KABARBURSA.COM - Bursa saham Asia dibuka lebih rendah pada perdagangan hari Senin, 11 November 2024.
Pada pukul 08.34 WIB, indeks Nikkei 225 tercatat turun 47,58 poin atau 0,12 persen menjadi 39.454,58. Indeks Hang Seng juga merosot 417,34 poin atau 1,97 persen ke 20.318,38, sementara Taiex kehilangan 144,11 poin atau 0,62 persen menjadi 23.408,32.
Begitu juga dengan Kospi turun 24,65 poin atau 0,92 persen ke 2.537,50, dan ASX 200 melemah 35,23 poin atau 0,42 persen ke 8.259,90.
Di sisi lain, Straits Times mencatatkan kenaikan 26,46 poin atau 0,70 persen menjadi 3.749,95, sedangkan FTSE Malaysia naik 2,73 poin atau 0,17 persen menjadi 1.623,97.
Melansir Bloomberg, pelemahan bursa Asia ini terjadi setelah investor kecewa dengan langkah-langkah dukungan ekonomi terbaru dari China, yang dianggap kurang memadai. Data terbaru juga menunjukkan tekanan deflasi yang berlanjut di negara tersebut.
Saat ini, perhatian investor tertuju pada kebijakan ekonomi Beijing, yang baru saja mengumumkan rencana investasi sebesar 10 triliun yuan (sekitar USD1,4 triliun) untuk mengurangi risiko utang pemerintah daerah. Namun, Beijing memilih untuk tidak mengeluarkan stimulus fiskal baru, yang membuat beberapa pihak merasa kebijakan ini belum cukup untuk meredakan tekanan ekonomi.
Selain itu, ketidakpastian juga timbul menjelang potensi dampak perang dagang yang mungkin kembali terpicu saat Donald Trump kembali menjabat tahun depan.
Faktor lainnya yang mengkhawatirkan adalah inflasi yang lemah dan terus menurunnya investasi asing langsung di China.
Chris Weston, Kepala Penelitian Pepperstone Group, mengatakan bahwa banyak kalangan yang berpendapat bahwa China kini tengah menyimpan taktik ekonominya hingga negosiasi tarif perdagangan dengan AS dimulai.
“China mungkin akan merespons dengan cara yang lebih terarah untuk mengurangi dampak ekonomi, namun dalam jangka pendek ini justru meningkatkan risiko penurunan pada ekuitas dan yuan China,” kata Weston.
Investor Wall Street Fokus pada Tren Inflasi
Wall Street pekan ini diperkirakan akan diwarnai oleh perhatian investor terhadap bagaimana tren inflasi dapat mempengaruhi kelanjutan reli pasar saham yang mencatatkan rekor tertinggi, yang didorong oleh kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS).
Menurut laporan Economic Times, 10 November 2024, prospek ekonomi yang optimis dari Federal Reserve (The Fed), yang baru saja memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, diharapkan dapat meningkatkan sentimen pasar. Namun, kemampuan bank sentral untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter akan bergantung pada apakah data inflasi menunjukkan penurunan berkelanjutan.
Para investor percaya bahwa kebijakan ekonomi Trump, terutama terkait dengan tarif impor yang lebih tinggi, dapat mendorong kenaikan harga konsumen. Sementara itu, data ekonomi AS menunjukkan kinerja yang lebih baik dari yang diperkirakan, dengan laporan terbaru mengungkapkan ekonomi tumbuh 2,8 persen pada kuartal ketiga tahun ini.
Berdasarkan perkiraan ekonom yang disurvei oleh Reuters, indeks harga konsumen (CPI) untuk Oktober 2024 diprediksi akan mencatatkan angka inflasi tahunan sebesar 2,6 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan angka 2,4 persen pada September.
Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh di bawah puncak inflasi yang tercatat pada 2022, yang mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga secara signifikan.
Kenaikan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan dapat memengaruhi proyeksi suku bunga di masa depan, terutama setelah perubahan ekspektasi yang terjadi pasca kemenangan Trump.
Kontrak berjangka dana Fed menunjukkan bahwa investor kini memperkirakan suku bunga akan turun menjadi sekitar 3,7 persen pada akhir 2025, dari kisaran saat ini 4,5-4,75 persen, sebuah perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan proyeksi pada September lalu.
Sentimen pelonggaran moneter ini telah memberikan dorongan bagi pasar saham sepanjang tahun ini, didorong oleh kinerja laba perusahaan yang solid dan optimisme atas potensi perkembangan sektor bisnis berbasis kecerdasan buatan.
Menurut Wakil Presiden Strategi Investasi di Glenmede, Michael Reynolds, meskipun pasar menunjukkan optimisme, inflasi tetap menjadi risiko yang perlu diperhatikan.
“Kami percaya, meskipun ada pemulihan, inflasi masih menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Kita baru saja melewati periode inflasi yang tinggi dan biasanya pergerakannya datang secara bergelombang,” ujar Reynolds.
Selain itu, investor juga terus beradaptasi dengan perubahan lanskap politik pasca kemenangan Trump, yang telah memicu pergerakan besar dalam apa yang dikenal sebagai ‘perdagangan Trump’ di pasar saham.
Indeks Russell 2000, yang mewakili perusahaan berkapitalisasi kecil, tercatat naik 8 persen pekan ini, dengan perusahaan-perusahaan domestik yang diperkirakan akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan tarif tinggi yang direncanakan Trump.
Sementara itu, indeks bank S&P 500 menguat sekitar 7 persen, karena pemberi pinjaman diperkirakan akan diuntungkan dari upaya pengurangan regulasi yang dijanjikan oleh Partai Republik.
Namun, reaksi pasar masih akan diuji seiring dengan penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan Trump dan penunjukan pejabat politik oleh tim transisi Presiden terpilih.
“Pasar mulai mencermati dampak kemenangan Trump,” kata analis di UBS Global Wealth Management.
“Seiring dengan kemunculan proposal kebijakan yang lebih detail dari tim transisi Trump, investor perlu bersiap untuk potensi perubahan lebih lanjut di masa depan,” sambungnya. (*)