Logo
>

Daya Beli Masyarakat sedang Menurun, ini Buktinya

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Daya Beli Masyarakat sedang Menurun, ini Buktinya

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa deflasi yang telah terjadi selama dua bulan berturut-turut yaitu pada Mei dan Juni 2024 menandakan melemahnya daya beli masyarakat atau domestik.

    Pada Mei 2024, deflasi terjadi sebesar 0,03 persen. Sedangkan Juni 2024 mencapai 0,08 persen.

    Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan deflasi selama dua bulan terakhir ini mengindikasikan lemahnya daya beli domestik atau masyarakat.

    “Ini menandakan bahwa ada indikasi terjadinya penurunan daya beli domestik,” kata Nafan Aji kepada Kabar Bursa, Kamis, 4 Juli 2024.

    Nafan menuturkan kondisi ini bisa berdampak pada emiten ritel. Sebab, kata dia, emiten di sektor ini mengandalkan penjualan pada produknya.

    “Kalau misalkan terjadi pelemahan daya beli artinya ini akan berimplikasi terhadap penurunan tingkat penjualan dari emiten tersebut," tuturnya.

    Karenanya, Nafan menyarankan kepada emiten ritel untuk melakukan efisiensi bisnis. Hal ini bertujuan untuk menekan cost atau biaya.

    “Agar sustainable ke depannya karena ini akan berimplikasi kepada kinerja bottom line dari emiten ritel," ungkap Nafan.

    Di sisi lain Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memprediksi deflasi pada Juni 2024 terjadi dikarenakan banyaknya pengakhiran hubungan kerja (PHK). Akibatnya, kondisi ini menurunkan sisi permintaan.

    “Bisa jadi ini menunjukan gelombang PHK yang terjadi ini menurunkan sisi permintaan sehingga produsen juga tidak terlalu berani untuk menyesuaikan harga,” ujar Bhima kepada Kabar Bursa, Selasa 2 Juli 2024.

    Meskipun faktanya nilai tukar rupiah dan suku bunga membuat biaya produksi menjadi naik, Bhima melihat produsen belum berani untuk menaikkan harga di tingkat retail.

    Lebih lanjut, Bhima menuturkan, pada deflasi Juni 2024 ini, inflasi intinya sangat kecil. Kata dia, inflasi inti year on year (yoy) atau secara tahunan itu hanya 1,9 persen.

    Menurut dia, hal tersebut harus menjadi catatan bahwa inflasi inti yang rendah menunjukan bahwa masih adanya tekanan dari sisi permintaan sehingga masyarakat menahan diri untuk belanja hingga lebih banyak untuk berhemat.

    “Khususnya di kelompok kelas menengah ini bisa jadi karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah jadi mereka mempersiapkan beberapa bulan ke depan punya dana cadangan dan dana tabungan yang lebih besar,” jelasnya.

    Bhima juga mengatakan bahan pangan menjadi momok di tengah terjadinya deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2024. Dia membeberkan, di saat kondisi deflasi 0,08 persen seperti ini, bahan pangan masih mengalami inflasi sebesar 5,96 persen.

    “Tapi inflasi barang yang bergejolak atau bahan pangan ini secara tahunan masih 5,96 persen, hampir 6 persen,” katanya.

    Bhima menyatakan situasi seperti ini menjadikan bahan makanan momok yang membuat deflasi tidak serta merta berimbas positif bagi perekonomian.

    Kondisi ini, lanjut dia, justru menjadi peringatan karena bahan makanan itu sangat sensitif terhadap penduduk, terutama warga kelas menengah.

    “Ketika terjadi deflasi tapi bahan makanan masih mencatatkan inflasi, maka ini menjadi warning, karena bahan makanan itu sangat sensitif terhadap penduduk miskin, kelas menengah,” ujarnya.

    Bhima pun khawatir keadaan ini bisa berimbas kepada pembelian kebutuhan lainnya seperti elektronik, alat rumah tangga, hingga barang otomotif.

    “Jadi jangan sampai karena bahan makanan naik, masyarakat pasti akan mendahulukan membeli makanan, sedangkan keinginan untuk membeli barang elektronik, peralatan rumah tangga, barang otomotif, suku cadang, kendaraan bermotor, atau barang sekunder dan tersier itu akan direm. Itu yang perlu dicermati,” tuturnya.

    Banyak PHK Menjadi Faktor Deflasi

    Diberitakan sebelumnya, banyaknya pengakhiran hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya deflasi naik pada Juni 2024.

    Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memprediksi deflasi pada Juni 2024 terjadi dikarenakan banyaknya PHK. Akibatnya, kondisi ini menurunkan sisi permintaan.

    “Bisa jadi ini menunjukan gelombang PHK yang terjadi ini menurunkan sisi permintaan sehingga produsen juga tidak terlalu berani untuk menyesuaikan harga,” ujarnya kepada  Kabar Bursa, Selasa 2 Juli 2024.

    Meskipun faktanya nilai tukar rupiah dan suku bunga membuat biaya produksi menjadi naik, Bhima melihat produsen belum berani untuk menaikkan harga di tingkat retail.

    Lebih lanjut Bihima menuturkan, pada deflasi Juni 2024 ini, inflasi intinya sangat kecil. Kata dia, inflasi inti year on year atau secara tahunan itu hanya 1,9 persen.

    Menurut dia, hal tersebut harus menjadi catatan bahwa inflasi inti yang rendah menunjukan bahwa masih adanya tekanan dari sisi permintaan sehingga masyarakat menahan diri untuk belanja hingga lebih banyak untuk berhemat.

    “Khususnya di kelompok kelas menengah ini bisa jadi karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah jadi mereka mempersiapkan beberapa bulan ke depan punya dana cadangan dan dana tabungan yang lebih besar,” jelasnya.

    Sebelumnya diberitakan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkap jumlah karyawan di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Wakil Ketua Umum API, David Leonardi, mengatakan hingga Mei 2024, pihaknya mencatat setidaknya ada sekitar 10.800 karyawan terkena PHK.

    “Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK,” ujar dia kepada  Kabar Bursa, Rabu 19 Juni 2024.

    David membeberkan sepanjang kuartal I 2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66.67 persen. Akan tetapi, lanjut dia, di luar angka ini terdapat tenaga kerja kontrak yang tidak tercatat.

    “Di luar angka tersebut ada juga tenaga kerja kontrak yang tidak tercatat sehingga angka PHK yang sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tercatat,” katanya.

    David menambahkan, pihaknya juga mencatat setidaknya ada 20 hingga 30 pabrik tekstil yang tutup hingga saat ini.

    Di sisi lain, dia menyinggung Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Menurutnya, kebijakan ini berdampak buruk bagi produsen pakaian di Indonesia.

    “Hal ini sangat berdampak buruk bagi produsen pakaian jadi Indonesia karena impor produk pakaian jadi Indonesia akan masuk ke pasar dalam negeri Indonesia dengan lebih mudah,” jelas dia.

    Lebih jauh dia menyampaikan, impor pakaian jadi yang besar, akan meruntuhkan ketahanan industri hilir TPT Indonesia dan memberikan domino efek pada industri intermediate hingga industri hulu TPT dalam negeri.

    Selain itu, David mengungkapkan berbagai faktor yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil.

    Dia menjelaskan salah satu faktor utama yang memicu PHK besar-besaran adalah kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil akibat inflasi.

    “Kondisi ini diperburuk dengan adanya ketegangan di Timur Tengah yang berdampak pada jalur pelayaran, sehingga meningkatkan ongkos perjalanan secara signifikan,” tutur David.

    Dia mengungkapkan, perang antara Israel-Palestina membuat kapal-kapal harus memutar jalur sehingga meningkatkan biaya pengapalan hingga lima kali lipat. Situasi ini menyebabkan kelebihan pasokan, termasuk dari Tiongkok sebagai produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar di dunia, yang kemudian membanjiri pasar global, termasuk Indonesia.

    BPS melaporkan bahwa deflasi telah terjadi selama dua bulan berturut-turut yaitu pada Mei dan Juni 2024. Deflasi secara bulanan atau month to month (mtm) pada Mei sebesar 0,03 persen, sedangkan Juni mencapai 0,08 persen.

    IHK Umum Turun

    Secara lebih rinci, berdasarkan tahunan, IHK umum turun menjadi 2,51 persen year-on-year (yoy) pada Juni 2024 dari 2,84 persen yoy pada Mei 2024. Inflasi tahun kalender (year-to-date/ytd) untuk semester pertama tahun 2024 tercatat 1,07 persen, lebih rendah dari inflasi ytd 1,37 persen yang tercatat pada semester pertama 2023.

    Deflasi bulanan pada kelompok harga bergejolak cenderung tercatat deflasi 0,98 persen mom pada Juni 2024 dari deflasi 0,69 persen mom pada Mei 2024, didorong oleh deflasi pada sebagian besar komoditas makanan.

    Komoditas pangan yang berkontribusi paling besar terhadap deflasi adalah bawang merah (0,09 persen), tomat (0,07 persen), dan daging ayam ras (0,05 persen). Deflasi yang terjadi pada banyak komoditas pangan disebabkan oleh normalisasi harga setelah musim panen.

    Namun demikian, beberapa komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit masih mencatatkan inflasi karena pola tanam dan masa tanam cabai yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya serta meningkatnya permintaan menjelang perayaan Iduladha. (yog/*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.