KABARBURSA.COM – Ekonom sekaligus Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menanggapi upaya diversifikasi pasar ekspor nikel Indonesia menjadi strategi utama untuk mengurangi ketergantungan terhadap China, yang selama ini menyerap 80 hingga 90 persen ekspor nikel nasional.
Pemerintah dan pelaku industri kini mendorong ekspansi ke Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, yang diyakini dapat meningkatkan harga jual, margin keuntungan, serta daya saing global bagi emiten tambang seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Harita Nickel Tbk (NCKL).
Syafruddin beranggapan diversifikasi itu sebagai langkah strategis untuk mengamankan posisi Indonesia di pasar global. Menurutnya, ekspansi ke Amerika Serikat dan Uni Eropa akan mendorong penerapan standar keberlanjutan yang lebih ketat dan meningkatkan nilai jual nikel Indonesia.
“Pasar AS dan Uni Eropa memberikan harga premium untuk nikel yang memenuhi standar ESG (Environmental, Social, and Governance). Ini peluang bagi industri nasional untuk naik kelas dan mendapatkan valuasi yang lebih baik di pasar global,” ujar Syafruddin eksklusif kepada Kabarbursa.com pada Selasa, 18 Maret 2025.
Ia menambahkan bahwa jika Indonesia mampu mengekspor 500.000 ton nikel ke pasar premium, potensi pendapatan dapat meningkat hingga USD2,79 miliar. Peningkatan ini akan memperkuat kinerja keuangan emiten pertambangan dan menarik minat investor global.
Selain dampak positif terhadap harga jual, diversifikasi pasar juga akan mengurangi tekanan dari dominasi China dalam menentukan harga dan volume ekspor nikel Indonesia. Dengan pasar yang lebih luas, emiten pertambangan dapat lebih fleksibel dalam menegosiasikan harga dan kontrak jangka panjang, yang pada akhirnya memperbaiki profitabilitas perusahaan.
Namun, Syafruddin mengingatkan bahwa diversifikasi ini bukan tanpa tantangan. Salah satu risiko utama adalah ketidakpastian dalam peralihan pasar, yang bisa menyebabkan penundaan kontrak dan volatilitas pendapatan bagi perusahaan tambang.
“Transisi dari China ke pasar baru tidak serta-merta berjalan mulus. Ada potensi gangguan pendapatan dalam jangka pendek karena proses negosiasi ulang dan penyesuaian dengan regulasi baru di AS dan Uni Eropa,” jelasnya.
Selain itu, emiten pertambangan juga harus berinvestasi lebih besar dalam teknologi pemurnian nikel yang ramah lingkungan, seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL), agar dapat memenuhi standar ESG atau lingkungan, sosial dan tata kelola yang ketat.
Vale Indonesia dan Harita Nickel telah lebih dulu mengambil langkah ini dengan memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan Nickel Sulfate untuk industri baterai kendaraan listrik.
Dari sisi geopolitik, ada juga potensi reaksi negatif dari China yang dapat mempersulit ekspor nikel ke negara tersebut. Jika China membatasi impor atau menerapkan persyaratan teknis yang lebih ketat, beberapa emiten tambang mungkin mengalami gangguan pendapatan sebelum berhasil menyesuaikan diri dengan pasar baru.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Syafruddin Karimi menekankan pentingnya strategi mitigasi risiko, termasuk percepatan negosiasi dagang dengan AS dan Uni Eropa serta investasi dalam teknologi hijau untuk meningkatkan daya saing nikel Indonesia di pasar global.
“Perusahaan tambang harus proaktif dalam mempercepat negosiasi kontrak ekspor dan memastikan keberlanjutan rantai pasok. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk insentif teknologi hijau dan diplomasi dagang sangat diperlukan agar transisi ini berjalan lancar,” ucap dia.
Secara keseluruhan, diversifikasi pasar nikel Indonesia diproyeksikan akan berdampak positif terhadap valuasi saham dan kinerja keuangan emiten pertambangan. Jika strategi ini dikelola dengan baik, Indonesia tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada China, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam industri nikel global yang berkelanjutan.
Tantangan Keberlanjutan dan Standar Lingkungan
Berbeda dengan Syafruddin, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda memiliki pendapat lain.
Nailul Huda, menilai bahwa hilirisasi industri nikel di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal keberlanjutan dan standar lingkungan. Menurutnya, Indonesia harus segera membenahi praktik produksi nikel agar lebih sesuai dengan standar internasional, sehingga dapat memanfaatkan peluang ekspor ke Amerika Utara.
"Indonesia seharusnya bisa membangun hilirisasi yang optimal di segala lini produksi, tidak hanya di smelter nikel saja. Namun, kendala utama yang dihadapi saat ini adalah praktik produksi yang masih dianggap kotor oleh pasar global," ujar Nailul Huda kepada Kabarbursa.com Senin, 18 Maret 2025.
Salah satu tantangan terbesar bagi industri nikel Indonesia adalah meningkatnya regulasi lingkungan di pasar global. Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA) di Amerika Serikat menjadi momentum bagi produsen mobil listrik di Amerika Utara, karena memberikan insentif bagi kendaraan listrik yang diproduksi di kawasan tersebut.
Sebaliknya, mobil listrik asal China tidak lagi mendapatkan insentif tersebut, yang membuka peluang bagi Indonesia untuk memasok nikel langsung ke produsen di Amerika Serikat dan Kanada.
Namun, Nailul Huda menyoroti bahwa praktik penambangan dan produksi nikel di Indonesia masih jauh dari standar ESG yang diterapkan oleh pasar Amerika Utara. "Banyak perusahaan global yang enggan menerima pasokan nikel dari Indonesia karena masalah limbah, polusi udara, hingga kecelakaan kerja di sektor pertambangan. Jika masalah ini tidak segera dibenahi, maka peluang ekspor ke Amerika Utara bisa hilang begitu saja," ujar dia.
Menurutnya, tantangan utama industri nikel Indonesia bukan hanya meningkatkan kapasitas produksi, tetapi juga memastikan bahwa seluruh prosesnya memenuhi standar keberlanjutan.
Nailul menilai bahwa perusahaan tambang harus segera berinvestasi dalam teknologi hijau, seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL) dan sistem pengelolaan limbah yang lebih baik. Dengan demikian, nikel Indonesia dapat diterima di pasar premium dan memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan nikel dari negara lain.
Lebih lanjut, pemerintah juga didorong untuk memperketat regulasi dan pengawasan terhadap praktik industri nikel di dalam negeri. "Jika ingin menembus pasar global yang lebih selektif, pemerintah harus berani menegakkan regulasi yang lebih ketat terhadap industri nikel, termasuk dalam aspek lingkungan dan tenaga kerja," ujar dia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mendorong hilirisasi nikel dengan membangun sejumlah smelter di dalam negeri. Namun, banyak pihak menilai bahwa hilirisasi ini masih berfokus pada aspek produksi, tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan yang menjadi tuntutan pasar global. Nailul Huda mengingatkan bahwa tanpa perbaikan dalam proses produksi, Indonesia bisa kehilangan daya saingnya di pasar nikel global.
Amerika Utara disebut menjadi pasar potensial bagi nikel Indonesia, terutama setelah adanya regulasi baru di AS yang membatasi impor bahan baku dari China. "Namun, tanpa perbaikan dalam standar produksi, Indonesia bisa kehilangan kesempatan emas ini. Kita tidak bisa hanya mengandalkan volume produksi, tetapi juga harus memastikan bahwa produk kita memenuhi standar global," ucap dia.
Produksi Nikel Indonesia
Diberitakan di Kabarbursa.com sebelumnya, pada 2022, Indonesia memproduksi 1,6 juta ton nikel olahan, meningkat dari 1,04 juta ton pada 2021. Sementara itu Indonesia memproduksi 2,02 juta ton nikel olahan tahun 2023, yang setara dengan 57 persen produksi global. Angka ini pun meningkat menjadi 2,38 juta ton pada 2024, mewakili 62 persen dari pangsa pasar global.
Lebih lanjut, pada 2023, kapasitas pemurnian nikel Indonesia mencapai 8 juta metrik ton. Dari data ini, terdapat 33 perusahaan yang terlibat. Menurut laporan dari organisasi nirlaba Amerika Serikat (AS), C4ADS, ditemukan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut saling tumpang tindih, sehingga perusahaan-perusahaan China mengendalikan sekitar tiga perempat dari kapasitas smelting Indonesia atau sekitar 75 persen dari kapasitas tersebut.
Dua perusahaan China, Tsingshan Holding Group dan Jiangsu Delong Nickel Industry Co Ltd, menyumbang lebih dari 70 persen kapasistas pemurnian nikel di Indonesia. Selain itu, produsen nikel China lainnya, CNGR Advanced Materials Co, Ltd, berencana menginvestasikan sekitar Rp168,2 triliun di Indonesia dalam 20 tahun ke depan.
Dominasi perusahaan-perusahaan China dalam industri nikel Indonesia menimbulkan kekhawatiran terkait kendali atas rantai pasokan dan risiko lingkungan. Besarnya pengaruh asing ini dapat membatasi kemampuan Indonesia untuk mengendalikan dan membentuk industri demi keuntungan ekonominya sendiri.
Adapun volume ekspor Indonesia ke China pada 2023 mencapai 1,12 juta ton nikel (hampir 89 persen) ke China dari total ekspor 1,26 juta ton. Nilai ekspor nikel ke China mencapai USD4,34 miliar, meningkat 18,09 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal tersebut dipertegas oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) yang menyebutkan bahwa saat ini China berkontribusi sekitar 80-90 persen atas konsumsi nikel Indonesia. Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, pihaknya tengah berupaya mengurangi ketergantungan industri smelter Indonesia pada China, dengan melakukan diversifikasi pembeli ke pasar alternatif seperti AS, Eropa, dan negara Asia lainnya.
Pemain Lokal: Mulai Antam hingga Vale Indonesia
Selain China, terdapat pula beberapa perusahaan dalam negeri yang beroperasi dalam tambang nikel di Indonesia. Sejumlah pemain lokal ini mencakup perusahaan-perusahaan besar yang telah lama beroperasi, baik yang dimiliki negara maupun swasta. Mereka memiliki kontribusi signifikan dalam produksi dan ekspor nikel, serta pengembangan fasilitas smelter untuk meningkatkan nilai tambah industri.
1. Antam (ANTM)
Salah satu badan usaha milik negara (BUMN) sektor pertambangan mineral, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), merupakan salah satu korporasi yang melakukan aktivitas penambangan nikel. Antam mengoperasikan beberapa wilayah tambang nikel, termasuk Blok Sorowako di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Blok Pomalaa di Kolaka dan Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, dan Blok Morowali di Morowali, Sulawesi Tengah.
Antam sendiri pada 2023 memproduksi feronikel mencapai 21.743 ton nikel dalam feronikel (TNi) dan bijih nikel mencapai 7,30 juta wet metric ton (wmt). Pendapatan yang dihasilkan dari segmen komoditas nikel ini adalah mencapai Rp12,87 triliun, tumbuh 7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp12,03 triliun.
Untuk Antam, meskipun tidak ada data spesifik mengenai ekspor produk nikel langsung ke China, perusahaan ini telah mengakuisisi 30 persen saham senilai USD102 juta di smelter yang dimiliki oleh PT Jiu Long Metal Industry, anak perusahaan dari Tsingshan Holding Group, produsen baja tahan karat asal China. Smelter tersebut berlokasi di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Transaksi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan pengolahan bijih di dalam negeri.
2. Vale Indonesia (INCO)
Berikutnya ada PT Vale Indonesia Tbk atau INCO. Vale Indonesia menambang nikel laterit untuk menghasilkan produk akhir berupa nikel dalam matte. Dalam memproduksi nikel di Blok Sorowako, perusahaan menggunakan teknologi pyrometalurgi (meleburkan bijih nikel laterit). Rata-rata volume produksi nikel per tahun mencapai 75.000 metrik ton.
Secara lebih rinci, Vale Indonesia mencatat produksi nikel dalam matte sebesar 70.728 metrik ton pada 2023, meningkat 18 persen dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 60.090 metrik ton. Untuk kuartal I dan III tahun 2024, masing-masing produksi nikel dalam matte mencapai 18.199 metrik ton dan 18.008 metrik ton.
Untuk melihat seperti apa kontribusi dari komoditas tersebut, Vale Indonesia mencatat total pendapatan sebesar USD229,9 juta, dengan harga realisasi rata-rata nikel sebesar USD12.651 per metrik ton untuk kuartal I 2024.
Lebih lanjut, Vale Indonesia juga melanjutkan rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel beserta fasilitas pendukungnya di Sambalagi, Morowali, Sulawesi Tengah, dan di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Proyek di Bahodopi direncanakan untuk membangun pabrik pengolahan bijih saprolit menjadi feronikel, sedangkan proyek di Pomalaa akan memproses bijih nikel limonit menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan produk yang dapat diolah menjadi bahan utama baterai kendaraan listrik.
Produksi nikel dalam matte Vale Indonesia mencapai 71.311 metrik ton pada tahun 2024, melampaui target sebesar 70.805 ton dan lebih tinggi dari capaian tahun sebelumnya sebesar 70.728 ton. Volume penjualan juga menunjukkan tren positif, naik 2 persen secara tahunan (yoy) menjadi 72.625 ton dan meningkat 8 persen dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada triwulan keempat 2024, INCO membukukan EBITDA sebesar USD54,1 juta, meningkat 15 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Secara tahunan, EBITDA tercatat sebesar USD225,9 juta. Laba bersih perusahaan pada kuartal keempat mencapaUSD6,7 juta, sementara laba bersih tahunan mencapai USD57,8 juta. Setelah penyesuaian derivatif, laba bersih yang dinormalisasi tercatat sebesar USD14,6 juta untuk triwulan IV dan USD73,3 juta sepanjang tahun 2024.
Perusahaan juga berhasil menekan biaya tunai produksi hingga USD9.374 per ton, yang merupakan level terendah dalam tiga tahun terakhir.
3. Harita Nickel (NCKL)
Sementara itu, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), bagian dari Harita Group, adalah perusahaan pertambangan nikel terintegrasi yang beroperasi di Pulau Obi, Maluku Utara. NCKL mengoperasikan dua tambang bijih nikel dan dua fasilitas smelter, meliputi Smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan kapasitas produksi 25.000 ton per tahun dan Smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) dengan kapasitas produksi 37.000 ton per tahun.
Perusahaan juga sedang membangun fasilitas refinery HPAL kedua melalui entitas anak, PT Obi Nickel Cobalt (ONC), yang direncanakan memiliki tiga jalur produksi dengan kapasitas 65.000 ton kandungan nikel per tahun dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan diharapkan mulai beroperasi pada semester pertama tahun 2024
Selain itu, NCKL merencanakan ekspansi lebih lanjut untuk lini produksi RKEF melalui entitas asosiasi, PT Karunia Permai Sentosa (KPS), dengan rencana 12 jalur produksi berkapasitas 185.000 ton kandungan nikel per tahun (feronikel) yang diharapkan beroperasi secara bertahap mulai semester kedua tahun 2025.
Dari sisi produksinya, berdasarkan data kuartal III 2024, total produksi mencapai 41,06 juta metrik ton basah sejak awal kegiatan eksploitasi. Untuk entitas anak, total produksi bijih nikel mencapai 22,27 juta metrik ton basah sejak awal kegiatan eksploitasi. Harita Nickel pun melaporkan pendapatan sebesar Rp20,38 triliun hingga kuartal III 2024, meningkat 18 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, perlu dicatat bahwa angka ini mencakup seluruh pendapatan perusahaan, tidak hanya dari nikel.
Berdasarkan informasi yang tersedia, Harita Nickel telah melakukan ekspor produk nikel ke China. Pada 16 Juni 2023, melalui entitas asosiasinya PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), perusahaan ini mengekspor perdana 5.584 ton nikel sulfat ke China. Pengiriman tersebut merupakan bagian dari target pengiriman produk nikel sulfat yang mencapai 240.000 ton per tahun, sesuai dengan kapasitas produksi pabrik. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.