KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan, BI Rate, di level 6,25 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni 2024. Keputusan ini diambil meskipun nilai tukar rupiah sedang tertekan oleh dolar AS.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan selaras dengan komitmen bank sentral untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Perry menegaskan bahwa tingkat suku bunga saat ini sudah cukup untuk mengendalikan inflasi.
"Keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter pro-stability sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali," ujar Perry dalam konferensi pers hasil RDG Juni di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang tengah tertekan, BI memperkuat operasi moneternya dengan dua strategi utama. Pertama, memperkuat struktur suku bunga di pasar uang rupiah untuk menjaga daya tarik imbal hasil dan meningkatkan aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik.
"Kedua, mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) untuk menarik aliran modal asing," terangnya.
Perry juga menyebutkan bahwa bank sentral akan meningkatkan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Selain itu, BI akan memperkuat strategi transaksi term-repo SBN dan swap valas yang kompetitif guna menjaga kecukupan likuiditas perbankan.
BI juga memperkenalkan kebijakan makroprudensial baru, yakni Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (PRLN) untuk menarik lebih banyak modal asing, yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus mendatang.
Upaya lain yang dilakukan BI untuk menstabilkan rupiah termasuk memperkuat kerja sama internasional dalam area kebanksentralan, termasuk yang terkait dengan konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal. Langkah ini bertujuan untuk meminimalisir penggunaan mata uang dolar AS.
Perry menekankan bahwa jika melihat faktor fundamental seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan neraca transaksi berjalan Indonesia, tren nilai tukar rupiah ke depan diperkirakan akan menguat.
Namun, sejumlah sentimen dari luar dan dalam negeri menjadi pemicu depresiasi rupiah belakangan ini.
"Kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat. Tren ya. Tren akan menguat," tegas Perry.
Dampak Menahan BI Rate
Pelemahan nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah dalam empat tahun terakhir. Pada Sabtu, 22 Juni 2024 pagi, rupiah mencapai level baru yaitu Rp16.477 per USD.
Pelemahan terjadi setelah BI melalui hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis, 20 Juni 2024, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 6,25 persen.
Meski sesuai ekspektasi mayoritas ekonom, namun reaksi pasar menunjukkan kekecewaan terhadap pengumuman tersebut.
Investor asing juga menunjukkan kekecewaan yang sama, terlihat dari pergerakan rupiah di pasar offshore di mana kontrak forward NDF rupiah mencatatkan rekor terlemah baru di semua jangka waktu. NDF rupiah untuk jangka waktu 1 bulan bahkan ditutup pada Rp16.507 per USD semalam di pasar New York.
Menurut analis, pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyatakan potensi penguatan rupiah di masa mendatang menuju di bawah Rp16.000 per dolar AS didukung oleh fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, dianggap terlalu meremehkan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang dapat mengancam nilai tukar rupiah ke depan.
"Sebagai akibatnya, rupiah spot terdepresiasi 0,4 persen dan di pasar forward melemah 0,6 persen menjadi Rp16.507 per dolar AS. Investor asing menilai bahwa BI mengabaikan risiko fiskal dan pelebaran defisit transaksi berjalan yang berpotensi melemahkan rupiah," ujar tim riset Mega Capital Sekuritas, Jumat, 21 Juni 2024.
Pasar hari ini diprediksi akan menunjukkan reaksi terhadap keputusan BI tersebut.
"Kami memperkirakan yield 10Y INDON dan INDOGB akan naik menuju rentang masing-masing 7,15-7,25 persen dan 5,10-5,20 persen. Kami juga memperkirakan yield untuk FR0100, FR0098, dan FR0097 akan naik ke rentang 7,15-7,20 persen, sedangkan FR0101 akan mencapai 7,00-7,05 persen, dan FR0086 sekitar 6,75-6,80 persen. Tekanan depresiasi akan mendominasi pergerakan nilai tukar rupiah hari ini dengan target di kisaran Rp16.450-Rp16.550 per USD,” kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas, Lionel Prayadi.
Dalam pernyataannya pada konferensi pers, Kamis, 21 Juni 2024, Perry bilang, BI rate di 6,25 persen masih memadai di mana investor asing sejauh ini masih melakukan pembelian instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp39,96 triliun pada 22 Mei-19 Juni lalu sehingga total kepemilikan asing di instrumen jangka pendek berbunga tinggi itu kini mencapai Rp179,86 triliun.
Perry juga menyatakan keyakinannya bahwa rupiah akan menguat di masa mendatang di bawah Rp16.000 per USD didukung oleh fundamental ekonomi RI yaitu inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi relatif baik, pertumbuhan kredit bank yang double digit serta imbal hasil investasi yang menarik di atas 7 persen.
Dalam pandangan Bahana Sekuritas, peluang penguatan rupiah terbuka bila melihat penyebab kejatuhan rupiah belakangan ini.
Tekanan yang dialami rupiah saat ini salah satunya adalah karena permintaan dolar AS yang memuncak di mana kuartal dua memang secara historis menjadi masa padat demand valas.
Baru-baru ini ada kontrak forward (DNDF) yang jatuh tempo senilai USD600 juta yang tidak bisa diperpanjang. Itu menggiring para pelaku pasar menyerbu pasar spot untuk mencari dolar AS di tengah perburuan dolar juga oleh korporasi yang terdesak kebutuhan membayar dividen, lalu belanja rutin valas Pertamina untuk impor migas.
Pada saat yang sama, para hedge fund dan bank asing yang membangun posisi jual (short) USD/IDR terpaksa melakukan shortcover posisi mereka.
"Posisi itu dibangun pada akhir Mei ketika indeks dolar AS turun 1 persen dalam sepekan dengan imbal hasil Treasury yang sedikit lebih rendah. Berkebalikan dengan ekspektasi para trader, rupiah tidak menguat dibanding valuta emerging market lain bahkan melemah dari Rp16.090 per USD menjadi Rp16.400 per USD karena tingginya permintaan valuta asing di dalam negeri,” kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.
Faktor-faktor itu sifatnya jangka pendek sehingga begitu hal itu berakhir, rupiah berpeluang menguat seiring permintaan valas yang menurun. Hanya saja, bila dolar AS terus menguat akibat situasi di pasar global, BI sebaiknya tetap waspada karena hal yang terjadi pada Oktober lalu bisa kembali terulang.
Untuk sementara mengimbangi tekanan global, langkah BI mengoptimalkan SRBI dengan mengimingi level bunga tinggi masih menjadi pilihan paling masuk akal, selain mengintervensi pasar spot, DNDF juga pasar surat utang negara.
BI mencatat, per 14 Juni, mereka telah menerbitkan SRBI senilai Rp666,5 triliun, lalu SVBI dan SUVBI sebesar USD2,03 miliar dan USD935 juta. Asing menguasai 27 persen total outstanding SRBI.
"Instrumen ini memang memicu efek crowding out likuiditas di pasar karena menggeser kurva imbal hasil dan menaikkan yield di pasar sekunder. Namun, sepertinya saat ini instrumen-instrumen inilah yang menjadi pilihan paling mungkin sekarang,” tandas Satria. (*)