Logo
>

China-Filipina Redakan Ketegangan di LCS

Ditulis oleh KabarBursa.com
China-Filipina Redakan Ketegangan di LCS

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Diplomat China dan Filipina sepakat untuk meredakan ketegangan di Laut China Selatan. Meskipun begitu, kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan klaim masing-masing dalam pertemuan setelah salah satu bentrokan maritim yang paling serius.

    Wakil Menteri Luar Negeri China, Chen Xiaodong, dan Wakil Menteri Luar Negeri Filipina, Ma Theresa Lazaro, mengadakan diskusi jujur dan konstruktif di Manila pada Selasa 2 Juli 2024, menurut Departemen Luar Negeri Filipina.

    Pertemuan serupa sebelumnya telah diadakan di Shanghai pada Januari.

    Kedua negara menegaskan komitmen mereka untuk meredakan ketegangan tanpa mengurangi posisi masing-masing dan menyadari perlunya memulihkan kepercayaan, menurut pernyataan Manila. Mereka mencatat kemajuan substansial dalam langkah-langkah untuk mengelola situasi di laut, meskipun perbedaan signifikan dengan Beijing masih ada.

    Kapal Filipina dan China telah bentrok dalam beberapa bulan terakhir, meski ada kesepakatan Januari untuk meredakan konflik. Insiden ini memunculkan keraguan tentang efektivitas mekanisme bilateral dalam meredakan ketegangan di kawasan ini.

    Kapal China menggunakan meriam air terhadap kapal Filipina, merusak kapal dan melukai kru. Beijing mengklaim tindakan tersebut sesuai dengan hukum dan profesional.

    Pembicaraan Selasa terjadi beberapa minggu setelah pertemuan di Laut China Selatan pada 17 Juni antara kapal China dan Filipina yang menyebabkan seorang pelaut Filipina kehilangan satu jarinya. Insiden itu digambarkan oleh juru bicara Angkatan Laut Filipina, Roy Vincent Trinidad, sebagai tindakan paling agresif oleh pasukan China dalam sejarah baru-baru ini.

    Filipina menegaskan akan tak kenal lelah melindungi kepentingannya dan menjunjung haknya di Laut China Selatan. Sementara itu, China kembali menegaskan klaimnya atas perairan tersebut, termasuk Second Thomas Shoal, yang menjadi pusat perselisihan. Beijing mendesak Filipina untuk segera menghentikan pelanggaran maritim dan tindakan provokatifnya.

    Ketegangan antara kedua negara dapat mereda dalam jangka pendek karena niat keduanya untuk meredakan konflik, kata Susannah Patton, Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Sydney. Namun, perselisihan ini tidak akan terselesaikan, dan kemungkinan China akan kembali menekan Filipina.

    Klaim Beijing ini mendapat tanggapan keras dari Manila di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang meningkatkan hubungan dengan AS dan Jepang. Marcos mengatakan bahwa Manila perlu melakukan lebih dari sekadar mengajukan protes diplomatik terhadap China setelah bentrokan tersebut.

    Beijing dan Manila sepakat untuk meningkatkan komunikasi maritim dan mendiskusikan kerja sama antara penjaga pantai mereka. Kedua negara juga membahas kemungkinan mengadakan forum akademis mengenai kerja sama kelautan.

    Laut China Selatan adalah wilayah maritim yang hingga kini masih diperebutkan oleh beberapa negara. Secara geografis, Laut ini tumpang tindih dengan beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Selain itu, sengketa ini juga melibatkan China dan Taiwan.

    Wilayah Laut China Selatan terus dipersengketakan karena posisinya yang sangat strategis dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

    Berbagai upaya telah ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ini. PBB turut ambil bagian dalam menyelesaikan kasus ini, begitu juga ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara yang berusaha membantu negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.

    Sengketa ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang historis yang ada. Permasalahan dimulai sejak Perang Dunia II, ketika China menggambarkan peta wilayah Laut China Selatan pada tahun 1947, yang mencakup seluruh perairan LCS. Hal ini bertentangan dengan Perjanjian San Francisco tahun 1951.

    Masalah ini merujuk pada "Sembilan Garis Putus-Putus" yang berada di luar batasan pulau-pulau di sekitar Laut China Selatan. Uniknya, istilah "Sembilan Garis Putus-Putus" hanya digunakan di tingkat internasional, sedangkan di dalam negeri China dikenal sebagai "Sebelas Garis Putus-Putus."

    Dengan adanya permasalahan yang rumit ini, negara-negara yang berbatasan dengan "Sembilan Garis Putus-Putus" sering mengalami konflik wilayah dan ketegangan dengan China. Filipina adalah salah satu negara yang memiliki masalah besar dengan China akibat sengketa ini. Pada tahun 2013, Filipina secara resmi mengajukan masalah Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda.

    Filipina menuduh China melakukan reklamasi pulau buatan dan penangkapan ikan di perairan Filipina, melanggar hukum internasional dan kedaulatan wilayah Filipina. Proses pengajuan ini memakan waktu tiga tahun, dan pada 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase menyatakan klaim China atas Laut China Selatan tidak mendasar dan tindakan kapal patroli China dinilai membahayakan nelayan serta merusak terumbu karang.

    Kondisi ini mengganggu kawasan Asia Tenggara dan memicu ketegangan antara Filipina dan China. Pada tahun 2023, Filipina mengungkapkan bahwa salah satu kapal patroli China menembakkan laser militer kepada kapal patroli Filipina di ZEE Filipina, melanggar hak kedaulatan Filipina dan memicu ketegangan. Akibatnya, kedua negara mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan sengketa ini dan meredakan konflik.

    Pertemuan tersebut mengacu pada kesepakatan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr yang melakukan kunjungan ke China pada Januari 2023. Dari pihak Filipina, pertemuan ini diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Thereza Lazaro, sementara dari pihak China diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Sun Weidong.

    Meski belum mendapatkan solusi terbaik, langkah diplomasi ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai dan meningkatkan perekonomian serta aspek lainnya.

    Walaupun pertemuan tersebut membuahkan hasil yang positif, sengketa Laut China Selatan tetap dinilai membahayakan keamanan kawasan Asia Tenggara.

    Tidak hanya Filipina, beberapa negara anggota ASEAN lainnya juga terlibat dalam masalah ini. Bahkan, Indonesia juga terseret ke dalam sengketa akibat insiden di Kepulauan Natuna pada tahun 2019, ketika kapal patroli China memasuki wilayah Natuna. (*)

     

     

     

     

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi