KABARBURSA.COM - Ibu-ibu pekerja menanggapi peraturan terkait cuti melahirkan enam bukan yang tertuang dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (FHPK).
Fabiola, salah satu karyawati swasta di Jakarta menyatakan setuju dengan kebijakan tersebut. Ia mengatakan seorang ibu butuh waktu lebih dalam mengurus sang anak usai melahirkan.
"Tentunya setuju, karena sebagi seorang ibu yang baru melahirkan pastinya sangat butuh waktu yang banyak untuk mengurus anaknya," kata dia kepada Kabar Bursa, Jumat 7 Juni 2024.
Saat tengah melahirkan beberapa tahun lalu, ibu satu anak ini mendapat jatah cuti selama tiga bulan. Menurutnya waktu itu cukup kurang bagi ibu paska melahirkan.
"Apalagi kalau situasi dan kondisi dalam rumah yang tidak mendukung untuk anaknya ditinggal dalam waktu cepat," tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan karyawati lainnya bernama Desi. Secara tegas, ia mendukung peraturan cuti enam bulan bagi ibu pekerja melahirkan.
"Sebagai ibu pekerja saya setuju banget karena setelah melahirkan butuh waktu untuk recovery dan merawat bayi newborn kan," ungkapnya.
Desi menganggap 1000 hari pertama kehidupan anak sangat penting penting. Pasalnya, ia ingin melihat perkembangan si buah hati dari hari ke hari.
Sehingga, ibu satu anak itu menegaskan cuti enam bulan untuk pekerja wanita yang melahirkan merupakan waktu yang pas.
"Menurut saya sih ya. Karena dalam enam bulan itu kita bisa memantau kondisi anak," ucapnya.
DPR RI telah menyetujui rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi UU dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 4 Juni 2024. UU KIA menjadi landasan penting untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak-anak di Indonesia.
UU ini tidak hanya mengatur hak-hak dasar dan perlindungan, tetapi juga merumuskan berbagai aspek ekonomi yang dapat menjadi investasi jangka panjang bagi negara.
Fokus UU ini adalah mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Fase awal kehidupan anak terhitung sejak terbentuknya janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun.
UU KIA menekankan pentingnya perlindungan sosial dan bantuan ekonomi sebagai bagian integral dari kesejahteraan ibu dan anak.
Pengusaha 'Sakit Gigi'
Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, menyampaikan pandangannya terkait RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang telah disetujui menjadi UU pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Menurutnya, undang-undang tersebut menetapkan hak cuti bagi ibu pekerja yang baru melahirkan selama minimal 3 bulan pertama dan maksimal 3 bulan berikutnya jika ada kondisi khusus yang didukung oleh bukti medis.
Dalam penjelasannya, Sarman menekankan bahwa kewajiban pengusaha adalah memberikan cuti selama 3 bulan bagi ibu yang melahirkan, bukan selama total 6 bulan. Dia mengakui bahwa ketidakwajiban memberikan cuti selama 6 bulan tidak akan memberikan dampak kerugian bagi perusahaan terkait.
“Kami melihat bahwa UU bunyinya seperti ini tidak mewajibkan cuti 6 bulan, tentu dari sisi kerugian tidak begitu rugi dalam hal ini pengusaha, karena sejauh bahwa ibunya sehat dan bayinya sehat ya tetap yang wajib itu 3 bulan, saya rasa mudah-mudahan bisa dilaksanakan,” ucap Sarman, dikutip pada Kamis, 6 Juni 2024.
Sarman menjelaskan, jika UU KIA yang telah disetujui oleh seluruh anggota dan perwakilan fraksi yang hadir pada Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 4 Juni 2024, menetapkan kewajiban pada cuti 6 bulan, maka pengusaha jelas akan keberatan. “Yang kita keberatan kalau itu menjadi sebuah kewajiban,” kata dia.
Sarman juga menegaskan akan siap melaksanakan UU KIA ke depannya. Namun, dengan catatan karyawan yang melaksanakan cuti melahirkan 3 bulan tetap bisa melakukan produktivitas dan tidak menggugurkan kewajiban terhadap target yang disiapkan dan dibuat pengusaha.
“Tentu tidak mengurangi produktivitas, karena bagi pengusaha sekalipun karyawan kita katakanlah cuti melahirkan 3 bulan tapi tidak mengurangi produktivitas dan target-target yang telah disiapkan dan dibuatkan oleh pengusaha dalam hal ini,” ujarnya.
Beban Baru
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W Kamdani, mengatakan regulasi dalam UU KIA berpotensi menjadi beban baru dalam dunia usaha. Hal ini lantaran produktivitas karyawan akan berkurang jika benar-benar dilaksanakan.
“Ketentuan baru yang diatur dalam UU KIA berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha serta kebijakan mengenai cuti hamil/melahirkan yang sudah disepakati,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Dialog dan evaluasi atas UU KIA diperlukan, menurut Shinta, agar ketentuan baru tersebut dapat mencapai tujuan terciptanya perlindungan pekerja perempuan dan keberlangsungan dunia usaha.
Shinta juga menyinggung hingga saat ini Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas. Berdasarkan Human Capital Index tahun 2022, secara global Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara berdasarkan tingkat produktivitas.
Ditambah, data competitiveness index Indonesia juga masih rendah. Demikian pula Shinta menyoroti permasalahan rendahnya Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK), yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menyatakan bahwa TPAK perempuan 60,18 persen jauh lebih kecil dari pada laki-laki yang mencapai angka 86,97 persen.
Namun demikian, APINDO turut mendukung upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini juga sesuai dengan program APINDO dalam berpatisipasi dalam menurunkan prevalensi stunting. (yog/prm)