KABARBURSA.COM - Bursa Asia bergerak tak seragam pada Selasa, 25 Maret 2025. Sementara bursa Tokyo menguat, pasar China justru melorot, mengikuti arah pasar global yang sedang galau menanti kejutan tarif baru dari Presiden Donald Trump pekan depan. Harapan bahwa Gedung Putih akan mengambil langkah yang lebih terukur dalam mengerek bea impor sempat menyulut reli di Wall Street, tapi pasar Asia masih bimbang.
Dilansir dari AP di Jakarta, Selasa, di Jepang, indeks Nikkei 225 menguat tipis 0,5 persen ke level 37.780,54. Sebaliknya, indeks Kospi Korea Selatan tergerus 0,6 persen ke posisi 2.615,81.
Namun yang paling tertekan adalah Hang Seng Hong Kong, yang rontok 2,1 persen ke angka 23.402,56 akibat aksi jual besar-besaran di saham-saham teknologi. Xiaomi—produsen ponsel pintar—merosot 5,9 persen. Meituan, aplikasi pengantar makanan, turun 4,2 persen. Bahkan raksasa e-commerce Alibaba pun kena semprot dan melemah 3,5 persen.
Sementara itu, indeks Shanghai Composite tak bergerak dari level 3.369,98. Bursa Taiwan justru naik 0,8 persen, sementara indeks SET Thailand melemah 0,5 persen.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG membuka perdagangan Selasa pagi dengan langkah optimistis. Indeks menguat 0,18 persen atau naik 49 poin ke posisi 6.211 pada awal sesi pertama.
Mengacu pada data dari RTI Business, volume transaksi yang tercatat saat pembukaan mencapai 204,79 juta lembar saham dengan nilai perdagangan sebesar Rp240,82 miliar. Dari total saham yang diperdagangkan, 187 tercatat menguat, 75 melemah, sementara 222 lainnya tak bergerak alias stagnan.
Selama ini, saham-saham global naik turun mengikuti sikap Trump yang berubah-ubah soal tarif. Setelah sempat mengumumkan tarif baru, lalu dikoreksi, kini Trump menjadwalkan putaran tarif selanjutnya mulai 2 April. Namun, pernyataannya Senin lalu seolah menggantungkan harapan. Ia menyebut ingin menerapkan tarif “resiprokal”—alias membalas tarif negara lain dengan nilai yang setara—tapi juga membuka celah kompromi. “Mungkin kita bisa lebih ramah dari itu,” ucapnya.
Sayangnya, pernyataan-pernyataan lain dari Trump tidak memberi rasa aman. Pasar China yang sempat bergairah mulai mundur perlahan. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyebut Venezuela bersikap “sangat bermusuhan” terhadap AS dan mengancam akan menerapkan tarif 25 persen untuk semua barang dari negara itu mulai 2 April. Itu termasuk minyak.
Langkah ini bisa jadi pukulan telak bagi China. Menurut analisis Badan Informasi Energi AS tahun 2024, pada 2023 China membeli 68 persen dari seluruh ekspor minyak Venezuela. AS sendiri juga masih mengimpor minyak dari negara tersebut.
Sementara itu, Wall Street melonjak tajam pada perdagangan Senin. Indeks S&P 500 naik 1,8 persen ke 5.767,57. Dow Jones Industrial Average menguat 1,4 persen ke 42.583,32. Nasdaq, yang sarat saham teknologi, melesat 2,3 persen ke 18.188,59.
Meski begitu, S&P 500 masih mencatatkan penurunan 1,9 persen sepanjang tahun ini karena kekhawatiran bahwa perang dagang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dan menambah tekanan inflasi.
Kenaikan pada Senin bersifat menyeluruh, dengan 84 persen saham dalam indeks S&P 500 ditutup di zona hijau. Hampir seluruh sektor mencetak kenaikan. Saham teknologi jadi ujung tombak. Saham-saham ini punya bobot besar di Wall Street, sehingga pergerakannya berpengaruh luas.
Nvidia naik 3,2 persen, Apple menambah 1,1 persen. Tapi kejutan datang dari Tesla yang melesat 11,9 persen—menjadi saham dengan kenaikan tertinggi di S&P 500. Meski demikian, Tesla masih mencatat penurunan sekitar 31 persen sejak awal tahun.
Pekan ini, pelaku pasar menanti sejumlah data ekonomi penting. Hariini, The Conference Board akan merilis survei kepercayaan konsumen AS untuk bulan Maret. Lalu Jumat besok, pemerintah AS akan merilis indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) untuk Februari—indikator inflasi yang jadi perhatian utama Federal Reserve.
Bank Sentral AS mulai memangkas suku bunga acuannya pada akhir 2024, namun tetap berhati-hati karena inflasi masih sedikit di atas target dua persen. Pemangkasan suku bunga ini dilakukan setelah sebelumnya The Fed menaikkan suku bunga demi meredam inflasi yang sempat menyentuh rekor dua dekade.
Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong konsumsi dan investasi karena biaya pinjaman menurun. Tapi, risiko inflasi juga ikut meningkat.
Untuk pasar komoditas, Selasa pagi harga minyak mentah AS naik tipis USD0,13 ke USD69,24 per barel (sekitar Rp1,14 juta). Minyak Brent—standar global—juga menguat USD0,13 menjadi USD72,50 per barel (sekitar Rp1,20 juta).
Di pasar mata uang, dolar AS melemah ke 150,59 yen Jepang dari posisi sebelumnya di 150,70 yen. Euro menguat tipis ke USD1,0803 dari USD1,0802. Jika dikonversi, nilai tukar euro setara sekitar Rp17.824.(*)