KABARBURSA.COM - Petani cengkeh semakin lantang menyuarakan tuntutan mereka agar diakui dalam alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Keluhan ini muncul karena mereka merasa diabaikan, meskipun cengkeh merupakan komponen penting dalam produksi rokok kretek yang menjadi objek cukai utama.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) pada 2020 menunjukkan bahwa kesejahteraan petani tembakau, terutama petani swadaya, masih belum tercapai. Salah satu penyebab utama adalah ketidakberdayaan mereka dalam rantai tata niaga tembakau.
Penelitian lebih lanjut pernah dilakukan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, dan timnya pada 2016 dan 2021. Mereka menemukan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan petani non-tembakau.
Riset senada dilakukan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian mereka mengungkapkan, di Jawa Tengah, salah satu provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, kesejahteraan petani tembakaunya masih rendah. Berbagai faktor mempengaruhi produksi tembakau di daerah ini. Hasil penelitian lembaga riset Muhammadiyah ini menunjukkan hampir 90 persen petani tembakau di Temanggung menyatakan sistem tata niaga yang ada kurang berpihak pada mereka.
Evaluasi Kebijakan DBH CHT
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Didi Irawadi Syamsuddin, menyoroti studi dari Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa meskipun petani tembakau menerima DBH CHT, kesejahteraan mereka belum terjamin. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan serius yang perlu segera diatasi.
“Studi dari Universitas Indonesia yang menyimpulkan bahwa petani tembakau yang merupakan penerima satu-satunya dari hasil cukai tersebut belum sejahtera menunjukkan adanya permasalahan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” kata Didi kepada Kabar Bursa, Sabtu, 15 Juni 2024.
Didi mengusulkan sejumlah langkah untuk memastikan petani cengkeh juga dapat menikmati manfaat dari DBH CHT. Ia menekankan pentingnya evaluasi kebijakan saat ini untuk mencakup petani cengkeh.
“Pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap kebijakan DBH CHT untuk memastikan bahwa alokasi anggaran tersebut mencakup petani cengkeh dan memenuhi kebutuhan mereka,” kata politikus Partai Demokrat ini.
Pada Senin, 27 Mei 2024 lalu, Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia telah menyampaikan aspirasi mereka kepada Badan Legislasi DPR RI untuk diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang tentang Komoditas Strategis Perkebunan.
Dalam pertemuan berupa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) itu, kelompok yang terdiri dari petani dan pedagang ini menginginkan kehadiran negara yang nyata untuk memberikan perlindungan bagi komoditas tembakau dan cengkeh. Mereka bahkan mengusulkan pembentukan badan yang mengelola tata niaga tembakau, mengingat sumbangan cukai rokok—hasil olahan tembakau dan cengkeh—sangat besar terhadap penerimaan negara.
Aspirasi serupa juga disuarakan oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, dia meminta Kementerian Keuangan agar mengakomodasi kebutuhan petani cengkeh dalam DBH CHT. Permintaan ini muncul karena cengkeh merupakan komponen penting dalam produksi sigaret kretek, salah satu objek cukai hasil tembakau.
Selain evaluasi kebijakan, Didi Irawadi Syamsuddin juga menyarankan agar pemerintah mengadakan pembahasan bersama dengan asosiasi petani cengkeh dan lembaga riset. Menurutnya, dialog ini penting untuk memperbaiki mekanisme alokasi dana agar lebih adil dan tepat sasaran.
“Pemerintah dapat melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk asosiasi petani cengkeh dan lembaga riset, untuk membahas bagaimana memperbaiki mekanisme alokasi dana agar lebih memperhatikan petani cengkeh,” ujarnya.
Didi pun mendorong penelitian lebih lanjut untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh petani cengkeh. Ia percaya bahwa kebijakan yang tepat hanya bisa dibuat berdasarkan data dan penelitian yang komprehensif.
“Studi lebih lanjut dapat dilakukan untuk memahami secara mendalam tantangan dan kebutuhan petani cengkeh, sehingga kebijakan yang diambil dapat lebih tepat sasaran,” katanya.
Didi menekankan pentingnya memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada petani cengkeh tentang mekanisme DBH CHT. Pemahaman yang baik akan membantu petani bagaimana menyerap dana tersebut untuk kebutuhan perkebunannya. “Memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada petani cengkeh tentang mekanisme DBH CHT serta cara untuk mengakses dan memanfaatkannya dengan optimal,” jelas Didi.
Selain itu, kolaborasi dengan pihak swasta, seperti perusahaan rokok atau produsen cengkeh, juga bisa menjadi solusi. Menurut Didi, pemerintah harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk menciptakan program kemitraan atau bantuan teknis bagi petani cengkeh.
Kebijakan Baru CHT
Pemerintah sebelumnya menerbitkan peraturan terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2023. Dilansir dari laman Sekretariat Negara, kenaikan tarif cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok. Kenaikan itu turut mendongkrak nilai penyaluran DBH CHT menjadi 3 persen atau Rp 5,47 triliun pada 2023, meningkat sekitar 39,4 persen dari DBH CHT tahun 2022 yang masih menggunakan alokasi 2 persen.
Namun, Kementerian Keuangan kemudian menurunkan DBH CHT pada 2024 menjadi sebesar Rp 4,9 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 9,26 persen dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan penurunan DBH cukai hasil tembakau ini disebabkan oleh penurunan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2023 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Menurut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2024, Provinsi Jawa Timur adalah wilayah dengan penerima DBH CHT tertinggi, yakni sebesar Rp 2,77 triliun. Hal ini tak lepas karena daerah tersebut merupakan sentra penghasil tembakau terbesar di indonesia.
Adapun untuk alokasi DBH cukai hasil tembakau tersebut, pemerintah menggunakan aturan lain, yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215 Tahun 2021. Ketentuan dalam beleid ini mengatur alokasi DBH CHT dirinci sebagai berikut: 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, 20 persen untuk peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja, dan pembinaan industri, 30 persen untuk penyaluran bantuan langsung tunai pada petani dan buruh tembakau, 40 persen untuk kesehatan, dan 10 persen untuk penegakan hukum, khususnya dalam mengontrol peredaran rokok ilegal. (alp/*)