KABARBURSA.COM - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) mencatat bahwa pangsa manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengalami penurunan signifikan. Data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan nilai tambah manufaktur sebagai bagian dari produksi juga menurun dalam dua dekade terakhir.
Sejak Jokowi menjabat pada tahun 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur berada di sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan masa pemerintahan Presiden Megawati (43,94 persen) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (41,64 persen). "Sepanjang era Presiden Megawati hingga Presiden Jokowi, sektor manufaktur di Indonesia secara konsisten menyusut dan tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDB nasional," ungkap LPEM.
Laporan Proyeksi Kuartal I-2024 dari LPEM menyatakan bahwa kondisi ini menandai deindustrialisasi dini, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di sekitar 5 persen. Deindustrialisasi terjadi ketika industri tidak lagi berperan sebagai pendorong utama perekonomian suatu negara, dan kontribusinya terhadap PDB mengalami penurunan. "Kita terlena dengan biasa yang disebut dutch disease, sehingga kemudian terjadilah deindustrialisasi dini," kata Amalia dalam acara Peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2023 yang digelar Bank Indonesia di Jakarta, Rabu, 31 Januari 2024.
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, Indonesia terkena dampak dari "dutch disease" atau penyakit Belanda. Dia menjelaskan bahwa fenomena ini dimulai setelah tahun 2002, ketika Indonesia mengalami kenaikan harga komoditas. Sebagai akibatnya, sektor manufaktur tidak berkembang, dan kontribusinya terhadap PDB turun secara konsisten dari 32 persen pada 2002 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022.
Amalia menyatakan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia akan semakin sulit keluar dari "middle-income trap." Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai bahwa Jokowi telah gagal mendorong industrialisasi dengan terlalu fokus pada pembangunan fisik dan minimnya dukungan untuk mengalirkan dana perbankan ke sektor industri. "Penggunaan investasi di Indonesia itu sudah boros, nggak bermutu," jelasnya sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, Senin, 5 Februari 2024.
Faisal mengkritik bahwa nilai investasi di Indonesia tinggi, tetapi tidak dikelola dengan baik, terutama karena mayoritas dialokasikan untuk sektor konstruksi yang tidak berdampak pada sisi produksi. Investasi dalam mesin dan peralatan hanya mencapai 10-11 persen dari total investasi, menunjukkan bahwa investasi di Indonesia tidak berkualitas dan tidak memberikan dampak masif terhadap PDB. Faisal juga menilai bahwa pemerintahan Jokowi lebih fokus pada penyelesaian proyek infrastruktur daripada percepatan industrialisasi.