KABARBURSA.COM - Bursa Asia mengawali pekan ini dengan kenaikan solid setelah Wall Street menutup Februari yang suram dengan sedikit kelegaan. Sentimen positif juga datang dari data manufaktur China yang lebih optimistis sehingga membuat perdagangan di awal Maret berjalan mulus.
Dilansir dari AP di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025, di Hong Kong, saham Mixue Bingcheng—jaringan bubble tea asal China—melejit 40 persen dalam debutnya setelah mengantongi USD444 juta (Rp7,3 triliun) dari IPO. Laporan setempat menyebutkan IPO ini mencetak rekor langganan tertinggi di Hong Kong, menembus 1 triliun dolar Hong Kong (USD128 miliar atau Rp2.112 triliun).
Indeks Hang Seng naik 1,2 persen ke 23.222,88, sementara Shanghai Composite menguat 0,3 persen ke 3.332,27. Di Tokyo, Nikkei 225 melesat 1,4 persen ke 37.662,14. Pasar Korea Selatan tutup karena libur nasional, sementara indeks S&P/ASX 200 di Australia naik 0,6 persen ke 8.220,80. Namun, di Taiwan, Taiex anjlok 1,4 persen, dan indeks SET di Bangkok turun 0,7 persen.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan awal pekan ini dengan tenaga penuh, naik 99,49 poin atau 1,59 persen ke 6.370,08. Sepanjang sesi, IHSG sempat melesat ke level tertinggi 6.373,69 sebelum akhirnya terkoreksi hingga menyentuh titik terendah di 6.269,53. Aktivitas pasar terbilang ramai dengan total volume transaksi mencapai 4,51 miliar lot dan nilai perdagangan sebesar Rp438,24 miliar dari 22.780 transaksi.
Survei menunjukkan aktivitas manufaktur di China mulai membaik pada Februari, didorong oleh lonjakan pesanan baru. Kemungkinan besar, perusahaan-perusahaan di Negeri Tirai Bambu berlomba mengirim produk sebelum tarif ekspor ke AS naik. Pemerintahan Donald Trump telah menaikkan bea impor barang China hingga 20 persen.
Dari Wall Street, S&P 500 pada Jumat naik 1,6 persen ke 5.954,50, Dow Jones bertambah 1,4 persen ke 43.840,91, dan Nasdaq melesat 1,6 persen ke 18.847,28. Sebelumnya, S&P 500 sempat tertekan setelah melemah lima kali dalam enam hari akibat data ekonomi yang lebih buruk dari perkiraan dan kekhawatiran terhadap kebijakan tarif Trump.
Saham-saham teknologi yang sempat terbang berkat hype AI kini mulai melemah tajam, sementara Bitcoin anjlok lebih dari 20 persen dari rekor tertingginya. Namun, pada Jumat pekan lalu, Nvidia naik 4 persen setelah jatuh 8,5 persen sehari sebelumnya sehingga menjadi pendorong utama kenaikan S&P 500. Pada Senin pagi, Bitcoin diperdagangkan di USD92.760 (Rp1,53 miliar) setelah sempat berada di USD84.000 (Rp1,39 miliar) pada Jumat lalu.
Kenaikan pasar saham ini terjadi setelah laporan ekonomi yang memberikan sinyal campuran. Inflasi di AS sedikit mereda seperti yang diprediksi ekonom dan memberi harapan bahwa The Fed bisa melanjutkan pemangkasan suku bunga di tahun ini.
Pasar Masih Waspada karena The Fed Tahan Suku Bunga
The Fed sejauh ini masih menahan suku bunga tahun ini setelah memangkasnya secara agresif pada akhir 2024. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran bahwa inflasi bisa tetap membandel meski sudah turun dari puncaknya di 2022.
Laporan Jumat lalu juga menunjukkan rumah tangga di AS mulai menahan pengeluaran mereka pada Januari. Ini bisa jadi pertanda buruk, mengingat konsumsi masyarakat selama ini menjadi penopang utama ekonomi AS agar tidak jatuh ke resesi meski suku bunga tinggi.
Inflasi memang sudah lebih jinak dibanding puncaknya dua tahun lalu, tapi masih tergolong tinggi. Yang bikin waswas, kebijakan tarif impor dan langkah-langkah lain yang diumumkan oleh Donald Trump berpotensi membuat biaya hidup makin mahal.
Wall Street berharap semua ancaman tarif ini cuma strategi Trump buat negosiasi dengan negara lain dan pada akhirnya bakal ditarik kembali. Kalau itu benar, dampak buruk terhadap ekonomi global bisa lebih kecil dari yang dikhawatirkan.
Tapi laporan terbaru menunjukkan hanya dengan berbicara soal tarif saja, konsumen AS sudah bersiap menghadapi inflasi yang lebih tinggi di masa depan. Kalau ketakutan ini benar-benar memengaruhi pola belanja mereka, pertumbuhan ekonomi bisa terganggu bahkan tanpa tarif benar-benar diterapkan.
Selain tarif, ketidakpastian soal deregulasi dan kebijakan lain juga bikin pasar makin gelisah. “Kalau pasar tidak melihat Trump bergerak ke arah kebijakan yang lebih ramah pasar, kepercayaan bisa terus tergerus,” tulis ekonom Bank of America dalam laporan BofA Global Research.
Tentu saja, penurunan belanja konsumen pada Januari juga bisa saja terjadi akibat cuaca ekstrem yang melanda AS serta faktor-faktor anomali lainnya. Tapi tetap saja, ini terjadi setelah beberapa sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi muncul, padahal AS menutup 2024 dengan performa yang cukup solid.
Sementara itu, harga minyak mentah AS naik 42 sen ke USD70,18 (Rp1,15 juta) per barel, sedangkan Brent, patokan internasional, bertambah 43 sen ke USD73,24 (Rp1,21 juta) per barel. Di pasar mata uang, dolar AS melemah ke 150,46 yen dari 150,72 yen. Euro naik tipis ke USD1,0420 (Rp17.187) dari USD1,0402 (Rp17.163).(*)