Logo
>

Rasio Utang Pemerintah Capai 62,45 Persen dari PDB

Angka ini sudah melampaui batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60 persen dari PDB.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Rasio Utang Pemerintah Capai 62,45 Persen dari PDB
Kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa.com/Abbas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Di balik data resmi yang kerap disampaikan pemerintah tentang utang negara, terdapat perhitungan lain yang jauh lebih besar dan patut menjadi perhatian publik.

    Jika diperhitungkan secara menyeluruh, termasuk kewajiban jangka panjang seperti program pensiun, maka posisi utang pemerintah pusat per akhir 2024 tercatat mencapai Rp13.825 triliun atau 62,45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

    Angka ini sudah melampaui batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60 persen dari PDB.

    Menurut ekonom Awalil Rizky, terdapat kecenderungan pemerintah hanya menyampaikan sebagian data utang dalam publikasi rutin.

    "Selama lima bulan APBN Kita tahun 2025, tidak tersedia lagi dokumen resminya di laman Kemenkeu. Paparan pers pun tidak mencantumkan posisi utang per akhir bulan seperti biasanya," jelasnya.

    Berbeda Definisi, Berbeda Angka

    Utang pemerintah sering didefinisikan secara sempit, yakni hanya mencakup Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri. 

    Berdasarkan data yang sempat diakses dari APBN Kita Februari 2025 (sebelum dihapus), posisi utang per 31 Januari 2025 tercatat sebesar Rp8.909 triliun, sementara data dari Bank Indonesia menunjukkan posisi per 31 Desember 2024 sebesar Rp8.801 triliun.

    Namun, jika memakai pendekatan dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang lebih luas, utang atau yang disebut “kewajiban” mencakup juga item seperti utang bunga, subsidi, transfer, hingga utang kepada pihak ketiga. Dalam LKPP 2024, nilai kewajiban pemerintah mencapai Rp10.269 triliun.

    “Kewajiban adalah utang. Dalam konteks LKPP, cakupannya lebih luas dari sekadar SBN dan pinjaman," sebutnya

    Perbedaan definisi tersebut menghasilkan rasio utang terhadap PDB yang juga sangat berbeda. Bila mengacu pada pendekatan sempit, rasio utang pemerintah terhadap PDB 2024—yang sebesar Rp22.139 triliun—hanya 39,81 persen. Tapi jika menggunakan definisi LKPP, rasionya naik menjadi 46,38 persen.

    Kewajiban Jangka Panjang: Bom Waktu Fiskal?

    Yang lebih mengkhawatirkan, kata Rizky, adalah adanya kewajiban jangka panjang program pensiun yang belum dimasukkan ke dalam neraca negara secara penuh.

    “Angkanya cukup signifikan. Nilai kewajiban pensiun per akhir 2024 sudah mencapai Rp3.556 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp3.120 triliun,” ungkapnya.

    Jika angka ini turut dihitung sebagai bagian dari utang pemerintah, maka total kewajiban melonjak menjadi Rp13.825 triliun. Artinya, rasio utang terhadap PDB melesat hingga 62,45 persen, dan secara teknis telah menembus batas fiskal maksimum yang ditentukan undang-undang.

    Rizky juga mengkritik standar akuntansi pemerintahan yang belum mengharuskan pencatatan kewajiban program pensiun ke dalam neraca. Meski demikian, BPK sudah meminta pengungkapan nilai tersebut sejak 2019, dan angka-angka itu tercantum dalam catatan tambahan LKPP.

    Kebutuhan Transparansi dan Perdebatan Definisi

    Masalah utama, menurut Rizky, bukan semata besarnya utang, tapi ketidakjelasan informasi dan lemahnya keterbukaan data. Pemerintah dinilai terlalu memilih-milih definisi untuk membentuk persepsi aman di mata publik.

    “Kalau menggunakan definisi yang luas, posisi utang kita sudah berada di atas ambang risiko,” ujar Awalil. 

    Ia mendesak agar pemerintah tidak hanya mengandalkan pendekatan formalistik dalam pelaporan fiskal, melainkan menyampaikan data yang substantif dan mencerminkan realitas kewajiban negara secara utuh.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.