KABARBURSA.COM - Saatnya tiba bagi Presiden Donald Trump mengeluarkan jurus tarifnya. Kali ini, ia mengenakan pajak impor 25 persen untuk barang-barang dari Kanada dan Meksiko mulai Sabtu hari ini. Dampaknya tentu akan seperti efek domino, mulai dari kebutuhan dapur seperti minyak goreng hingga mobil berpotensi ikut naik.
Selain membuat harga kebutuhan rumah tangga makin mahal, kebijakan ini juga bisa memicu aksi balasan. Perdana Menteri Ontario, Doug Ford, sudah mengancam akan melawan dengan melarang peredaran minuman keras asal Amerika di wilayahnya. Ancaman ini bukan main-main—Kanada adalah pasar terbesar kedua untuk industri minuman keras AS setelah Uni Eropa.
Ironisnya, kebijakan tarif ini justru berpotensi menghancurkan perjanjian dagang yang Trump sendiri teken di periode pertamanya, yakni USMCA atau United States-Mexico-Canada Agreement. Kesepakatan yang dulu ia banggakan sebagai “perjanjian perdagangan paling adil, seimbang, dan menguntungkan” seharusnya memberikan kepastian bagi pelaku usaha.
Tapi begitulah Tariff Man—begitu Trump menyebut dirinya sendiri. Dalam urusan tarif dan pajak impor, tidak ada yang benar-benar bisa diprediksi.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, 1 Februari 2025, Trump beralasan tarif ini bertujuan menekan Kanada dan Meksiko agar lebih keras dalam menghentikan arus imigran gelap dan fentanyl ke AS. Gedung Putih memastikan l pajak impor 25 persen untuk Kanada dan Meksiko serta 10 persen untuk produk asal China akan segera berlaku, tanpa ada kepastian soal pengecualian.
Tapi analis punya teori lain. Michael Robinet dari S&P Global Mobility menduga ancaman tarif ini hanyalah strategi negosiasi agar Kanada dan Meksiko tunduk pada keinginan AS dalam pembaruan USMCA tahun depan.
Robinet sendiri skeptis Trump akan langsung menerapkan tarif 25 persen secara menyeluruh untuk produk Kanada dan Meksiko. Menurutnya, kebijakan semacam itu justru membekukan ekonomi Amerika Utara dalam “musim dingin tarif” yang berisiko tinggi. Ia memperkirakan Trump mungkin menunda, menerapkan tarif bertahap, atau mengecualikan beberapa industri lebih dulu—sekadar memberi sinyal kepada Kanada dan Meksiko betapa buruknya situasi jika mereka tidak menuruti permintaan Washington.
Lima tahun lalu, Trump memang sukses menekan Kanada dan Meksiko untuk menandatangani USMCA, dengan dalih mengurangi defisit perdagangan AS—selisih antara nilai ekspor dan impornya. Tapi nyatanya defisit masih ada dan kini tarif justru mengancam harga kebutuhan rumah tangga.
Defisit Dagang Membengkak
Defisit dagang Amerika Serikat dengan Meksiko semakin melebar dari USD106 miliar pada 2019 menjadi USD161 miliar pada 2023—tahun terakhir dengan data lengkap. Salah satu penyebabnya adalah pergeseran sumber impor AS dari China ke Meksiko, seiring dengan perang dagang yang masih berlangsung antara Washington dan Beijing. Kini, banyak barang seperti furnitur, tekstil, sepatu, laptop, hingga server komputer lebih banyak didatangkan dari Meksiko ketimbang China.
Sementara itu, defisit perdagangan AS dengan Kanada juga ikut melonjak, dari USD31 miliar pada 2019 menjadi USD72 miliar pada 2023. Sebagian besar angka ini berasal dari impor energi Kanada yang terus meningkat.
“USMCA tidak mencapai target yang ditetapkan Trump. Defisit perdagangan kita dengan Kanada dan Meksiko malah makin membesar,” ujar Direktur Program Rethink Trade di American Economic Liberties Project, Lori Wallach, yang sudah lama mengkritik kebijakan perdagangan bebas AS. Ia menambahkan, sejak USMCA berlaku, banyak lapangan pekerjaan di AS justru pindah ke Meksiko.
Saat USMCA (pengganti NAFTA) masuk masa perpanjangan tahun depan, AS diperkirakan bakal menekan aturan yang lebih ketat agar lebih banyak produksi manufaktur dilakukan di dalam negeri. Selain itu, Washington juga kemungkinan akan meminta aturan pencegahan produk asal China masuk ke AS melalui Meksiko—praktik yang digunakan untuk menghindari tarif tinggi yang diberlakukan Trump dan Biden terhadap barang-barang dari Beijing.
Saat ini, hubungan dagang AS dengan Kanada dan Meksiko jauh lebih besar dibandingkan dengan China. Pada 2023, total perdagangan AS (barang dan jasa) dengan Kanada dan Meksiko mencapai lebih dari USD1,8 triliun, sementara dengan China hanya USD 643 miliar. Berkat USMCA dan perjanjian dagang regional yang menggantikannya pada 2020, sebagian besar produk bisa melintasi perbatasan tanpa dikenai tarif.
Mimpi Buruk Korporasi
Ancaman tarif 25 persen ini mulai membuat perusahaan-perusahaan besar ketar-ketir. Jika Trump benar-benar mengeksekusi kebijakan ini, maka beban tarif tahunan untuk impor dari Meksiko ke AS akan melonjak dari USD1,3 miliar menjadi USD132 miliar. Sementara itu, beban tarif untuk impor dari Kanada bakal naik dari USD440 juta menjadi USD107 miliar, menurut laporan firma pajak dan konsultasi PwC.
Yang jadi masalah, tidak ada yang tahu pasti apakah Trump benar-benar akan menarik pelatuknya atau seberapa lama tarif ini akan bertahan. Pengacara perdagangan senior di Baker & McKenzie, Chandri Navarro, mengatakan ketidakpastian ini membuat industri berada dalam kondisi penuh kecemasan.
“Industri itu butuh kepastian. Mereka membuat keputusan produksi, rantai pasok, dan pembelian untuk lima tahun ke depan,” ujarnya.
Bagi Trump, tarif adalah solusi instan untuk hampir semua masalah ekonomi. Ia meyakini tarif bisa meningkatkan pemasukan negara, membantu pemotongan pajak penghasilan dan pajak korporasi, memicu perusahaan untuk kembali memproduksi di AS, serta menjadi alat tawar dalam negosiasi perdagangan dan kebijakan global.(*)