Logo
>

Daya Beli Tertekan: Pemudik Lebaran 2025 Turun Drastis

Penurunan jumlah pemudik ini mengindikasikan pendapatan yang dapat dibelanjakan masyarakat semakin terbatas.

Ditulis oleh Dian Finka
Daya Beli Tertekan: Pemudik Lebaran 2025 Turun Drastis
Antrean Check-In Penumpang di Terminal 2E Bandara International Soekarno-Hatta, Rabu (26/3/2025). Arus Mudik di Cengkareng mulai terlihat ramai di akhir Ramadhan. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Lebaran tahun ini mencatat tren yang tidak biasa. Jumlah pemudik diperkirakan turun drastis dibanding tahun sebelumnya, mencerminkan tekanan ekonomi yang semakin nyata di masyarakat. 

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai penurunan ini erat kaitannya dengan melemahnya daya beli rumah tangga, terutama di kalangan menengah ke bawah.  

    Berdasarkan Survei Potensi Pergerakan Masyarakat Angkutan Lebaran 2025 yang dilakukan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun ini diproyeksikan hanya mencapai 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari total populasi Indonesia. Angka ini turun signifikan sebesar 24 persen dibanding Lebaran 2024 yang mencatatkan 193,6 juta pemudik.  

    "Penurunan jumlah pemudik ini mengindikasikan pendapatan yang dapat dibelanjakan masyarakat semakin terbatas. Banyak rumah tangga akhirnya mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman," ujar Faisal kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 31 Maret 2025.  

    Ekspektasi Penghasilan & Lapangan Kerja Turun 

    Tekanan terhadap pendapatan masyarakat juga terlihat dalam survei ekspektasi ekonomi. Data Bank Indonesia mencatat indeks ekspektasi penghasilan dalam enam bulan ke depan mengalami penurunan 1,1 persen pada Februari 2025. Selain itu, ekspektasi terhadap ketersediaan lapangan kerja juga melemah 2,1 persen pada periode yang sama.  

    Kondisi ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang tinggi, membuat rumah tangga lebih berhati-hati dalam membelanjakan pendapatan mereka.  

    Kemudian lesunya konsumsi rumah tangga tidak hanya berdampak pada aktivitas mudik, tetapi juga terasa di sektor industri dan perdagangan. Data penerimaan pajak dari kedua sektor ini menunjukkan penurunan tajam.  

    Pada Januari 2025, penerimaan pajak dari industri pengolahan hanya mencapai Rp 23,25 triliun, terkontraksi 39 persen dibanding Januari 2024 yang mencapai Rp 38,1 triliun. Sementara itu, sektor perdagangan mengalami pukulan lebih dalam dengan penurunan 89 persen. Pada Januari 2025, realisasi pajak sektor perdagangan hanya Rp 4,23 triliun, jauh di bawah Januari 2024 yang mencapai Rp 38,8 triliun.  


    Faisal menilai data-data tersebut mengonfirmasi fenomena melemahnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan, yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan masyarakat dalam mengonsumsi barang dan jasa.  

    "Situasi ini adalah refleksi dari tantangan besar yang sedang dihadapi perekonomian domestik. Jika daya beli terus melemah, pemulihan ekonomi bisa berjalan lebih lambat dari yang diharapkan," pungkas Faisal. 

    Konsumsi Rumah Tangga Lesu

    Ramadan dan Idulfitri tahun 2025 disebut tak semarak menggerakkan perekonomian Tanah Air. Masalahnya, konsumsi rumah tangga masih lesu hingga pekan ketiga bulan Ramadan tahun ini. Ini terjadi lantaran pemerintah dinilai tak memahami akar masalah dari pelemahan daya beli di tengah masyarakat. 

    Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia mengungkap temuan bahwa pemerintah tak mampu memanfaatkan momentum bulan puasa dan lebaran untuk mengerek konsumsi rumah tangga. Hal ini disampaikan melalui risetnya, “CORE Insight: Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025”.

    “Data-data ekonomi yang biasanya mencerminkan tren konsumsi rumah tangga tidak menunjukkan ‘gairah’ konsumsi yang meyakinkan,” tulis riset CORE Indonesia yang diterbitkan Rabu, 26 Maret 2025.

    Alih-alih masyarakat ramai berbelanja untuk kebutuhan Ramadan dan Hari Raya, CORE Indonesia menangkap sinyal masyarakat mengerem rutinitas itu. Gejala ini sudah ada sejak awal tahun 2025, melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat deflasi. Pada Februari, deflasi secara bulanan (month on month/mom) berada pada angka 0,48 persen, sedangkan secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 0,09 persen. Dari awal tahun (year to date/ytd), deflasi nasional sebesar 1,24 persen. 

    Selain itu, Mandiri Spending Indeks pertama kali minus sepekan jelang Ramadan dengan angka sebesar 0,04 persen. Padahal, periode yang sama tahun 2023 dan 2024 masing-masing mencatatkan tumbuh sebesar 5,5 persen dan 4,2 persen. Ini mengindikasikan besaran belanja masyarakat yang terjadi periode Ramadan.

    “Janggalnya, deflasi pada Februari 2025 juga terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan andli sebesar 0,12 persen mom,” sambungnya. Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya, kelompok pengeluaran ini memberi andil inflasi sebesar 0,29 persen (mom) dan 0,13 persen pada Februari 2023.

    Data Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia (BI) diprediksi mendukung laporan BPS. Pasalnya, IPR Februari 2024 diperkirakan merosot 0,5 persen (yoy) yang dipengaruhi turunnya penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,7 persen. Data IPR bisa menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga karena mencerminkan tingkat penjualan eceran meskipun hanya di beberapa kota besar di Indonesia.

    Kelompok Rentan Miskin

    CORE Indonesia telah memetakan tiga faktor utama yang menjadi tantangan besar. Pertama, stagnasi mobilitas sosial. Mobilitas sosial yang stagnan menjadi indikasi bahwa kelas menengah Indonesia semakin rentan tergelincir ke bawah. 

    “Alih-alih menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat, banyak rumah tangga kelas menengah kini kembali masuk kategori calon kelas menengah, bahkan sebagian semakin dekat dengan kelompok rentan miskin,” ucap riset itu.

    Situasi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum cukup inklusif untuk memastikan keberlanjutan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Kondisi ini, dampaknya tidak hanya pada daya beli, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.

    Akibatnya, yang kedua, banyak tenaga kerja yang terpaksa beralih ke sektor dengan produktivitas dan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, menciptakan tekanan ekonomi yang lebih besar bagi rumah tangga.

    “Ketiga, tekanan terhadap upah riil di sektor-sektor strategis. Tekanan terhadap upah riil di sektor strategis seperti manufaktur dan perdagangan semakin mempersempit ruang konsumsi masyarakat,” jelas CORE Indonesia.

    Dalam risetnya tersebut, ditemukan bahwa strategi yang lebih menyeluruh, mencakup kebijakan industri yang lebih kuat, penciptaan lapangan kerja berkualitas, serta perlindungan upah dan kesejahteraan pekerja, menjadi langkah krusial yang harus dilakukan pemerintah. Tujuan utamanya, agar daya beli masyarakat dapat pulih secara berkelanjutan.

    “Kuncinya, reformasi struktural jangka menengah hingga panjang merupakan kunci utama keberlanjutan daya beli masyarakat, yang didukung oleh langkah-langkah stabilisasi jangka pendek,” tutup laporan itu. (*) 

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.