KABARBURSA.COM – Usai Kemenkeu umumkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024 meningkat dibanding tahun 2023, pengelolaan APBN 2025 menjadi sorotan publik.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mendesak agar pemerintah perlu memprioritaskan efisiensi anggaran APBN 2025 ketimbang mengandalkan kebijakan fiskal yang kontroversial demi mengejar target penerimaan yang ambisius.
Realisasi APBN 2024 yang meleset dari ekspektasi, kata Andri, memperumit peluang mencapai target penerimaan pada tahun 2025. Oleh karena itu, ia menilai pemerintah butuh langkah strategis yang signifikan agar realisasi APBN tahun ini tidak meleset seperti sebelumnya.
“Target kenaikan penerimaan di 2025 menjadi lebih tinggi dan sulit dicapai tanpa ada tindakan radikal,” ujar Andri dalam webinar pada Rabu, 8 Januari 2025.
Ia menyoroti bahwa keterdesakan pemerintah dalam mengejar target penerimaan telah memunculkan berbagai wacana kebijakan fiskal kontroversial, seperti kenaikan PPN, pengalihan subsidi BBM, hingga Program Tax Amnesty jilid III. Namun, langkah tersebut dianggap bukan solusi ideal.
“Keterdesakan inilah yang membuat pemerintah banyak mewacanakan berbagai kebijakan fiskal kontroversial,” katanya.
Andri justru menyarankan agar pemerintah mengalihkan fokus dalam efisiensi belanja negara dengan memangkas program-program yang tidak mendesak atau kurang berdampak langsung bagi masyarakat.
Pendekatan efisiensi belanja negara, kata dia, adalah langkah yang lebih bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kredibilitas APBN tanpa menambah beban masyarakat melalui kebijakan yang tidak populer.
Dengan demikian, pemerintah dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan fiskal tahun ini tanpa menciptakan tekanan tambahan pada ekonomi nasional.
“Padahal akan jauh lebih bijak jika yang dilakukan adalah efisiensi dari program-program yang tidak prioritas bagi masyarakat saat ini,” katanya.
Defisit APBN 2024
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan defisit APBN 2024 mencapai Rp507,8 triliun atau setara 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sri Mulyani mengatakan, defisit APBN 2024 lebih tinggi jika dibandingkan defisit pada tahun 2023 yang hanya sebesar Rp374,6 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB.
“Betapa kita melihat tadi, 2,29 persen desain awal, memburuk ke 2,7 persen, dan kita mengembalikan lagi pada kondisi yang baik, yaitu APBN 2024 dijaga defisitnya di 2,29 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Senin 6 Januari 2025.
Menurutnya, defisit APBN 2024 memang dirancang berada di level 2,29 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan pemerintah telah memperkirakan defisit akan lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Bahkan sempat ada kekhawatiran defisit akan melebar hingga 2,7 persen karena tekanan makro ekonomi sepanjang semester I 2024 cukup berat.
Sejumlah faktor eksternal disebut-sebut menjadi pemicu, mulai dari kenaikan harga pangan akibat El Niño, lonjakan harga minyak, hingga perlambatan ekonomi China yang berdampak langsung pada prospek ekonomi Indonesia dan APBN.
Sri Mulyani juga menyoroti fluktuasi harga komoditas yang memengaruhi pendapatan negara. “Harga minyak sempat melonjak karena krisis di Timur Tengah, sementara harga batu bara yang biasanya menyumbang penerimaan signifikan bagi APBN masih rendah dan belum menunjukkan kenaikan,” tambahnya.
Situasi Geopolitik Perburuk Situasi
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa situasi geopolitik global sepanjang semester I turut memperburuk ketidakpastian ekonomi, terutama karena perlambatan ekonomi China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.
“El Niño menyebabkan pergerakan harga pangan, geopolitik menimbulkan uncertainty (ketidakpastian) ekonomi, dan perekonomian Tiongkok mengalami pelemahan,” kata Sri Mulyani.
Namun, tekanan tersebut mulai mereda seiring dengan naiknya harga komoditas seperti batu bara dan CPO, serta adanya stimulus fiskal dan moneter dari China. Hal ini mendorong perbaikan ekonomi sehingga defisit APBN bisa kembali sesuai target awal.
“Stimulus dari perekonomian di Tiongkok juga diumumkan yang menimbulkan harapan ekonomi Tiongkok akan mengalami paling tidak pemulihan atau peredaan terhadap kondisi yang terus menurun,” ungkap dia.
Hal itu bisa dilihat dari asumsi makro menunjukkan inflasi 2024 berada di level 1,57 persen (year on year/yoy), jauh lebih rendah dari asumsi awal. Sementara nilai tukar rupiah rata-rata tercatat di Rp15.847 per dolar AS.
Sementara itu, yield Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 7 persen per Desember 2024 mengalami penurunan dari level tertinggi 7,2 persen pada April dan Juni. Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan akhir 2023 yang tercatat di 6,4 persen.
“Yield kita yang sempat mengalami kenaikan yang sangat besar juga mulai mereda meskipun posisi di desember 2024 di 7,0 persen relatif lebih rendah dibanding posisi april atau juni yang waktu itu tekanannya sungguh luar biasa,” terangnya.
Adapun kini Pemerintah tengah menunggu data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk merilis angka pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2024. Perkiraan sementara sementara menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2024 masih tetap berada di kisaran 5 persen. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.