Logo
>

Donald Trump Resmi Pimpin AS, AADI Pede Tetap Moncer

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Donald Trump Resmi Pimpin AS, AADI Pede Tetap Moncer

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) menunjukkan kinerja impresif setelah Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS).

    AADI merupakan emiten yang berfokus di industri batu bara. Direktur Utama AADI, Julius Aslan selepas acara Initial Public Offering (IPO) beberapa waktu lalu pernah mengatakan jika harga batu bara global bisa dipengaruhi oleh hubungan antara Amerika Serikat dan China.

    Dengan  kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat, Julius pun berharap hubungan kedua negara tersebut tetap harmonis.

    “Tentunya, kami berharap hubungan AS-China tetap terjaga dengan baik. Namun, jika kondisi geopolitiknya memburuk, dampaknya akan terasa di pasar China yang penting bagi kami,” ujarnya dalam kesempatan doorstop di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis 5 Desember 2024.

    Adapun setelah Donald Trump resmi dilantik sebagai Presiden AS, AADI tetap menunjukkan kinerja positif. Merujuk data Stockbit, Kamis, 23 Januari 2025, saham AADI terpantau menguat 400 poin atau naik 4,48 persen ke level 9,325 pada penutupan perdagangan sesi satu l.

    Tak hanya itu, Dalam satu pekan terakhir misalnya, saham AADI juga menunjukkan performa positif dengan raihan 5,97 persen.

    Di sisi lain, AADI menunjukkan performa keuangan yang mencerminkan stabilitas dalam solvabilitas, tetapi tantangan pada profitabilitas berdasarkan data terbaru kuartalan.

    Pada aspek solvabilitas, AADI mencatat current ratio sebesar 1,23, mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aset lancar.

    Quick ratio AADI yakni 1,18, yang menunjukkan posisi likuiditas yang relatif sehat tanpa memperhitungkan persediaan. Sementara itu debt to equity ratio sebesar 0,37, mencerminkan penggunaan utang yang relatif rendah dibandingkan dengan ekuitas perusahaan.

    Dari sisi profitabilitas, gross profit margin AADI 29,26 persen, menunjukkan efisiensi biaya produksi dibandingkan dengan penjualan.

    Operating profit margin yakni 35,55 persen, mengindikasikan keberhasilan operasional perusahaan. Sedangkan net profit margin 32,33 persen, menegaskan margin bersih dari pendapatan perusahaan setelah semua pengeluaran.

    Prospek Batu Bara Usai Trump Pimpin AS

    Pasar batu bara global dinilai akan terpengaruh setelah Donald Trump resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya.

    Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Arinda Izzaty, mengatakan ekonomi global dan permintaan batu bara bisa terdampak pasca Trump berkuasa di Negeri Paman Sam.

    Hal ini tidak lepas dari kekhawatiran konflik perdagangan yang meningkat antara AS dengan Tiongkok, seperti yang terjadi di era Trump sebelumnya.

    “Mengingat Tiongkok adalah konsumen utama batu bara global, ketegangan ini bisa berdampak pada pergerakan harga batu bara internasional,” ujar Arinda kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.

    Faktor lainnya yang membuat pasar batu bara global tersulut ialah dukungan Trump terhadap bahan bakar fosil. Namun perlu diingat, kata Arinda, bahwa konsumsi batu bara domestik AS tidak banyak mempengaruhi ekspor Indonesia.

    “China juga sedang meningkatkan produksi batu bara, akan tetapi batu baranya dijual dengan harga diskon di tengah akan dimulainya perang dagang dengan AS,” jelasnya.

    Lebih lanjut Arinda menuturkan, kemenangan Trump bisa menjadi katalis positif asalkan produsen batu bara dapat meningkatkan ekspornya ke Negara Paman Sam.

    “Akan tetapi, terdapat beberapa risiko seperti kenaikan tarif impor yang akan diberikan oleh Donald Trump,” pungkasnya.

    Terpisah, VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi, menjelaskan saat ini harga batu bara sedang mengalami tren penurunan paska fokus pada net-zero emissions.

    “Sehingga, jika Trump menghidupkan kembali batu bara dengan mencabut kebijakan Clean Power Plan (CPP) seperti periode sebelumnya, akan berdampak pada demand batu bara kembali,” jelas Oktavianus kepada Kabarbursa.com, Selasa, 21 Januari 2025.

    Menurut dia, Kiwoom masih berpandangan neutral untuk sektor energi, khususnya batu bara. Hal ini seiring dengan transisi menuju energi bersih dan terbarukan.

    “Meski demikian, sentimen positif juga datang dari China yang mengumumkan kenaikan konsumsi sebesar 1,5 persen menjadi 4,82 miliar ton di tahun 2025,” pungkasnya.

    Terhimpit China dan Transisi Energi

    Sebelumnya diceritakan, permintaan batu bara dari China diprediksi akan melandai pada 2025 seiring evaluasi negara tersebut terhadap kelebihan pasokan batu bara. China, sebagai pelanggan utama batu bara Indonesia, tengah bergulat dengan stok yang berlimpah di tengah pemulihan ekonomi yang masih lemah.

    Ekspor batu bara Indonesia ke China menunjukkan tren peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir, baik dari segi volume maupun nilai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengiriman batu bara Indonesia ke China naik dari 62,49 juta ton pada 2020 menjadi 81,68 juta ton pada 2023.

    Analis Pasar Modal dari Mikirduit.com, Surya Rianto, menilai potensi turunnya serapan batu bara Indonesia oleh China dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, mulai dari kelebihan stok batu bara domestik hingga pemulihan ekonomi China yang belum sepenuhnya stabil. Produksi batu bara dalam negeri yang terus mencetak rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir membuat China lebih selektif dalam mengatur impor, terutama di tengah tekanan ekonomi domestik dan upaya menyeimbangkan permintaan energi dengan kapasitas produksi yang ada.

    Ia juga menyoroti lonjakan impor China belakangan ini lebih bersifat temporer, sebagai langkah untuk mengamankan pasokan jangka pendek di tengah ketidakpastian global.

    “Bukan dikurangi. Karena China ini supply batu baranya lebih sedangkan ekonomi dia (China) belum terlalu pulih untuk menyerap batu bara yang sudah ada sekarang,” kata Surya Rianto, kepada KabarBursa.com, Senin, 16 Desember 2024.

    Dengan melandainya permintaan, Indonesia sebagai salah satu pemasok utama batu bara global, harus bersiap menghadapi dampak penurunan ini pada pendapatan ekspor. Surya menjelaskan, pengurangan ekspor batu bara bukan hanya masalah bagi Indonesia, melainkan tantangan global. Ia menyebut ekspektasi harga batu bara saat ini masih belum membaik dan berkisar di level USD120-130 per ton.

    “Sebenarnya itu jadi tekanan tersendiri untuk industri batu bara di seluruh dunia, bukan Indonesia saja,” kata Surya.

    Sebagai salah satu pemasok batu bara terbesar dunia, Indonesia sangat bergantung pada pemulihan ekonomi China yang kini sedang tiarap. Menurut Surya, jika China melakukan devaluasi yuan, hal ini akan menambah tekanan terhadap perekonomian global.

    Namun, ketika industri China pulih, permintaan batu bara dari Indonesia akan kembali meningkat. Sebab, pada dasarnya, China tidak akan berhenti meminta batu bara dari Indonesia untuk menjalankan industri baja.

    Surya memprediksi sektor batu bara masih akan stabil dalam lima tahun ke depan dengan permintaan yang cenderung tetap. Namun, ia mengingatkan stabilitas ini bukan tanpa ancaman. Menurutnya, permintaan ekspor batu bara mulai melandai akibat perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh perang serta tingginya suku bunga.

    “Gara-gara suku bunga tinggi, ekonomi global cenderung melemah. Harapannya, ketika suku bunga mulai turun pada 2025 dan berlanjut lebih signifikan di 2026, permintaan batu bara bisa meningkat, dengan asumsi ekonomi China mulai pulih,” kata Surya.

    Membaiknya perekonomian global akan mendorong peningkatan kebutuhan industri, termasuk batu bara. Meski begitu, Surya menilai harga batu bara tidak akan kembali ke level tertinggi USD400 seperti pada 2022. Harga batu bara kemungkinan akan berada di kisaran USD150-170 per ton.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.