Logo
>

Dolar AS Melemah, Rupiah Fluktuatif: Pasar Tunggu Kejelasan The Fed

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Dolar AS Melemah, Rupiah Fluktuatif: Pasar Tunggu Kejelasan The Fed

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Indeks dolar AS melemah pada perdagangan Senin 6 Januari 2024. Hal ini dipicu kekhawatiran pasar bahwa suku bunga AS akan turun lebih lambat dari perkiraan.

    Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), memperingatkan bahwa inflasi yang belum sepenuhnya terkendali dan pasar tenaga kerja yang tetap kuat akan membuat suku bunga bertahan tinggi lebih lama.

    Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menjelaskan bahwa dolar AS tertekan setelah dua pejabat The Fed memberikan sinyal bahwa bank sentral masih belum merasa 'menang' dalam mengendalikan inflasi.

    “Gubernur Adriana Kugler dan Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menegaskan bahwa inflasi yang lambat dan pasar tenaga kerja yang solid membuat The Fed enggan buru-buru memangkas suku bunga,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Januari 2025.

    Menurut Ibrahim, fokus utama pasar saat ini tertuju pada rilis data penggajian non-pertanian (NFP) dan inflasi Desember yang bisa menjadi petunjuk arah kebijakan moneter AS ke depan.

    “Jika data menunjukkan inflasi yang bertahan atau bahkan meningkat, maka peluang penurunan suku bunga bisa semakin kecil,” tambahnya.

    Rupiah Masih Fluktuatif

    Adapun pada perdagangan Senin, rupiah ditutup melemah tipis 1 poin di level Rp16.198, setelah sempat menguat 20 poin ke level Rp16.196. Ibrahim memperkirakan, perdagangan besok akan lebih fluktuatif, namun rupiah diprediksi bergerak di rentang Rp16.150 – Rp16.210.

    “Pasar masih menanti kejelasan kebijakan suku bunga The Fed. Jika The Fed mengindikasikan suku bunga bertahan lebih lama, maka tekanan terhadap rupiah akan berlanjut,” tutup Ibrahim.

    Defisit APBN Pengaruhi Rupiah

    Selain faktor eksternal, Ibrahim menyoroti kondisi dalam negeri yang juga memengaruhi pergerakan rupiah. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 tercatat mencapai Rp507,8 triliun, atau setara 2,29 persen terdapat produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih besar dibandingkan defisit tahun 2023 yang sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65 persen dari PDB.

    “Pemerintah sudah memproyeksikan defisit akan melebar tahun ini karena tekanan ekonomi global dan domestik,” jelas Ibrahim.

    Sementara itu, pendapatan negara pada 2024 diproyeksikan mencapai Rp2.842,5 triliun, meningkat 2,1 persen dibanding tahun sebelumnya.

    Sumber pendapatan tersebut berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp1.932,4 triliun, kepabeanan dan cukai Rp300,2 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp579,5 triliun, dan hibah Rp30,3 triliun.

    Ibrahim mengaku optimistis defisit APBN bisa kembali terjaga jika harga komoditas seperti batu bara dan CPO terus naik, didukung stimulus fiskal dan moneter dari China.

    “Ada harapan bahwa tekanan harga minyak akibat El Niño mulai mereda, dan ini bisa memberikan ruang gerak bagi ekonomi Indonesia,” tambahnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 tercatat mencapai Rp507,8 triliun, atau setara 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dibanding defisit pada 2023 yang hanya sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB.

    “Betapa kita melihat tadi, 2,29 persen desain awal, memburuk ke 2,7 persen, dan kita mengembalikan lagi pada kondisi yang baik, yaitu APBN 2024 dijaga defisitnya di 2,29 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Senin 6 Januari 2025.

    Menurutnya, defisit APBN 2024 memang dirancang berada di level 2,29 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan pemerintah telah memperkirakan defisit akan lebih besar dibanding tahun sebelumnya.

    Sempat ada kekhawatiran defisit akan melebar hingga 2,7 persen karena tekanan makro ekonomi sepanjang semester I 2024 cukup berat.

    Sejumlah faktor eksternal disebut-sebut menjadi pemicu, mulai dari kenaikan harga pangan akibat El Niño, lonjakan harga minyak, hingga perlambatan ekonomi China yang berdampak langsung pada prospek ekonomi Indonesia dan APBN.

    Sri Mulyani juga menyoroti fluktuasi harga komoditas yang memengaruhi pendapatan negara. “Harga minyak sempat melonjak karena krisis di Timur Tengah, sementara harga batu bara yang biasanya menyumbang penerimaan signifikan bagi APBN masih rendah dan belum menunjukkan kenaikan,” tambahnya.

    Kendati demikian, Sri Mulyani optimistis dengan kondisi saat ini mengingat harga komoditas seperti batu bara dan CPO, serta adanya stimulus fiskal dan moneter dari China. Hal ini mendorong perbaikan ekonomi sehingga defisit APBN bisa kembali sesuai target awal.

    “Stimulus dari perekonomian di Tiongkok juga diumumkan yang menimbulkan harapan ekonomi Tiongkok akan mengalami paling tidak pemulihan atau peredaan terhadap kondisi yang terus menurun,” ungkap dia.

    Hal itu bisa dilihat dari asumsi makro menunjukkan inflasi 2024 berada di level 1,57 persen (year on year/yoy), jauh lebih rendah dari asumsi awal. Sementara nilai tukar rupiah rata-rata tercatat di Rp15.847 per dolar AS.

    Sementara itu, yield Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 7 persen per Desember 2024 mengalami penurunan dari level tertinggi 7,2 persen pada April dan Juni. Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan akhir 2023 yang tercatat di 6,4 persen.

    “Yield kita yang sempat mengalami kenaikan yang sangat besar juga mulai mereda meskipun posisi di desember 2024 di 7,0 persen relatif lebih rendah dibanding posisi april atau juni yang waktu itu tekanannya sungguh luar biasa,” terangnya. (*)c

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.