KABARBURSA.COM - Anggaran negara yang kerap defisit kini menimbulkan kekhawatiran baru. Ketika pemerintah terus berupaya menutupi celah tersebut, generasi muda menjadi pihak yang harus siap menanggung bebannya di masa depan. Tahun 2025, pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan mencapai 3 persen. Defisit anggaran APBN 2025 yang diprediksi mencapai Rp600 triliun atau hampir 2,8 persen dari PDB ini sangat mengkhawatirkan.
Peneliti yang juga founder Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (Puskaha) Yenti Nurhidayat, menyoroti defisit anggaran negara yang terus membengkak. Dia juga mengkritik pemerintah yang tak satu pandangan ihwal defisit ini.
Dalam rapat Komisi XI DPR RI pada Rabu, 5 Juni 2024, ada perdebatan antara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, terkait defisit fiskal 2025.
Suharso meminta defisit fiskal menjadi 1,5 sampai 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Sri Mulyani sebelumnya sudah menetapkan sebesar 2,24 hingga 2,28 persen. “Pemerintah seharusnya telah selesai membahas di tingkat internal dan satu suara ketika pembahasan dengan pihak eksternal,” kata Yenti kepada KabarBursa, Jumat, 21 Juni 2024.
Defisit fiskal terjadi saat pengeluaran negara lebih besar daripada pemasukan. Biasanya, pemerintah menambah utang untuk menutup defisit ini. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, batas maksimal defisit anggaran adalah 3 persen dari PDB dan rasio utang maksimal 60 persen dari PDB. Batasan ini dibuat agar keuangan negara tetap aman dan terkendali.
Tren Defisit Anggaran
Melihat kondisi lima tahun terakhir, defisit anggaran sempat mencapai 4,57 persen terhadap PDB pada 2021 karena pandemi. Namun, defisit ini berhasil ditekan jadi 1,62 persen pada 2023. Sayangnya, pada 2024 defisit kembali naik menjadi 2,29 persen dari PDB.
Salah satu penyebabnya adalah proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN), Proyek Strategis Nasional (PSN), dan Pemilu. Pada 2025, defisit diperkirakan tetap tinggi karena janji-janji politik presiden terpilih.
“Yang juga mempengaruhi defisit anggaran ini adalah akomodasi terhadap janji-janji politik presiden terpilih yang di antaranya adalah program makan siang dan susu gratis,” kata Yenti.
Menurut Yenti, pemerintah punya beberapa pilihan untuk mengatasi defisit anggaran negara, antara lain meningkatkan pendapatan, melakukan efisiensi, menjual aset, atau menambah utang. Namun, Yenti mengatakan cara terbaik mengatasinya adalah memperkecil defisit lewat peningkatan efektivitas dan efisiensi anggaran, terutama untuk kementerian dan lembaga yang tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik.
Upaya Mengurangi Defisit
Peningkatan pendapatan pajak jadi salah satu strategi pemerintah. Tapi, Yenti mencatat kebijakan perpajakan ini lebih menyasar individu daripada sektor swasta dan orang kaya yang mendapatkan banyak fasilitas dan kemudahan seperti tax holiday dan tax allowance.
"Kebijakan pajak ini dirasakan tidak adil oleh sebagian besar masyarakat, terutama kelas menengah," jelas Yenti.
Efisiensi anggaran juga jadi fokus, meski lebih banyak menyasar anggaran untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Dari data 10 kementerian dan lembaga dengan alokasi anggaran tertinggi, hanya Kementerian Pendidikan dan Kesehatan yang masuk daftar, berkat adanya mandatory spending dalam konstitusi.
Selain itu, optimalisasi pemanfaatan aset dan sumber daya alam juga dilakukan untuk meningkatkan PNBP. Namun, langkah ini berdampak besar pada kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan.
“Pemerintah telah mengeluarkan izin sumber daya alam baik untuk perkebunan dan tambang secara ‘gila-gilaan’, di mana hal ini tidak hanya berdampak terhadap kerusakan lingkungan, akan tetapi juga telah memicu konflik sosial di daerah-daerah yang mengalami eksplotasi secara besar-besaran,” jelas Yenti.
Risiko Utang
Berdasarkan data perkembangan outstanding utang pemerintah Indonesia, utang dalam negeri dan lewat Surat Utang Negara (SUN) cenderung meningkat meski utang luar negeri menurun. Pada 2023, utang dalam negeri tercatat mencapai Rp24,5 triliun, sementara SUN mencapai Rp6.950,1 triliun.
Dengan utang yang terus meningkat, Yenti khawatir generasi mendatang akan menanggung beban berat. Tidak hanya karena pembayaran utang dan bunganya yang besar, tetapi juga karena dampak kebijakan pemerintah yang kurang optimal. Pilihan kebijakan optimalisasi pajak dan sumber daya alam berdampak besar pada kelangsungan hidup masyarakat.
“Defisit anggaran yang lebar ini dikhawatirkan akan menjadi beban yang sangat berat bagi generasi mendatang,” kata Yenti.
Yenti merekomendasikan agar pemerintah memperkecil defisit anggaran melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi anggaran, terutama untuk kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Langkah ini dinilai paling rasional untuk menghindari beban berat bagi generasi mendatang.
Defisit Tertinggi
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, mengatakan defisit fiskal yang tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) APBN 2025 tersebut adalah angka tertinggi dibandingkan dengan transisi kepemimpinan sebelumnya.
“Karena ada preseden dari Presiden Ibu Mega ke SBY 0,8 (persen) dari SBY ke Jokowi 2,2 (persen) ini kok dari Jokowi ke Prabowo 2,4 (persen) bahkan 2,8 (persen). Desainnya itu kan tinggi sekali,” kata Dolfie di Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 10 Juni 2024 lalu.
Anggota Badan Anggaran DPR RI ini mengingatkan, menjaga defisit anggaran seminimal mungkin akan memberi keleluasaan bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam menjalankan visi dan misinya. Dia juga menyoroti perkiraan defisit APBN 2025 yang hampir menyentuh batas 3 persen. Ini merupakan batas terakhir defisit APBN sesuai UU Keuangan Negara.
Meskipun ada peluang untuk melakukan perubahan APBN, Dolfie mengimbuhkan, kementerian/lembaga harus tetap tunduk pada mekanisme tertentu. Ini berbeda jika pemerintahan baru memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri anggaran yang diperlukan.
"Bagaimana kalau itu di program kementerian/lembaga? Itu ada peraturannya, perubahannya harus mengikuti mekanisme yang ada. Tidak sefleksibel jika pemerintahan sejak awal mendesain anggarannya sendiri," kata dia.(pin/*)