Logo
>

Co-Payment: Setitik Peluang Emiten Asuransi

Skema co-payment punya potensi mengubah peta profitabilitas emiten asuransi

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Co-Payment: Setitik Peluang Emiten Asuransi
Hall Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa.com/Abbas

KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah menerapkan skema co-payment pada polis asuransi kesehatan mulai 2026 memunculkan harapan baru di pasar modal. 

Di balik kekhawatiran jangka pendek soal transisi dan resistensi nasabah, sejumlah analis justru melihat reformasi ini sebagai titik balik bagi saham-saham asuransi yang selama ini undervalued.

Analis IHSG, Harry Suwanda, menyebut bahwa skema co-payment punya potensi mengubah peta profitabilitas emiten asuransi, terutama bagi mereka yang siap beradaptasi secara digital dan strategis.

“Saat ini sektor asuransi masih undervalued, tapi co-payment bisa memperbaiki earnings visibility dalam jangka panjang,” jelas Harry.

Kendati respons investor terhadap regulasi baru ini kemungkinan masih akan terpolarisasi dalam waktu dekat. Ketidakpastian teknis soal besaran tanggungan co-payment dan penyesuaian premi dapat memicu volatilitas saham sektor asuransi.

Namun, dalam jangka panjang, saham-saham asuransi bisa menjadi value play menarik—terutama jika reformasi co-payment berjalan efektif.

Ia menambahkan, emiten yang mampu memanfaatkan reformasi ini dengan memperbaiki sistem underwriting dan menekan rasio klaim justru berpeluang menjadi incaran investor jangka panjang.

Dalam konteks itu, saham seperti LIFE dan LPGI mulai dilirik pelaku pasar sebagai kandidat value play yang menjanjikan.

“LIFE dan LPGI punya valuasi murah secara price-to-book, tapi jika reformasi berhasil, ROE mereka bisa membaik. Investor yang cari defensif stocks dengan yield stabil sebaiknya mulai pantau,” ujarnya.

Untuk diketahui, PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) membukukan kinerja yang menurun pada kuartal I 2025 dibandingkan kuartal sebelumnya. Pendapatan tercatat sebesar Rp786 miliar, turun dari Rp948 miliar di kuartal IV 2024 dan Rp1,11 triliun di kuartal III 2024. Laba bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk juga menyusut drastis menjadi hanya Rp13 miliar, jauh di bawah capaian Rp119 miliar pada kuartal sebelumnya.

Penurunan laba ini mendorong laba per saham (EPS) turun signifikan menjadi Rp5,97 dari sebelumnya Rp56,83. Meskipun masih mencatat laba usaha positif sebesar Rp27 miliar, tren pelemahan ini mendorong valuasi melonjak—PE ratio kuartal I 2025 bahkan berada di kisaran ekstrem di atas 1.100×, menunjukkan valuasi yang tidak mencerminkan penurunan profitabilitas. Di sisi lain, return on equity (ROE) hanya sebesar 0,16 persen, menggambarkan rendahnya efisiensi penggunaan modal.

Sementara, untuk PT Lippo General Insurance Tbk (LPGII) mencatatkan kinerja keuangan yang cukup positif pada kuartal I 2025, dengan pendapatan mencapai Rp715 miliar dan laba bersih sebesar Rp43 miliar.

Ini menunjukkan peningkatan signifikandibandingkan kuartal sebelumnya, di mana laba bersih hanya Rp6 miliar pada Q4 2024. Dengan EPS sebesar Rp14,48 per saham dan jumlah saham beredar sebanyak 3 miliar lembar, valuasi saham ini menjadi lebih masuk akal dibanding periode sebelumnya.

PE Ratio kuartal I 2025 turun drastis menjadi 26,24 kali, jauh lebih rendah dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya yang sempat menyentuh 149× di Q4 2024 dan bahkan lebih tinggi lagi sebelumnya. Ini mencerminkan bahwa dengan membaiknya laba, valuasi pasar menjadi lebih rasional.

Return on Equity (ROE) juga menunjukkan perbaikan, mencapai 4,64%, naik dari 0,72% pada kuartal sebelumnya. Return on Assets (ROA) juga meningkat ke 1,20%, menunjukkan peningkatan efisiensi penggunaan aset.

Lebih lanjut, dia berharap co-payment juga dapat mendorong tanggung jawab penggunaan layanan kesehatan di tingkat nasabah. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas portofolio perusahaan asuransi dan memperbaiki margin operasional.

Namun Harry mengingatkan, kinerja saham asuransi tidak akan pulih instan.

Dalam jangka pendek, transisi skema dan potensi penurunan minat terhadap polis baru bisa menekan kinerja. Meski begitu, emiten dengan portofolio diversifikasi dan dukungan teknologi klaim digital tetap punya keunggulan kompetitif.

“Kuncinya ada pada edukasi nasabah, kemampuan digitalisasi, serta kemitraan dengan provider dan bank. Mereka yang kuat di sisi itu akan lebih cepat menyesuaikan diri,” tambahnya.

Strategi investasinya, lanjut Harry, harus mempertimbangkan horizon waktu. Dalam jangka pendek, ia menyarankan seleksi saham berbasis pada likuiditas dan kemampuan adaptasi masing-masing emiten. Sedangkan dalam jangka menengah hingga panjang, fokus perlu dialihkan ke rasio klaim dan pertumbuhan GWP (gross written premium).

“Short-term akan penuh tantangan, tapi jika co-payment berhasil memperbaiki kualitas underwriting, kita bisa melihat potensi rebound yang menarik pada harga saham emiten asuransi,” tutup Harry.

Ubah Wajah Industri Asuransi

Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan baru yang akan mengubah wajah industri asuransi kesehatan nasional: mulai 2026, skema co-payment bakal diwajibkan untuk sebagian besar polis asuransi kesehatan, khususnya yang menawarkan pertanggungan penuh untuk layanan medis kelas menengah hingga atas. 

Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan bisnis asuransi, namun tak luput dari perhatian pasar modal.

Dalam skema co-payment, nasabah asuransi diwajibkan menanggung sebagian biaya layanan kesehatan yang digunakan, berbeda dari sistem saat ini yang membebaskan biaya sepenuhnya bagi pemegang polis tertentu.

Pemerintah beralasan, kebijakan ini diperlukan untuk mencegah penggunaan layanan secara berlebihan dan menumbuhkan kesadaran finansial di kalangan pasien.

Analis IHSG Harry Suwanda menilai, di tengah tujuan jangka panjang yang masuk akal, implementasi kebijakan ini bisa memicu ketidakpastian jangka pendek, baik dari sisi bisnis maupun psikologis pasar.

Menurutnya, transisi kebijakan ini kemungkinan menimbulkan resistensi di tahap awal karena adanya penyesuaian premi dan perubahan ekspektasi pelanggan.

“Pasar asuransi bisa terguncang sementara waktu karena nasabah perlu waktu untuk memahami skema baru ini. Apalagi, belum ada kepastian mengenai besaran beban biaya yang akan dibagi,” ujar Harry kepada KabarBursa.com, Kamis 12 Juni 2025.

Ia menambahkan bahwa dalam jangka menengah hingga panjang, arah kebijakan ini berpotensi meningkatkan efisiensi industri.

Menurutnya, co-payment akan mengurangi beban keuangan perusahaan asuransi karena rasio klaim menjadi lebih terkendali. Dengan adanya partisipasi pengguna, perusahaan bisa lebih fokus pada penawaran produk dan inovasi layanan, bukan sekadar bertahan dari klaim berlebih.

“Dari perspektif investasi, kalau dilihat dalam horizon lima tahun, kebijakan ini bisa memperbaiki fundamental emiten asuransi. Efisiensi ini penting agar bisnis mereka berkelanjutan, apalagi di tengah tekanan inflasi medis,” jelas Harry.

Skema co-payment juga dianggap sebagai upaya menurunkan risiko moral hazard, di mana pengguna layanan merasa bebas memanfaatkan fasilitas kesehatan tanpa mempertimbangkan urgensi medis.

“Tanpa co-payment, nasabah cenderung menggunakan layanan kesehatan secara berlebihan (over-utilization), bahkan untuk kasus ringan,” kata dia.

Hal ini selama ini menjadi salah satu penyebab lonjakan biaya klaim yang membebani neraca perusahaan.

“ini (co-payment) memperbaiki rasio klaim dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi,” tandasnya.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.