KABARBURSA.COM - Bursa Asia kembali ceria pada Senin, 14 April 2025, pagi setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memutuskan untuk tidak memasukkan produk elektronik—seperti ponsel dan laptop—dalam daftar barang yang kena tarif tinggi. Keputusan ini dianggap sebagai sinyal “jeda sejenak” dalam perang dagang yang kian bikin pasar global gelisah.
Langkah Trump ini langsung membuat saham-saham teknologi melonjak. Dilansir dari AP di Jakarta, Senin, di Jepang, indeks Nikkei 225 menguat 1,8 persen ke posisi 34.189,37, didorong kenaikan saham Tokyo Electron sebesar 2 persen dan Advantest, produsen alat uji semikonduktor, yang terbang 5,4 persen. Di Korea Selatan, indeks Kospi naik 0,8 persen ke 2.452,42, dengan Samsung Electronics turut mencetak cuan 1,4 persen.
Hong Kong ikut bersorak. Hang Seng melonjak 2,4 persen ke level 21.419,59. Shanghai Composite pun ikut terdongkrak 0,9 persen setelah pemerintah China melaporkan ekspor bulan Maret naik 12,4 persen dibandingkan tahun lalu. Tak heran kalau semangat investor langsung terdongkrak, meski tarif baru China ke produk AS kini resmi tembus 125 persen.
Cerita berbeda datang dari Indonesia. Negeri yang dijuluki Nusantara ini mencatat pelemahan pada pembukaan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. Pada awal perdagangan sesi I, IHSG turun 18,04 poin atau 0,29 persen ke level 6.244,19.
Trump sendiri menyebut smartphone, komputer, dan produk elektronik lainnya bakal dikecualikan dari tarif. Sementara itu, Kementerian Perdagangan China menyambut langkah tersebut sebagai “langkah kecil yang positif”, tapi tetap mendorong Washington agar mencabut seluruh tarif balasan.
Ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia ini memang masih menyisakan banyak tanda tanya. Bahkan, setelah Trump mengumumkan jeda 90 hari untuk tarif terhadap negara-negara lain (selain China), kekhawatiran soal resesi global belum benar-benar lenyap dari radar investor.
Di Australia, indeks S&P/ASX 200 naik 1,5 persen ke 7.758,70, sedangkan indeks Taiex Taiwan juga naik 0,6 persen—wajar, mengingat perekonomian Taiwan sangat bergantung pada ekspor chip dan barang elektronik berteknologi tinggi.
Sementara itu, Wall Street sebelumnya juga mengakhiri minggu lalu dengan cukup manis. Indeks S&P 500 menguat 1,8 persen ke 5.363,36, disusul Dow Jones yang naik 1,6 persen ke 40.212,7 dan Nasdaq yang melonjak 2,1 persen ke 16.724,46.
Salah satu alasan di balik penguatan ini adalah meredanya tekanan dari pasar obligasi AS. Meski biasanya tenang dan tak banyak sorotan, pekan lalu pasar obligasi cukup bikin panik. Imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun sempat naik tajam hingga menyentuh 4,58 persen, sebelum turun lagi ke 4,466 persen pada Senin pagi waktu setempat
Singkatnya, jeda tarif untuk gadget ini membuat pasar menghela napas lega, tapi tarikan nafas itu belum tentu panjang. Sebab, perang dagang tetap menjadi badai yang belum reda dan masih bisa menggulung pasar global kapan saja.
Pasar Obligasi Gelisah, Emas Jadi Pelampung
Dalam kondisi normal, imbal hasil (yield) obligasi biasanya turun ketika pasar sedang panik. Tapi belakangan, pasar obligasi Amerika justru bergejolak. Ada dugaan investor luar negeri ramai-ramai melepas obligasi AS gara-gara perang dagang yang tak kunjung reda. Di sisi lain, hedge fund juga ditengarai menjual aset apa pun yang bisa dicairkan demi menutup kerugian di tempat lain.
Yang lebih mengkhawatirkan, muncul keraguan terhadap reputasi Amerika Serikat sebagai “tempat paling aman menyimpan uang”. Penyebabnya tak lain dari manuver tarif Presiden Donald Trump yang sering berubah-ubah dan bikin pasar bingung.
Sementara itu, emas terus membuktikan dirinya sebagai pelabuhan aman. Harga logam mulia itu mencetak rekor baru lagi. Pada Senin pagi, harga emas sempat menyentuh USD3.249 per ons (sekitar Rp52,9 juta), naik tipis USD4,20 dibanding hari sebelumnya.
Seluruh ketidakpastian yang muncul akibat perang dagang ini makin menggerus kepercayaan konsumen AS. Jika masyarakat mulai ragu untuk belanja, maka dampaknya bisa langsung terasa ke pertumbuhan ekonomi nasional, yang sejatinya masuk 2025 dengan performa cukup solid.
Ada secercah harapan dari laporan inflasi di tingkat produsen yang dirilis Jumat lalu. Angkanya lebih baik dari ekspektasi. Tapi data ini bersifat lampau—karena mengukur harga di bulan Maret. Kekhawatiran utama tetap ada: inflasi bisa naik lagi dalam beberapa bulan ke depan karena efek lanjutan dari tarif-tarif Trump yang mulai menyusup ke semua lini ekonomi. Jika itu terjadi, ruang gerak bank sentral AS alias The Fed bisa makin terbatas.
Adapun pergerakan besar di pasar saham pada Jumat lalu dipicu laporan laba dari sejumlah bank besar Amerika yang tampil lebih apik dari perkiraan analis. JPMorgan Chase, Morgan Stanley, dan Wells Fargo semuanya mencatat laba kuartal I yang solid. Saham JPMorgan naik 4 persen, Morgan Stanley menguat 1,4 persen, sementara Wells Fargo justru melemah 1 persen.
Untuk perdagangan komoditas di Senin pagi, harga minyak mentah acuan AS (WTI) turun 20 sen ke posisi USD61,30 per barel. Sementara minyak Brent sebagai patokan internasional juga terkoreksi 20 sen menjadi USD64,56 per barel.
Dari pasar mata uang, nilai tukar dolar AS melemah terhadap yen Jepang dari 143,91 menjadi 143,05 yen. Sedangkan euro menguat dari USD1,1320 menjadi USD1,1379. Pasar masih menunggu kejelasan arah kebijakan di tengah drama perang tarif dan prospek suku bunga yang terus jadi bahan spekulasi.(*)