KABARBURSA.COM - Ekonomi Indonesia diproyeksikan terancam kolaps seiring subsidi energi yang akan semakin membengkak imbas kenaikan harga minyak dunia dan perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Di saat yang sama, upaya transisi energi yang disusun pemerintah masih stagnan.
"Diperkirakan kita akan kolaps, mohon maaf, kalau sampai crude oil (minyak mentah) mendekati USD95. Apalagi kalau dolar AS lantas tembus, katakanlah Rp17 ribu, yang membuat angka subsidi meledak sebagaimana 2022 lalu," ujar Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, dikutip Minggu, 2 Juni 2024.
Adapun, Indonesia Crude Oil Price (IPC) yang merupakan harga jual minyak mentah di Indonesia secara rata-rata pada Januari sampai dengan Mei 2024 berada di kisaran USD81,52 per barel. Sementara berdasarkan APBN 2024, ICP tahun ini ditargetkan sebesar USD82 per barel.
Pemerintah sempat khawatir pada April 2024 angka ICP secara rata-rata mencapai USD87,61 per barel, mengalami kenaikan USD3,83 per barel dari ICP Maret sebesar USD83,78 per barel. Lonjakan ini terjadi akibat ketegangan di Timur Tengah yang memicu kekhawatiran pasar akan gangguan suplai minyak.
Sementara itu, nilai tukar rupiah saat ini sudah menembus Rp16.200 per dolar AS. Angka ini di atas asumsi makro sejumlah ekonom sebesar Rp15.500 per dolar AS, bahkan jauh di atas asumsi makro APBN 2024 yang dipatok sebesar Rp15.000 per dolar AS.
"Angka ICP memang sudah terlewati, dari USD82 (per barel) yang kita tetapkan, angka rata-rata sampai hari ini di kisaran USD87 (per barel). Jadi sudah ada selisih USD5 dengan selisih kurs yang kurang lebih Rp700, jadi double hit istilahnya," tegasnya.
"Jika harus menaikkan harga BBM, maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik," lanjutnya.
Meskipun demikian, subsidi energi yang membengkak imbas merangkak naiknya harga minyak mentah dunia dan ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tak serta merta bisa membuat pemerintah langsung mengambil jalan pintas dengan kebijakan tidak populis, seperti menaikkan harga BBM.
Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio mencapai sebesar 0,388. Angka ini meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.
"Jika harus menaikkan harga BBM, maka konsekuensinya adalah terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya berkonsekuensi dengan kemiskinan yang akan naik. Tingkat gini ratio yang masih agak jomplang, ini mengerikan, karena kenaikan BBM ini biasanya akan berimbas pada terjadinya kerusuhan dan lain-lain," ungkap Sugeng.
Sugeng pun menyarankan agar pemerintahan selanjutnya yang sudah terpilih dari kontestasi Pemilu 2024, mau dan menegaskan komitmen terhadap kebijakan transisi energi dan memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT).
"Tampaknya ini (transisi energi) menjadi sebuah keharusan, kita harus masuk ke EBT. Karena fosil di minyak sudah defisit, kita sudah net importir sekarang," pungkasnya.
Indikasi Pemangkasan Subsidi Energi
Pemerintah mengindikasikan kemungkinan pemangkasan subsidi energi sebesar Rp67,1 triliun pada tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Pemangkasan ini diusulkan melalui berbagai langkah efisiensi, termasuk pengendalian subsidi elpiji, penerapan tariff adjustment untuk pelanggan listrik non-subsidi, dan pengendalian subsidi serta kompensasi bahan bakar minyak (BBM).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa potensi efisiensi ini tidak berarti pemangkasan anggaran subsidi energi akan dilakukan secara langsung. “Ini masih berupa wacana awal,” ujar Sri Mulyani.
Menurutnya, siklus perumusan APBN melibatkan berbagai tahap pembahasan dengan DPR. Oleh karena itu, efisiensi subsidi energi belum bersifat final dan masih akan dibahas lebih lanjut.
“Ini masih postur besar banget, nanti kita lihat dari pandangan fraksi-fraksi,” jelas Sri Mulyani. “Nanti kita makin pertajam posturnya, kita akan diskusikan di Badan Anggaran DPR RI, di situ kita kalibrasi lagi,” tambahnya.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa angka potensi efisiensi subsidi energi yang tertulis dalam KEM-PPKF merupakan hasil perhitungan berdasarkan asumsi APBN saat ini. Potensi efisiensi tersebut dihitung dengan mempertimbangkan tidak adanya perubahan volume penyaluran subsidi energi, serta mempertahankan kurs rupiah dan harga minyak mentah.
“Itu bisa kita tetapkan, kita kira-kira, nanti kita lihat volumenya supaya tetap disiplin, enggak nambah, tapi ini masih sangat-sangat awal,” tutur Sri Mulyani.