KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mulyanto, minta Jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus PT. Timah Tbk yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.
Hal itu dia ungkap menyusul keterangan saksi untuk terdakwa mantan Direktur Utama PT. Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, di mana dalam kesaksian menyebut Jokowi memerintahkan pimpinan PT. Timah untuk menerima timah penambang ilegal sebagai upaya meningkatkan produksi.
Nahasnya, kata Mulyanto, timah dari penambangan ilegal berada dalam kawasan milik PT. Timah sendiri. Dia menegaskan, Jaksa harus berani mendalami fakta pengadilan untuk meminta keterangan kasus korupsi PT. Timah kepada Jokowi.
"Klarifikasi ini penting agar fakta persidangan menjadi terang-benderang. Karena dalam persidangan tersebut secara tegas dinyatakan oleh saksi yang mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk Wilayah Bangka Belitung, bahwa Presiden Jokowi minta tolong bagaimana caranya agar tambang timah yang ilegal ini diubah menjadi legal," kata Mulyanto dalam keterangannya kepada Kabar Bursa, Kamis, 12 September 2024.
"Akibatnya, dalam prakteknya, PT Timah memberi kesempatan pada mitra pemilik Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) membeli bijih timah dari penambang ilegal. Padahal, bijih timah tersebut diambil dari wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah," tambahnya.
Mulyanto menegaskan, keterangan tersebut merupakan titik krusial dari kasus korupsi timah sebesar Rp 300 triliun yang sudah menjadikan tersangka sebanyak 22 orang. Karena itu, Pengadilan harus memanggil Jokowi untuk mengungkap fakta yang sebenarnya.
Untuk diketahui dalam persidangan kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk sebesar Rp 300 triliun, Saksi menyinggung arahan Presiden Joko Widodo yang memerintahkan agar para penambang ilegal di Bangka Belitung diakomodir agar tidak diburu aparat.
Informasi tersebut disampaikan mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk Wilayah Bangka Belitung, Ali Samsuri, sebagai saksi untuk terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.
Sementara IUJP sendiri, merupakan salah satu program untuk meningkatkan produksi PT Timah dengan menggandeng pihak swasta sebagai mitra. Namun, dalam prakteknya, PT Timah Tbk memberi kesempatan pada mitra pemilik IUJP membeli bijih timah dari penambang ilegal.
Padahal, bijih timah itu diambil dari wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Sejauh ini, terdapat 22 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Harvey Moeis Dan Helena Lim
Dalam persidangan kasus korupsi yang melibatkan tata niaga izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari tindakan melawan hukum ini.
Pasangan suami istri, Harvey Moeis, yang dikenal sebagai suami aktris Sandra Dewi, serta Helena Lim, sosok yang dikenal dalam kalangan sosialita, diduga mengantongi keuntungan hingga Rp420 miliar.
Jaksa Ardito Muwardi, dalam sidang yang digelar pada Rabu 31 Juli 2024, membeberkan fakta bahwa Harvey Moeis dan Helena Lim memperoleh keuntungan fantastis dari kasus korupsi yang mencoreng nama baik industri pertambangan.
Harvey Moeis terlibat melalui PT Refined Bangka Tin, di mana aktivitasnya tidak hanya menambah pundi-pundi kekayaan pribadi, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan di kawasan hutan sekitar wilayah IUP PT Timah. “Keuntungan yang diperoleh Harvey Moeis dan Helena Lim setidaknya mencapai Rp420 miliar,” tegas Jaksa Muwardi di hadapan persidangan, Rabu 31 Juli 2024.
Selain keuntungan materi, kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh praktik ilegal ini menciptakan kerugian yang sangat besar bagi negara. Berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), total kerugian lingkungan dari kasus ini mencapai Rp300 triliun. Kerusakan meliputi area hutan di dalam dan sekitar IUP PT Timah, mencakup kerugian ekologi, kerugian ekonomi, serta biaya pemulihan lingkungan.
Akses Terhadap Praktik Tambang Liar
Harvey Moeis tidak hanya berperan sebagai pelaku, tetapi juga aktif menjalin komunikasi dengan pejabat tinggi PT Timah Tbk untuk memperoleh akses terhadap praktik tambang liar. Ia mengajukan sejumlah perusahaan smelter yang terlibat dalam pengolahan hasil tambang ilegal, seperti CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PR Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan PT Tinindo Internusa (TIN).
Helena Lim, yang menjabat sebagai Manager di PT Quantum Skyline Exchange (QSE), memiliki peran krusial dalam skandal ini. Uang hasil korupsi, yang disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR), dikelola oleh Helena melalui PT QSE. Uang tersebut kemudian disalurkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ini.
Sidang perdana kasus korupsi IUP di sekitar perusahaan tambang tersebut hari ini diadakan di Pengadilan Negeri Tipikor. Tiga tersangka pertama yang dihadirkan dalam persidangan adalah Suranto Wibowo, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2019; Rusbani, alias Bani, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 5 Maret hingga 31 Desember 2019; dan Amir Syahbana, Kepala Bidang Pertambangan Mineral Logam pada Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 2018-2021.
Sementara itu, berkas perkara yang melibatkan Harvey Moeis dan Helena Lim masih berada dalam tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.(*)