KABARBURSA.COM - Pemerintah telah membuat keputusan menarik dengan tidak memasukkan rencana penerapan cukai plastik dan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Keputusan ini terungkap dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, yang dirilis setelah Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus lalu.
Ini menjadi langkah yang sedikit mengejutkan, mengingat sebelumnya rencana untuk mendongkrak penerimaan negara, termasuk melalui cukai, telah tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang terbit pada akhir Mei lalu.
Dalam KEM-PPKF tersebut, pemerintah mengidentifikasi enam kebijakan utama untuk mendukung penerimaan negara, termasuk ekstensifikasi cukai dengan memperluas objek cukai ke produk plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), serta intensifikasi tarif CHT dengan kenaikan bertahap.
Namun, dalam versi final Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, rencana ekstensifikasi cukai ternyata hanya terbatas pada MBDK dengan tujuan menjaga kesehatan masyarakat. Cukai plastik, yang sempat direncanakan, sama sekali tidak tercantum. Lebih mengejutkan lagi, pemerintah juga memutuskan untuk tidak melanjutkan kebijakan intensifikasi tarif CHT. Akibatnya, dari enam kebijakan penerimaan yang awalnya direncanakan, kini hanya tersisa lima.
Sebagai informasi, tarif cukai rokok saat ini memang ditetapkan secara multiyears, atau direncanakan untuk beberapa tahun ke depan. Misalnya, pada tahun 2022, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2023 dan 2024 sebesar rata-rata 10 persen, dengan kenaikan maksimal 5 persen per tahun untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT).
Namun, dengan tidak adanya kebijakan baru dalam RAPBN 2025, timbul pertanyaan: Apakah tarif cukai rokok akan tetap naik tahun depan?
Jawabannya masih harus kita tunggu. Yang jelas, keputusan pemerintah ini menambah elemen kejutan dalam strategi fiskal negara untuk tahun depan.
Kinerja Emiten
Kinerja emiten rokok seperti Gudang Garam (GGRM), HM Sampoerna (HMSP), dan Wismilak Inti Makmur (WIIM) mencatatkan kinerja yang beragam.
1. HMSP
Saham HM Sampoerna (HMSP) mengalami tekanan setelah dikeluarkan dari perhitungan FTSE Global Equity Index kategori large cap. Dalam pengumuman yang dirilis oleh FTSE pada 23 Agustus, perubahan tersebut merupakan hasil dari review semi-annual dan akan efektif setelah penutupan pada 20 September 2024. Dalam pengumuman itu, FTSE mencatat, "Remove from Large/Board Change to Ineligible Board."
Sepanjang 2024, saham HMSP telah mengalami penurunan sebesar 15,17 persen (year-to-date). Bahkan, saham ini mencapai titik terendahnya dalam 10 tahun terakhir di Rp640 pada 8 Agustus 2024. Nilai kapitalisasi pasar HMSP saat ini berada di angka Rp87,82 triliun.
Kinerja saham Sampoerna memang tertekan seiring dengan penurunan laba bersih perusahaan. Pada semester I-2024, Sampoerna mencatatkan laba bersih sebesar Rp3,31 triliun, turun 11,55 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp3,75 triliun.
Jika dilihat dari kinerja kuartal II-2024, laba bersih HMSP tercatat Rp1,07 triliun, lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024 yang mencapai Rp2,24 triliun. Meskipun penjualan bersih HMSP pada semester I-2024 meningkat menjadi Rp57,81 triliun dari Rp56,15 triliun pada semester I-2023, beban pokok penjualan juga naik menjadi Rp49,12 triliun, dibandingkan Rp46,91 triliun pada paruh pertama 2023.
Kondisi ini menyebabkan laba bruto perusahaan turun dari Rp9,24 triliun pada semester I-2023 menjadi Rp8,68 triliun pada Januari-Juni 2024. Penurunan ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan dalam penjualan, tingginya biaya yang harus ditanggung membuat profitabilitas Sampoerna terus tertekan.
2. WIIM
PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), salah satu produsen rokok terkemuka di Indonesia, mengalami penurunan signifikan dalam kinerja keuangannya selama semester pertama (1H) 2024. Berdasarkan laporan keuangan terbaru, WIIM hanya mampu membukukan laba bersih sebesar Rp147,24 miliar, yang menandakan penurunan drastis sebesar 40 persen dibandingkan dengan laba Rp246,88 miliar yang dicapai pada periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Pertama, penjualan bersih WIIM selama 1H 2024 hanya mencapai Rp2,22 triliun, turun 6,7 persen secara year-on-year (yoy) dari Rp2,38 triliun pada semester pertama 2023.
Di sisi lain, beban penjualan WIIM meningkat tajam, naik 8,7 persen yoy menjadi Rp207,99 miliar. Lonjakan ini menambah tekanan pada margin keuntungan perusahaan yang sudah mengalami penurunan akibat turunnya penjualan.
Selain itu, beban umum dan administrasi juga menunjukkan tren yang meningkat, mencapai Rp115,83 miliar, naik 9,2 persen yoy dibandingkan dengan semester pertama 2023. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan biaya operasional dan pengeluaran lainnya yang tak terhindarkan untuk menjaga kelangsungan bisnis.
Hingga 30 Juni 2024, total aset WIIM tercatat sebesar Rp2,51 triliun. Meskipun aset perusahaan tetap solid, penurunan laba bersih dan peningkatan beban menunjukkan tantangan besar yang dihadapi WIIM dalam mempertahankan profitabilitasnya. Sementara itu, total ekuitas WIIM tercatat sebesar Rp1,77 triliun, mencerminkan upaya perusahaan untuk tetap kokoh di tengah kondisi pasar yang penuh tantangan.
3. GGRM
Saham GGRM masih mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan dalam jangka waktu lebih lama. Selama sepekan terakhir, saham ini turun 5,87 persen, dan sepanjang bulan terakhir merosot hingga 8,89 persen. Bahkan, sejak awal tahun ini, saham GGRM telah jatuh 23,12 persen, seiring dengan melemahnya kinerja keuangan perusahaan sepanjang semester I-2024.
GGRM melaporkan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp925,51 miliar untuk semester I-2024, yang berarti penurunan tajam sebesar 71,85 persen dibandingkan dengan Rp3,28 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Laba per saham juga turun drastis menjadi Rp481 per 30 Juni 2024, dari Rp1.709 pada akhir Juni 2023.
Penurunan laba ini disebabkan oleh merosotnya pendapatan perusahaan menjadi Rp50,01 triliun pada paruh pertama tahun ini, dibandingkan Rp55,85 triliun pada semester I-2023. Pendapatan GGRM masih didominasi oleh penjualan rokok yang mencapai Rp49,44 triliun, diikuti oleh pendapatan dari kertas karton sebesar Rp472,63 miliar, dan pendapatan lainnya sebesar Rp103,40 miliar.
Meski biaya pokok pendapatan turun menjadi Rp44,95 triliun dari Rp47,91 triliun di semester I-2023, hal ini tidak cukup untuk menahan penurunan laba bruto yang jatuh ke Rp5,06 triliun pada semester I-2024, dibandingkan dengan Rp7,93 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari sisi neraca, total aset GGRM pada semester I-2024 tercatat sebesar Rp87,74 triliun, turun 5,09 persen dibandingkan akhir Desember 2023. Meskipun demikian, total ekuitas perusahaan naik tipis 1,5 persen menjadi Rp61,78 triliun, sementara total liabilitas turun signifikan sebesar 17,8 persen menjadi Rp25,95 triliun.
Pergerakan saham GGRM dan kinerja keuangannya yang menurun mencerminkan tantangan yang sedang dihadapi perusahaan ini di tengah kondisi pasar yang kompetitif.(*)