KABARBURSA.COM - Daya beli masyarakat diperkirakan menurun pada kuartal II 2024. Hal ini diprediksi bakal berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 menurun.
Abdul mengatakan, menurunnya pertumbuhan ekonomi tersebut karena pada kuartal II tahun ini tidak adanya momentum hari besar seperti Ramadan dan Idulfitri.
"Sementara kuartal II ini tidak ada hal itu sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya," ujarnya kepada Kabar Bursa, Senin 13 Mei 2024.
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2024 mengalami peningkatan.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia A Widyasanti menyampaikan, bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I tahun ini mencapai 4,91 persen.
Kontribusi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I dinilai karena adanya aktivitas belanja masyarakat pada momentum bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri.
Akan tetapi, Abdul memprediksi daya beli masyarakat pada kuartal II ini akan melambat. Hal ini disebabkan oleh inflasi inti yang cenderung menurun.
"Apalagi saat ini konsumsi itu sedang tidak baik karena inflasi intinya itu cenderung menurun sementara inflasi bahan makanan meningkat. Artinya daya beli masyarakat itu tergerus dua kali," jelasnya.
Abdul kemudian ditanya mengenai panen raya. Menurutnya, hal ini tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II mendatang.
"Panen raya itu arahnya lebih kepada diharapkan menurunkan yang namanya inflasi bahan pangan. Maksudnya ketika harga bahan pangan itu menurun, maka tidak akan serta, orang meningkatkan konsumsi jadi ga berpengaruh menurut saya," tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Etika Karyani beberapa waktu lalu. Ia menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II berpotensi melambat.
“Saya perkirakan kuartal II tidak setinggi kuartal I atau melambat karena tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal I lebih dipicu oleh faktor musiman seperti lebaran dan pemilu,” ujar dia kepada Kabar Bursa, Selasa 7 Mei 2024.
Etika menyebut, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II mendatang, salah satunya adalah merosotnya penerimaan negara sebesar 4.1 persen (per Maret).
“Lalu biaya subsidi tinggi untuk menopang pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak serta daya beli masyarakat menurun efek dari kenaikan harga barang, khususnya pangan,” terangnya.
Selain itu, lanjut Etika, pelemahan pertumbuhan juga bisa diakibatkan oleh kinerja ekspor yang tertekan. Kondisi ini dikarenakan efek dari isu global dan geopolitik.
Daya Beli Tergerus
Inflasi pangan yang tengah mencapai level tinggi saat ini dinilai perlahan menggerus daya beli masyarakat. Hal ini telah tercermin dari penurunan inflasi inti sejak awal 2023.
Direktur Riset Makroekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akbar Susamto mengatakan bahwa sejak kuartal I 2024, tingkat inflasi intinya hampir mendekati tingkat inflasi inti pada kuartal IV 2020 ketika pandemi Covid-19.
“Tak hanya itu, penurunan juga terlihat dari pertumbuhan tahunan pengeluaran makanan riil pada seluruh kelompok masyarakat pada Maret 2023. Salah satu sumber utama penggerus daya beli masyarakat adalah kenaikan harga pangan,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Jumat, 26 April 2024.
Pasalnya, sambung Akbar, separuh lebih porsi pengeluaran per kapita dari 80 persen masyarakat Indonesia digunakan untuk membeli makanan.
“Pelemahan daya beli juga dapat dilihat dari persentase pengeluaran barang-barang sekunder dan tersier yang menurun, yaitu pakaian, alas kaki, dan tutup kepala, barang tahan lama, dan aneka barang dan jasa,” ungkap Akbar.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi pada komponen harga bergejolak pada bulan Maret 2024 mencapai 10,33 persen year on year (yoy).
Plt Kepala BPS Amalia A. Widyasanti mengungkapkan bahwa inflasi pada komponen harga bergejolak atau inflasi pangan pada bulan Maret ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2022 atau dalam 20 bulan terakhir, mencapai 8,93 persen.
“Tekanan inflasi dari komponen harga bergejolak memberikan kontribusi terbesar pada inflasi pada bulan Maret 2024, dengan kontribusi sebesar 1,46 persen,” bebernya
“Beberapa komoditas yang memberikan kontribusi dominan terhadap inflasi adalah beras, daging ayam ras, cabai merah, telur ayam ras, bawang putih, dan tomat,” lanjut Amalia.