KABARBURSA.COM – Hilirisasi nikel yang diklaim pemerintah sebagai upaya transformasi dan akselerasi perekonomian Indonesia ternyata menyisakan masalah lingkungan berkepanjangan. Tak sampai di situ, pertambangan nikel juga menghilangkan mata pencarian warga di sekitar tambang karena limbah nikel (slag).
Divisi Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Imam Sofwan mengungkapkan, pihak pemerintah dan perusahaan yang mengeruk nikel tidak bertanggung jawab kepada masyarakat di sekitar pertambangan yang menerima dampak langsung dari tambang.
Timbunan limbah nikel dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kata Imam, tidak hanya mengakibatkan masalah lingkungan tapi juga menimbulkan korban jiwa.
“Kami menyebutnya slag nikel. Itu ditumpuk menggunung dekat smelter. Waktu hujan deras, itu (limbah slag) menimpa dua pekerja sampai meninggal,” kata Imam kepada Kabar Bursa, Minggu, 16 Juni 2024.
Hingga kini slag nikel yang terlalu menggunung dan memakan tempat belum terkelola dengan baik. Agar masalah limbah cepat selesai, perusahaan menggunakannya untuk reklamasi pesisir di Morowali, tepatnya di sekitar PT IMIP. Selain untuk reklamasi, material slag juga disulap menjadi jalan hauling di sekitar pertambangan.
Menurut Imam, reklamasi dan jalan hauling inilah yang kemudian membunuh mata pencarian masyarakat sekitar tambang nikel. Ia bercerita, jala dan pancing yang sebelumnya mampu menafkahi keluarga kini tidak lagi berguna karena kerusakan dan pencemaran di laut. Nelayan yang dulu bisa menjala dan mencari ikan harus mencari pekerjaan lain akibat pencemaran.
“Masyarakat yang dulu bisa mancing cari ikan dekat rumah, sekarang tidak bisa sama sekali karena itu ditimbun dengan limbah nikel dan itu juga merusak habitat laut. Karang-karang juga ikut rusak karena ditimbun pake slag nikel,” ungkapnya.
Pencemaran laut tak berhenti di situ, Jatam menemukan fakta bahwa limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mendukung operasional pertambangan nikel juga berperan dalam mencemari laut.
Imam mengungkapkan kampung yang terkena dampak pembuangan limbah cair PLTU pendukung operasional pertambangan nikel bernama Kampung Kurisa, Desa Fatufia.
“Selama 24 jam dalam tujuh hari seminggu dibuangi limbah PLTU dan itu limbah panas. Itu air panas yang digunakan PLTU dibuang ke laut sehingga membuat air laut di Kurisa terasa panas. Kalau pagi hari kita lihat di Kurisa, (air laut) sampai menguap dan keluar asap,” jelasnya.
Di sisi lain, warga Kurisa yang sebagian besar adalah nelayan Bajo yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan. Pencemaran ini membuat masyarakat kehilangan mata pencarian.
Tak puas hanya mencemari laut, kampung-kampung warga di sekitar PT IMIP tak luput jadi sasaran. Jatam menemukan tumpukan slag di Kampung Kurisa.
Dalih di Balik Pertambangan Nikel
Pentingnya eksplorasi nikel besar-besaran juga disampaikan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Di dalam Grand Strategy Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyebut industri penambangan bijih nikel dan produk olahannya memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara.
Manfaat ekonomi itu diterima negara dalam bentuk pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Besaran keuntungan dari pajak mencapai Rp2,97 triliun pada tahun 2020. Sementara dari PNBP dalam bentuk royalti, negara menerima Rp2,92 triliun pada tahun 2020.
Senada dengan Kementerian ESDM, pihak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi juga menyebut pentingnya hilirisasi nikel di Indonesia Timur sebagai upaya meratakan investasi.
“Sebelumnya investasi juga belum merata, sebagian besar penanaman modal asing (PMA) masih terkonsentasi di Pulau Jawa. Saat ini, sektor hilirisasi menjadi kontributor utama dalam peningkatan investasi asing,” kata Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Muhammad Firman Hidayat saat menjadi pembicara kunci National Perspective Indonesia Economic Outlook 2024 Forum di Jakarta, Senin, 2 Oktober 2023.
Menurutnya, hilirisasi mendorong investasi lebih berkualitas dan industrialisasi di Indonesia Timur. Menurutnya, ekonomi daerah mampu tumbuh lebih tinggi pasca penerapan kebijakan hilirisasi.
Masyarakat Kehilangan Mata Pencarian
Alih-alih mendongkrak industrialisasi di Indonesia Timur dan meningkatkan perekonomian daerah, pertambangan nikel justru menghilangkan mata pencarian masyarakat di sekitar tambang.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, presentase kemiskinan di wilayah penghasil nikel periode September 2022 hingga Maret 2023 menunjukkan fakta yang sebaliknya. Angka kemiskinan di wilayah sekitar tambang berbanding lurus dengan pertumbuhan tambang nikel.
Angka kemiskinan di Maluku Utara naik 0,09 persen, sementara pertumbuhan sektor pertambangan mencapai 46,27 persen. Kemiskinan di Sulawesi Tengah naik 0,11 persen sementara pertumbuhan sektor tambang nikel mencapai 17,35 persen. Kemiskinan di Sulawesi Selatan tumbuh 0,04 persen sementara pertumbuhan tambang nikel mencapai 15,06 persen.
Kemiskinan di wilayah Sulawesi Tenggara kemiskinan meningkat 0,16 persen ketika pertambangan nikel tumbuh 9,91 persen. Selain itu, kemiskinan di Maluku juga meningkat 0,19 persen ketika tambang nikel meningkat 1,13 persen.
Terkait dengan kontribusi perusahaan tambang untuk masyarakat, Kementerian ESDM melalui Grand Strategy Mineral dan Batubara. Laporan itu menyebut perusahaan pemegang izin tambang berkontribusi dalam bentuk program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) di area sekitar pertambangan. Ditjen Minerba melaporkan jumlah dana yang keluar di 6 provinsi penghasil nikel sebesar Rp55-100 miliar setiap tahun selama periode 2015-2020.
Artinya, angka Rp55-100 miliar tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan Izin Usaha Penambangan/Kontrak Karya Eksplorasi (IUP/KK Eksplorasi) yang dikeluarkan pemerintah di lahan seluas 836 ribu hektare. Hingga 2021, pemerintah mengeluarkan 4 IUP/KK Eksplorasi dan 329 IUP/KK Operasi Produksi (IUP/KK OP).
Imam mengakui ada tanggung jawab yang dikeluarkan perusahaan dalam bentuk CSR. Tapi, menurutnya, hal itu tidak sebanding dengan kehilangan materi dan moril masyarakat. Ia menyebut di satu wilayah pertambangan sudah banyak mata pencarian masyarakat hilang. Jika harus dihitung, itu tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang diderita masyarakat.
“Di satu Pulau Wawonii, kerugian dari petani Jambu Mete saja bisa miliaran rupiah, tapi kalau kita hitung semua dari kerugian pertanian, laut, tempat mata pencarian nelayan itu lebih besar lagi,” kata Imam. (cit/*)