KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu gemar melakukan terobosan baru dalam menghadapi persoalan ekonomi. Termasuk dalam upaya mengatasi tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Menurut Yose, Indonesia kerap mencari "resep baru" untuk masalah-masalah ekonomi yang sebenarnya sudah lama dihadapi. Ia menilai, alih-alih terus-menerus membuat terobosan, seharusnya pemerintah cukup menerapkan resep lama yang telah terbukti efektif, namun dilakukan dengan konsisten dan sungguh-sungguh.
"Nah, saya melihat padahal permasalahan-permasalahan yang ada itu adalah permasalahan-permasalahan yang sudah kita hadapi sejak 20-25 tahun yang lalu ataupun dalam berbagai krisis-krisis yang lain sebelumnya," kata Yose dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Ia menambahkan, sebenarnya solusi dari masalah-masalah tersebut tidak membutuhkan terobosan baru. "Yang sebenarnya resepnya itu-itu saja yang harusnya kita lakukan. Tidak usah pakai terobosan, asalkan kita lakukan secara konsisten dan dengan baik tentunya," tegasnya.
Salah satu contoh terbaru yang disorot Yose adalah pembentukan Danantara, lembaga baru yang diharapkan mampu mengintervensi pasar modal, khususnya untuk menopang kinerja IHSG yang tertekan belakangan ini. Ia menganggap langkah ini sebagai terobosan yang tidak pada tempatnya.
"Nah, kemarin misalnya untuk mencari solusi dalam jatuhnya IHSG, kita kemudian Danantara yang baru dibentuk diharapkan untuk intervensi ke dalamnya. Ini terobosan, memang terobosan. Tapi terobosan yang tidak pada tempatnya sebenarnya," ujarnya.
Menurut Yose, Danantara seharusnya difokuskan untuk kegiatan investasi jangka panjang di berbagai bidang produktif, bukan digunakan sebagai alat intervensi pasar saham.
"Danantara kalau memang mau berhasil itu harusnya ditujukan untuk investasi di berbagai bidang yang lain. Bukan melakukan intervensi," tuturnya.
Lebih jauh, Yose menekankan pentingnya pemerintah menjaga konsistensi kebijakan dan memperkuat pondasi ekonomi domestik, daripada terus mencari solusi jangka pendek yang berisiko menimbulkan ketidakpastian di pasar.
"Salah satu permasalahan dalam kebijakan di Indonesia adalah terlalu banyak terobosan. Terlalu sering kita senang dengan mencoba menemukan resep baru," tandasnya.
Rencana Penyedia Likuiditas
Rencana Danantara menjadi penyedia likuiditas atau liquidity provider di pasar modal dinilai belum bisa memikat kepercayaan investor lokal maupun asing. Pengamat pasar modal Desmond Wira mengatakan rencana Danantara sebagai liquidity provider memang akan meningkatkan likuiditas pasar. Menurutnya, hal ini hanya salah satu faktor yang membuat investor lebih nyaman bertransaksi.
"Tetapi soal kepercayaan itu faktor lain, lebih tergantung pada regulasi bursa yang ada, bagaimana regulasi tersebut dijalankan, serta faktor fundamental emiten dan negara, dan lainnya," ujarnya kepada KabarBursa.com.
Rencana Danantara menjadi liquidity provider juga belum tentu bisa mengurangi fluktuasi harga saham, terutama saham-saham BUMN. Desmond menerangkan, biasanya hanya sebagian kecil dari porsi modal yang digunakan sebagai liquity provider, sebagian besar lain adalah untuk investasi jangka panjang. "Selain itu fluktuasi harga saham tergantung pada banyak faktor, termasuk kondisi emosional pelaku pasar," katanya.
Jika sudah panik atau eforia, peran liquidity provider menjadi kurang berperan. Liquidity provider biasanya lebih terasa kalau kondisi market sedang normal. Desmon menyebut potensi risiko terhadap Danantara ketika menjadi penyedia likuiditas di pasar modal tergolong kecil. Sebab, hanya sebagian kecil dari porsi modal yang digunakan sebagai liquity provider.
Transparansi Dalam Penglolaan Dana Publik
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, turut mengkritisi mengenai belum jelasnya arah investasi superholding BUMN, Danantara. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana publik, mengingat sumber pendanaan Danantara berasal dari dividen BUMN—yang notabene merupakan uang rakyat dan harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.
"Sejak awal, direksi Danantara seharusnya menyampaikan secara komprehensif rencana investasinya,” ujar Danang kepada KabarBursa.com, Kamis, 24 April 2025.
Sebagai entitas superholding yang dibentuk pemerintah, Danantara kini mulai menyerap dividen dari sejumlah BUMN strategis dengan potensi dana yang bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Meski begitu, Danang mempertanyakan bagaimana dana tersebut akan dikelola, apakah dikendalikan secara terpusat oleh Danantara atau diserahkan kepada masing-masing BUMN untuk mengatur sendiri strategi investasinya.
"Apakah tujuannya untuk meningkatkan value profit dari BUMN? Jika ini tujuannya, maka harus diarahkan investasinya ke bisnis yang memberikan atau berpotensi memberikan keuntungan besar," katanya.
Danang menilai arah dan tujuan investasi Danantara merupakan hal krusial yang perlu diketahui publik. Ia menjelaskan, apabila Danantara memang ditujukan untuk meningkatkan keuntungan BUMN, maka dana investasi semestinya difokuskan pada sektor-sektor yang memiliki potensi keuntungan tinggi.
Namun, jika investasi justru diarahkan ke proyek infrastruktur yang selama ini sulit menarik minat investor—seperti program hilirisasi—maka menurutnya, direksi Danantara perlu secara terbuka menyampaikan kemungkinan terjadinya kerugian dalam jangka pendek. Kejujuran tersebut dinilai penting agar publik memahami risiko dan tidak dibuai ekspektasi yang tidak realistis.
Ia mewanti-wanti agar ketidakjelasan ini tidak menjadi celah bagi kepentingan sempit. “Tanpa transparansi tujuan, Danantara bisa berubah jadi sapi perah untuk proyek-proyek elitis, atau bahkan jadi alat pembiayaan politik yang tak layak secara ekonomi,” tandas Danang.(*)