KABARBURSA.COM – Saham PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN) menjadi sorotan tajam setelah mencetak auto reject atas (ARA) tiga hari berturut-turut pasca pencatatan perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada perdagangan Senin, 14 Juli 2025 kemarin saja harga COIN tembus Rp304 atau naik 24,58 persen ke 60 poin.
Sebagai perusahaan kripto pertama yang melantai di BEI, COIN mencuri perhatian investor ritel dan institusional yang ingin mendapatkan eksposur terhadap sektor aset digital melalui pasar modal konvensional.
Analis Pasar Modal dari Traderindo, Wahyu Laksono, menilai fenomena ini sebagai cerminan antusiasme pasar terhadap peluang baru yang ditawarkan COIN, sekaligus mengingatkan agar investor tetap rasional dan berhati-hati.
“COIN adalah saham perusahaan yang mengelola infrastruktur kripto, bukan aset kripto itu sendiri seperti Bitcoin. Jadi pendekatannya berbeda dan harus dipahami secara fundamental,” ujar Wahyu Laksono saat dihubungi Kabarbursa.com, Selasa, 15 Juli 2025.
Sebagai perusahaan induk dari Central Finansial X (CFX), bursa aset kripto berlisensi dari OJK, dan Kustodian Koin Indonesia (ICC), COIN menjalankan bisnis inti berupa penyelenggaraan perdagangan dan penitipan aset kripto. Oleh karena itu, investasi pada COIN adalah investasi terhadap model bisnis dan pertumbuhan industri, bukan spekulasi terhadap harga aset digital seperti Bitcoin atau Ethereum.
Wahyu menjelaskan bahwa COIN memiliki keunggulan strategis sebagai pelopor di sektor ini. Statusnya sebagai perusahaan terbuka menjadikan COIN tunduk pada regulasi ketat dari OJK dan BEI, sehingga lebih dapat dipercaya oleh investor yang menginginkan eksposur pada kripto namun enggan berhadapan langsung dengan volatilitas aset digital.
"Sebagai pionir, COIN mendapat sorotan positif dari pasar. Investor melihatnya sebagai pintu masuk untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan industri kripto nasional, tanpa harus langsung memegang kripto," ujarnya.
COIN juga tengah menyiapkan ekspansi bisnis melalui pengembangan produk derivatif kripto yang berpotensi menjadi sumber pendapatan tambahan dan meningkatkan daya saing.
Meski demikian, Wahyu juga mengingatkan bahwa pergerakan harga saham COIN tidak bisa disamakan dengan Bitcoin. Kinerja saham akan sangat ditentukan oleh performa keuangan perusahaan, volume transaksi di platform CFX, pendapatan dari layanan kustodian, dan efektivitas strategi bisnis jangka panjang.
“Bitcoin bisa naik ribuan persen karena spekulasi global. COIN tidak akan setinggi itu, tapi pertumbuhannya bisa lebih stabil dan berkelanjutan jika didukung fundamental yang kuat,” katanya.
Soal harga saham, COIN sempat melonjak 34,07 persen ke level Rp244 per saham pada 11 Juli 2025 dari harga IPO-nya di Rp100. Menurut Wahyu, potensi kenaikan ke level Rp500 masih terbuka dalam jangka pendek, seiring euforia pasca-IPO dan status COIN sebagai satu-satunya emiten kripto saat ini.
Namun, ia mengingatkan bahwa euforia bisa cepat mereda, seperti yang terjadi pada beberapa emiten IPO sebelumnya.
“Saham IPO seperti COIN sangat rentan berbalik arah. GOTO adalah contoh bahwa investor tidak boleh hanya melihat tren awal. Penting untuk DYOR, pahami laporan keuangan dan strategi bisnisnya,” jelas Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu menyoroti aturan auto reject atas (ARA) yang berlaku di BEI. Untuk saham IPO, batas ARA pada hari pertama bisa dua kali lipat dari batas normal, yang artinya bisa mencapai 70 persen dalam satu hari tergantung pada harga awalnya. Meski saham COIN menyentuh ARA berturut-turut, Wahyu menilai hal itu belum tentu menjadi alasan suspensi, selama tidak ditemukan pergerakan tidak wajar atau indikasi manipulasi harga.
“Kalau kenaikan harga masih didukung data yang jelas dan antusiasme investor, BEI biasanya tidak langsung suspend. Tapi kalau tidak ada informasi yang mendasari, maka bisa masuk kategori UMA,” tambahnya.
Terkait keberadaan Andrew Hidayat sebagai salah satu pemegang saham, Wahyu menilai hal itu bisa menimbulkan kekhawatiran sebagian investor, mengingat Andrew sempat tersandung kasus di masa lalu. Diketahui Andrew Hidayat pernah terseret korupsi kasus suap izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Namun, ia menekankan bahwa BEI dan OJK sudah melalui proses due diligence sebelum meloloskan IPO COIN. BEI juga sempat buka suara soal hal itu karena tidak ada kaitannya.
“Rekam jejak memang jadi catatan, tapi keputusan BEI untuk meloloskan IPO menandakan bahwa aspek legalitas dan kelayakan sudah dipenuhi. Yang penting sekarang adalah bagaimana COIN dikelola secara profesional ke depan,” katanya.
Wahyu menegaskan bahwa investor perlu memisahkan antara sentimen pribadi terhadap pemegang saham dan kinerja korporasi. Fokus harus diberikan pada pertumbuhan kinerja, transparansi laporan keuangan, dan inovasi produk.
Ia mengingatkan agar investor tidak terjebak FOMO atau euforia sesaat. Investasi saham, terutama pada sektor volatil seperti kripto, membutuhkan pemahaman risiko yang tinggi dan strategi jangka panjang.
“Kalau hanya ikut-ikutan beli karena harga naik, bisa berakhir nyangkut. Tapi kalau percaya pada industri kripto Indonesia dan yakin pada fundamental COIN, saham ini bisa jadi bagian dari strategi jangka panjang,” pungkasnya.
Saat ini, investor masih menantikan laporan keuangan perdana COIN sebagai emiten publik, yang akan menjadi dasar untuk menilai kelayakan valuasi ke depan. Dengan posisi unik di pasar dan potensi adopsi kripto yang terus meningkat, COIN dinilai sebagai pionir yang bisa membuka jalan bagi gelombang IPO serupa di sektor digital. Namun, seperti semua saham baru, risiko tinggi dan fluktuasi tajam masih membayangi dalam beberapa bulan awal perdagangan.(*)