ada yang terkecil 100 sampai 199 ibaratnya kalau diberikan begitu nanti pengiriman ke Indonesia pun bisa lewat yang paling kecil," jelasnya.
Konsumen bakal Jadi Korban BMAD
Ekonom Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri mengungkap dampak pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk China yang tengah diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Adapun usul tersebut menyusul temuan KADI yang dirilis beberapa waktu lalu, terkait dumping atas produk impor barang yang diduga berasal dari perusahaan China sebesar 100,12 persen hingga 199,88 persen.
Faisal menegaskan, BMAD bak pemburuan rente atau pemburuan keuntungan ekonomi tanpa harus menciptakan nilai tambah. Dia menilai, sektor industri dan perdagangan harus memperhatikan betul dampak BMAD.
“Jadi hati-hati Perindustrian, hati-hati pedagangan. Jangan menyuburkan pemburuan rente,” kata Faisal dalam diskusi yang digelar INDEF di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Faisal menuturkan, tanpa adanya transaksi ekspor dan impor konsumen akan dirugikan lantaran kebutuhannya tidak terpenuhi. Meski pun dipenuhi, harga keramik yang dibutuhkan akan dipatok dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Sementara produsen keramik, kata Faisal, hanya untung di satu bidang dan pemerintah dalam bentuk bea masuk. Tetapi ada yang menguap di bidang lain dalam bentuk inefisiensi dalam proses produksi.
“Macam-macam (penyebab kerugian industri). (Tetapi) Semua ini disalahkan ke China. Semua China. Kasian banget China. Saya paling gak suka kalau kebijakannya ngawur. Apapun saya kritik. Kalau kebijakannya ngawur, merugikan rakyat banyak. Menguntungkan, segelintir orang,” jelasnya.
Faisal merinci, pada tahun pandemi Covid resmi muncul di Indonesai 2020 lalu, produksi keramik jika dilihat dari sektor industri yang menggunakannya terjadi penurunan hingga tahun 2022. Di sektor kontruksi, 2020 mengalami penurunan hingga 3,26 persen, kemudian kembali naik pada tahun 2021 sebesar 2,81 persen, dan tahun 2022 kembali recovery di angka 2,01 persen.
Begitu juga di sektor real estate, terjadi penurunan pada masa pandemi Covid di tahun 2020 sebesar 2,32 persen, tahun 2021 naik tipis 2,78 persen, dan 2022 kembali menurun di angka 1,72 persen. Adapun gross domestic products (GDP) di ketiga tahun tersebut juga mengalami penurunan, 2020 sebesar 2,07 persen, 2021 naik 3,70 persen, dan 2022 menguat di 5,31 persen.
Di sisi lain, berdasarkan data yang dikutipnya dari International Trade Center (ITC), volume impor HS 6907 atau keramik dan ubin dari China pada tahun 2022 tercatat sebanyak 1 juta ton lebih rendah dari 2018 sebesar 1,3 juta ton. Secara tren impor, sejak 2019 sebanyak 900 ton, 2020 sekitar 863 ton, 2021 naik 1,1 juta ton, kemudian turun di 2022 menjadi 1 juta ton.
“Ini pemerintah tuh, kalau ngitung mbok ya pake hati. Jadi ongkos inefisiensinya tinggi, konsumen dirugikan paling banyak,” tegasnya.
Faisal sendiri mempertanyakan data yang dihimpun KADI. Pasalnya, sampling yang digunakan KADI berasal dari tiga perusahaan keramik dari total keseluruhan perusahaan di seluruh Indonesia. (*)