Logo
>

Emiten Tekstil ini Ajukan Delisting ke BEI

Ditulis oleh KabarBursa.com
Emiten Tekstil ini Ajukan Delisting ke BEI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Century Textile Industry Tbk (CNTX) telah mengajukan permohonan untuk penghapusan pencatatan saham (delisting) dan suspensi perdagangan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).

    Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 1 BEI, Vera Florida, menyatakan bahwa bursa telah menerima permohonan tersebut pada 5 Agustus 2024, sehingga saham CNTX dan CNTB (saham seri B) akan ditangguhkan perdagangannya.

    “Sehubungan dengan permohonan tersebut, Bursa memutuskan untuk menghentikan sementara perdagangan saham perseroan (Kode: CNTX dan CNTB) di seluruh pasar efektif mulai sesi I pada 7 Agustus 2024," ujarnya pada Rabu, 7 Agustus 2024.

    Menurut catatan IDX Channel, saham CNTX telah masuk dalam papan pemantauan khusus sejak 31 Januari 2024 dan diperdagangkan dengan metode full call auction (FCA).

    Saham ini dimasukkan ke dalam papan pemantauan karena memenuhi kategori 5, 6, dan 7, yaitu memiliki ekuitas negatif, tidak memenuhi persyaratan minimum saham beredar di publik (free float), dan likuiditas yang rendah.

    Dalam laporan keuangan semester I-2024, Centex melaporkan pendapatan bersih sebesar USD7 juta, turun 25 persen dibandingkan tahun lalu.

    Kerugian perusahaan meningkat 34 persen dari USD1,08 juta menjadi USD1,45 juta.

    Centex adalah perusahaan tekstil yang memproduksi kain tenun polos dan dobby, yang dikendalikan oleh Penfabrix Sdn Bhd dari Malaysia (30 persen) dan Toray Industries dari Jepang (24 persen).

    Porsi saham publik di CNTX adalah 12 persen, dengan 499 investor terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) hingga 31 Juli 2024.

    Terkait keputusan untuk membeli atau menjual saham CNTY, pasar saham 2024 memang menunjukkan fluktuasi tajam, dengan berbagai analisis dan opini.

    Untuk menentukan nilai wajar CNTY, sistem analisis menggunakan AI dan pembelajaran mesin dapat menjadi pilihan yang lebih tepat dibandingkan alat finansial konvensional yang bergantung pada data historis.

    Sistem ini memprediksi performa saham dibandingkan dengan indeks utama seperti S&P 500, menilai keyakinan terhadap prediksi tersebut, dan mengukur potensi risiko penurunan.

    Industri Tekstil di Ujung Tanduk

    Industri tekstil Indonesia sedang berada di ujung tanduk, dengan pertumbuhan yang terkontraksi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mengguncang sektor ini.

    Andry Satrio Nugroho, Head of Center of Industry Trade and Investment INDEF, menyatakan keprihatinannya terhadap situasi yang kian memburuk ini.

    “Terkait dengan masalah pemutusan kerja dan PHK yang tentunya ini menurut kami adalah alarm tanda bahaya," kata Andry dalam diskusi publik INDEF: Industri Tekstil menjerit, PHK melejit, Kamis 8 Agustus 2024.

    Ia menambahkan bahwa situasi ini menunjukkan adanya ketidakberesan yang serius pada tahun ini. Setelah dianalisis, industri tekstil menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam gelombang PHK ini.

    Dia melihat dengan keprihatinan yang mendalam bahwa capaian tenaga kerja yang terkena PHK pada Januari hingga Juni ini melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Wilayah PHK terbesar tersebar di pusat-pusat sentra industri, menandakan ada masalah serius yang perlu segera diatasi. Jakarta menjadi puncak dari tingginya tingkat PHK.

    Berdasarkan data dari Kementerian Ketenaga Kerjaan (Kemnaker) tercatat 32.064 tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juni 2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 23,29 persen kasus PHK terjadi di Jakarta.

    Angka tersebut dipublikasikan dalam laporan Satu Data Kemnaker pada Kamis, 25 Julis 2024.

    Lebih detailnya, di Jakarta terjadi kasus PHK sebanyak 7.469 orang pada Januari hingga Juni 2024. Di tempat kedua adalah Banten dengan 6.135 kasus, kemudian Jawa Barat sebanyak 5.155 kasus PHK.

    Selanjutnya Jawa Tengah sebanyak 4.275 kasus PHK, dan Sulawesi Tengah sebanyak 1.812 karyawan terkena PHK.

    “Kami melihat ada yang tidak beres di tahun ini. Beberapa kasus PHK massal terbesar berada di pusat-pusat sentra industri. Industri tekstil menyumbang angka yang cukup besar dalam hal ini,” jelas Andry.

    Padahal menurut Andry, di masa lalu industri tekstil dan produk turunannya, termasuk pakaian jadi, menjadi sektor yang strategis dan padat karya. Namun kini, sektor yang dahulu dibanggakan justru berada dalam tekanan besar.

    “Di masa lalu kita cukup percaya diri ketika berbicara mengenai industri tekstil dan produk dari tekstil serta pakaian jadi,” ujarnya.

    Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan besar bagi Andry, mengapa industri tekstil, yang seharusnya menjadi sektor strategis dan padat karya, sekarang ini dalam kondisi menghadapi tekanan yang sangat besar.

    “Kenapa hari ini sektor yang sebelumnya merupakan sektor yang sangat strategis dan padat karya justru mendapat tekanan besar,” tanya Andry.

    Sementara itu, dalam kajian LPEM FEB UI bertajuk ‘Rentannya Mesin Pertumbuhan Ekonomi’, terungkap bahwa kelas menengah menjadi penopang utama setoran pajak pemerintah, mulai dari pajak penghasilan, pajak properti, serta pajak kendaraan bermotor.

    Ketika porsi kelas menengah merosot dalam perekonomian, dampaknya akan terasa secara langsung pada penerimaan negara. Artinya, maraknya PHK yang terjadi saat ini tidak hanya menambah jumlah pengangguran, tetapi juga menekan daya beli masyarakat. Dengan tertekannya daya beli masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam.

    Dalam Seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook Kuartal III-2024, Tim Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI mengungkapkan bahwa peran kelas menengah terhadap penerimaan negara mencapai 50,7 persen dan 34,5 persen berasal dari calon kelas menengah atau AMC.

    “Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak,” dikutip dari hasil kajian yang bertajuk ‘Rentannya Mesin Pertumbuhan Ekonomi’ 8 Agustus 2024.

    Kontribusi ini menurut tim LPEM FEB UI sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia.

    Untuk mendukung investasi tersebut, sangat penting untuk menjaga daya beli, baik kelas menengah maupun calon kelas menengah.

    “Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tulis tim LPEM FEB UI. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi