KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa minyak kelapa sawit (CPO) dan tembaga menjadi pendorong utama peningkatan ekspor nonmigas pada Agustus 2024.
Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menyebutkan bahwa nilai ekspor lemak dan minyak hewani atau nabati, terutama CPO, naik sebesar 470,78 juta dolar AS dibandingkan Juli 2024. Negara-negara tujuan utama ekspor komoditas ini adalah India, Pakistan, dan Malaysia.
Selain itu, ekspor bijih logam, terak, dan abu, terutama tembaga dan konsentratnya, juga mengalami kenaikan signifikan, dengan peningkatan nilai sebesar 334,65 juta dolar AS. Negara tujuan utama ekspor tembaga adalah Tiongkok, Korea Selatan, dan Filipina. Seperti dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 17 September 2024.
Ekspor mesin dan perlengkapan elektrik juga meningkat sebesar 163,21 juta dolar AS, dengan Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Thailand sebagai negara tujuan utama.
Secara keseluruhan, ekspor Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 23,56 miliar dolar AS, naik 5,97 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Ekspor nonmigas mengalami kenaikan 7,43 persen, dari 20,81 miliar dolar AS pada Juli menjadi 22,36 miliar dolar AS pada Agustus 2024.
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, turut menegaskan pentingnya memperluas pasar ekspor sawit. Indonesia, yang menguasai sekitar 60 persen pasar sawit dunia, memiliki peluang besar untuk meningkatkan kemandirian di sektor pangan dan energi, terutama melalui konversi sawit menjadi biodiesel B50.
Uni Eropa Membatasi CPO Dari Indonesia
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, sedang mengeksplorasi kemungkinan untuk mengalihkan antara 3 hingga 5 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang biasanya diekspor ke Eropa, untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menjelaskan bahwa langkah ini terutama untuk mendukung program biodiesel B50, yakni campuran solar dengan 50 persen bahan bakar nabati.
Menurut Edi, langkah ini sejalan dengan upaya Uni Eropa yang berusaha membatasi impor CPO dari Indonesia.
“Selisih antara 3 hingga 5 juta ton CPO yang biasa kita ekspor ke Eropa dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti yang disarankan Presiden Terpilih Prabowo Subianto; jika Eropa enggan membeli, kita akan manfaatkan untuk kepentingan domestik, salah satunya untuk program B50,” ujar Edi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin 9 September 2024.
Selain rencana alih guna dalam negeri, Edi juga membuka kemungkinan bahwa CPO yang tidak diekspor ke Eropa dapat dijual ke negara-negara lain. Namun, gagasan ini masih dalam tahap kajian lebih lanjut.
Pertimbangan Insentif
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mencatat bahwa dalam pelaksanaan B50 dan bahkan B60, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, termasuk insentif.
“Konsep Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, adalah meningkatkan pungutan ekspor untuk mendapatkan insentif. Dengan menunda pengiriman CPO ke Eropa, kita bisa meningkatkan harga jual ke negara lain dan memperbesar pungutan ekspor,” jelas Eniya.
Namun, Eniya menegaskan bahwa hal ini masih dalam kajian untuk menilai aspek keekonomian. Tiga pertimbangan utama lainnya adalah aspek teknis, infrastruktur, dan penyediaan bahan baku. Pemerintah berencana menyelesaikan kajian spesifikasi B50 pada Oktober 2024.
Peningkatan infrastruktur yang melibatkan badan usaha bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar minyak (BBM) juga memerlukan waktu dan investasi. Selain itu, Eniya menyoroti perlunya peningkatan produksi BBN melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Kementan.
Menurut laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total ekspor CPO meningkat menjadi 3,38 juta ton pada Juni 2024 dari 1,96 juta ton pada Mei. Kenaikan signifikan terlihat pada produk olahan CPO, yang melonjak 872 ribu ton dari 1,36 juta ton menjadi 2,23 juta ton pada Juni, sementara ekspor CPO mentah naik 578 ribu ton menjadi 651 ribu ton.
Kenaikan volume ekspor ini diiringi dengan peningkatan harga dari USD981/ton pada Mei menjadi USD1.011/ton pada Juni, sehingga nilai ekspor melonjak menjadi USD2,79 miliar pada Juni dari sebelumnya USD1,72 miliar pada Mei.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.