KABARBURSA.COM – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Fadhil Hasan memberikan pandangan kritis mengenai gejolak pasar keuangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Menurutnya, dampak dari kebijakan ini menyasar ke seluruh bursa saham dunia, termasuk Indonesia, dan menimbulkan ketidakpastian tinggi bagi para pelaku pasar.
Fadhil menekankan bahwa dalam kondisi seperti ini, investor sebaiknya memprioritaskan instrumen yang lebih aman seperti obligasi negara. "Kalau investment itu, ya kalau mau aman, dan kalau ada duitnya tentunya, ya itu milih ke obligasi lah. Obligasi negara, kan. Itu sudah aman," ujarnya melalui sambungan telepon kepada KabarBursa.com pada Kamis, 10 April 2025.
Ia menjelaskan bahwa saat ini pasar saham global berada dalam tekanan akibat ketegangan geopolitik yang masih terus berkembang, terutama perang dagang antara AS dan China. “Uncertainty-nya itu masih sangat tinggi. Kita belum tahu lanjutan dari perang dagang ini seperti apa,” jelasnya.
Pasar Saham Tertekan, Investor Diminta Waspada
Fadhil menilai bahwa meskipun harga saham sudah banyak yang terkoreksi dan terlihat menarik secara valuasi, namun situasi belum cukup kondusif untuk masuk kembali ke pasar. “Pasar saham ini sudah sangat di-discount. Tapi time to buy itu kalau ketidakpastian sudah settle. Sekarang belum,” ucap dia.
Untuk investor pemula, Fadhil menyarankan agar fokus pada instrumen yang lebih stabil dan tidak berspekulasi secara agresif. Sementara bagi investor yang sudah terlanjur menanamkan modal di pasar saham, ia menyarankan dua opsi: menahan posisi jika masih memiliki likuiditas, atau melakukan cut loss dengan risiko kerugian yang disadari.
"Kalau sudah terlanjur masuk saham, ya kalau ada dana bisa diamin aja dulu. Kalau cut loss ya harus siap rugi. Tapi sekali lagi, semuanya tergantung pada proyeksi ke depan, dan itu belum jelas," imbuhnya.
Terkait kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kemarin 9 April 2025 di tutup terkoreksi ke kisaran 5.967, Fadhil menyebut tren ini sejalan dengan bursa global yang juga mengalami tekanan. Ia menilai belum stabilnya kondisi pasar membuat investor enggan mengambil risiko lebih.
“IHSG sama saja seperti pasar saham dunia lainnya, masih banyak ketidakpastian. Jadi wajar kalau indeks belum bisa naik,” jelasnya.
Bursa Efek Indonesia sendiri belum menerapkan kebijakan trading halt lagi setelah sempat diterapkan pada 8 April 2025, meskipun tekanan terhadap IHSG cukup dalam. Fadhil memperkirakan bahwa tekanan terhadap pasar akan terus berlanjut apabila ketegangan geopolitik makin melebar.
“Kalau retaliasi ini bukan hanya dari China, tapi juga dari Eropa, Meksiko, dan negara lain, lalu dibalas lagi oleh Amerika, maka kemungkinan resesi global akan makin besar. Dan itu bisa berlangsung cukup lama,” ujarnya.
Fadhil mengingatkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian tinggi seperti saat ini, strategi terbaik bagi investor adalah menjaga kehati-hatian dan tidak terburu-buru mengambil keputusan. “Sekarang ini waktunya realistis, bukan optimistis berlebihan. Kita belum tahu ini semua akan berakhir kapan,” katanya.
IHSG Menguat Jangka Pendek
Sementara itu, MNC Sekuritas melihat IHSG saat ini, 10 April 2025, diperkirakan sedang berada dalam fase wave (iii) dari wave [v]. Meskipun terdapat peluang penguatan dalam jangka pendek, penguatannya diperkirakan akan terbatas hanya untuk menguji kisaran resistance di 6.122–6.196.
Namun, investor perlu mewaspadai potensi koreksi lanjutan yang bisa membawa IHSG turun menuju area 5.633–5.770. Level support utama berada di 5.825 dan 5.742, sementara resistance berada di 6.142 dan 6.265.
Dalam kondisi pasar yang masih bergejolak ini, terdapat beberapa saham yang menarik untuk diperhatikan dengan strategi buy on weakness. Saham-saham ini menunjukkan potensi teknikal untuk rebound setelah terkoreksi, meskipun tetap memerlukan kewaspadaan karena masih berada dalam fase konsolidasi atau korektif.
Saham Astra Agro Lestari Tbk (AADI) tercatat bergerak datar di level 5.750, dengan munculnya volume pembelian yang cukup signifikan. Berdasarkan analisis gelombang, AADI saat ini berada pada bagian dari wave 5 dari wave (C), yang menandakan bahwa penguatan yang terjadi saat ini bisa jadi hanya sementara.
Maka dari itu, peluang terbaik adalah membeli di level bawah, tepatnya di rentang 5.200–5.650, dengan target penguatan di 6.100 hingga 6.650. Namun, jika harga turun di bawah 5.050, disarankan untuk melakukan cut loss.
Sementara itu, saham Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) mencatatkan penguatan sebesar 4,33 persen ke level 2.170, didukung oleh volume pembelian yang tinggi. Dari sisi teknikal, posisi BRIS saat ini diperkirakan masih berada pada bagian dari wave (v) dari wave [a], yang artinya ada kemungkinan harga akan terkoreksi dalam waktu dekat.
Oleh karena itu, strategi buy on weakness di area 1.940–2.130 menjadi pilihan menarik, dengan target harga di 2.220 hingga 2.400. Stop loss sebaiknya ditempatkan di bawah level 1.915.
Saham Darma Henwa Tbk (DEWA) mengalami koreksi cukup tajam sebesar 5,49 persen ke harga 86. Tekanan jual masih membayangi saham ini, dan dari analisis gelombang terlihat bahwa DEWA tengah berada dalam wave [iii] dari wave C.
Hal ini membuka potensi koreksi lanjutan, meskipun area 77–84 menjadi level beli yang cukup menarik. Jika terjadi rebound, saham ini diproyeksikan menuju target 91 hingga 107. Stop loss ditetapkan di bawah 76.
Kemudian, Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) juga terkoreksi cukup dalam sebesar 7,29 persen ke level 6.675. Tekanan jual yang kuat menandakan bahwa saham ini sedang berada pada fase akhir dari wave v dari wave (c) dari wave [ii].
Dengan demikian, INDF masih berpotensi melanjutkan koreksinya sebelum memulai fase penguatan berikutnya. Area beli yang ideal berada pada rentang 6.375–6.575 dengan target harga menuju 7.100 dan 7.350. Untuk membatasi kerugian, stop loss disarankan di bawah 6.250.
Secara keseluruhan, meskipun kondisi pasar saat ini masih diliputi ketidakpastian dan tekanan jual, strategi buy on weakness tetap relevan bagi investor yang mampu mengelola risiko dan memiliki pandangan jangka menengah hingga panjang. Disiplin terhadap level entry, target, dan stop loss menjadi kunci dalam menghadapi volatilitas yang tinggi. (*)