KABARBURSA.COM - Ekspor Jawa Tengah (Jateng) pada Maret 2024 mencapai USD950,59 juta, naik 3,05 persen dibandingkan Februari 2024, dan naik 5,04 persen dari Maret 2023.
Ekspor nonmigas mencapai USD903,13 juta, naik 0,07 persen dari Februari 2024. Tiga negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat (USD382,27 juta), Jepang (USD69,35 juta), dan Tiongkok (USD47,98 juta), dengan kontribusi 56,60 persen selama Januari-Maret 2024.
Neraca perdagangan Jateng pada Maret 2024 mengalami defisit USD84,67 juta, dengan defisit migas USD436,08 juta dan surplus nonmigas USD351,41 juta.
Impor Jateng turun 24,53 persen dari Februari 2024, mencapai USD1.035,26 juta. Penurunan disebabkan oleh impor nonmigas turun 27,00 persen dan impor migas turun 21,50 persen.
Penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor minyak mentah sebesar 32,03 persen. Nilai impor Maret 2024 juga turun 18,24 persen dibandingkan dengan Maret 2023, disebabkan oleh penurunan impor nonmigas 20,87 persen dan impor migas 15,03 persen.
Penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor hasil minyak 30,56 persen dan minyak mentah 9,32 persen.
Pengusaha tetap waspada
Beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, Frans Kongi, mengumumkan bahwa kinerja ekspor Jawa Tengah pada Kuartal I/2024 menunjukkan perbaikan yang signifikan, terutama dalam sektor produk garmen.
"Kami melihat adanya peningkatan yang baik, terutama dalam pesanan ekspor, yang menunjukkan aktivitas ekspor masih berjalan normal di Semester I-2024," ujar Frans, Selasa, 23 April 2024.
Hal ini juga disepakati oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat nilai ekspor Jawa Tengah pada Januari-Maret 2024 mengalami kenaikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Kuartal I-2024, nilai ekspor Jawa Tengah mencapai USD2.807 juta, meningkat dari USD2.578 juta pada tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, Frans mengingatkan bahwa peningkatan ini harus diimbangi dengan kehati-hatian. Risiko pelemahan nilai tukar rupiah masih menjadi perhatian, terutama bagi sektor industri pertambangan dan pertanian yang bisa merasakan manfaat dari pelemahan nilai tukar dalam meningkatkan nilai jual produk mereka.
Namun, sektor industri garmen dan tekstil yang menjadi andalan Jawa Tengah menghadapi tantangan.
Frans menjelaskan bahwa sekitar 80 persen bahan baku untuk industri farmasi dan garmen masih berasal dari impor, yang dapat menyebabkan kenaikan biaya produksi dan harga jual produk. Hal ini dapat mengganggu daya saing produk lokal.
Ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah potensi kenaikan harga minyak mentah dunia, yang dapat meningkatkan ongkos produksi dan berdampak negatif pada daya beli masyarakat di pasar domestik.
"Meskipun proyeksi kami tidak seburuk pada masa pandemi sebelumnya, kami tetap waspada. Kami bekerja lebih efisien dalam penggunaan bahan baku, energi listrik, dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu demi meningkatkan efisiensi," tambah Frans.