KABARBURSA.COM - Emiten perunggasan menjadi salah satu sektor yang cukup menjanjikan setelah mencatat pertumbuhan laba sepanjang semester I 2024. Lantas, bagaimana kinerja saham dan tantangan di sisa tahun 2024?
Dua emiten perunggasan, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), berhasil mencatat kinerja yang cemerlang sepanjang paruh pertama 2024, khususnya dalam hal pertumbuhan laba yang signifikan. Hingga perdagangan Senin, 2 September 2024, saham JPFA dan CPIN masing-masing melemah sebesar 3,76 persen menjadi Rp1.535 per saham dan 0,21 persen menjadi Rp4.850 per saham. Kedua perusahaan ini merupakan emiten perunggasan berskala besar.
Sebagai gambaran, CPIN dan JPFA masing-masing membukukan pendapatan sebesar Rp61,61 triliun dan Rp51,17 triliun pada 2023. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, laba JPFA melesat hingga 1.704,54 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp1,47 triliun pada semester I 2024. Peningkatan ini didorong oleh penjualan neto yang naik 14,45 persen yoy menjadi Rp27,64 triliun pada semester I 2024.
Sementara itu, CPIN berhasil meraih laba sebesar Rp1,76 triliun pada semester I 2024, atau tumbuh sebesar 28,22 persen yoy. Pertumbuhan laba ini didukung oleh penjualan neto yang naik 6,7 persen yoy menjadi Rp32,96 triliun.
Secara terpisah, Tim Riset Samuel Sekuritas mencatat bahwa pada semester I 2024, sektor unggas menunjukkan pertumbuhan positif yang didorong oleh kenaikan harga ayam hidup dan penguasaan bibit ayam (day old chicken/DOC), berkat adanya program pemangkasan (culling) sukarela. Culling adalah proses selektif untuk mengurangi jumlah ayam dalam populasi berdasarkan kriteria tertentu.
Meski demikian, emiten perunggasan diperkirakan akan menghadapi sejumlah tantangan pada paruh kedua tahun ini. "Kami memperkirakan paruh kedua tahun 2024 akan sedikit lebih menantang bagi sektor unggas," tulis Tim Riset Samuel Sekuritas pada 30 Agustus 2024.
Selain itu, potensi dampak dari fenomena La Niña yang diprediksi terjadi pada 2024 mungkin akan mempengaruhi profitabilitas.
Tim Riset Samuel Sekuritas optimistis terhadap prospek sektor unggas, dengan Japfa (JPFA) sebagai pilihan utama. Sentimen positifnya adalah relaksasi harga dan upaya menjaga harga ayam hidup tetap tinggi di atas biaya produksi, serta pengurangan impor grand parent stock (GPS) atau indukan bibit ayam mulai 2024.
Namun, risiko tetap ada, terutama jika permintaan tidak sesuai harapan atau biaya bahan baku meningkat. Samuel Sekuritas merekomendasikan beli untuk JPFA dengan target harga Rp1.790, sementara CPIN direkomendasikan beli dengan target harga Rp5.500.
Sebelumnya, Senior Investment Information dari Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan bahwa ke depan kinerja keuangan dan saham emiten unggas masih menjanjikan, didorong oleh katalis positif. "Ada kebijakan pemerintah baru, seperti kebijakan makan siang gratis, yang menjadi katalis positif karena meningkatkan permintaan terhadap makanan bergizi, termasuk produk unggas," ujar Nafan.
Nafan memberikan rekomendasi beli untuk CPIN dengan target harga Rp6.100, sedangkan JPFA direkomendasikan hold dengan target harga Rp1.695. Pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat, 30 Agustus 2024, JPFA mencatatkan penurunan harga saham sebesar 1,24 persen ke level Rp1.595 per saham, sementara CPIN turun 1,82 persen ke level Rp4.860 per saham.
Tantangan bagi emiten unggas diprediksi muncul dari pasar global seiring dengan ancaman masuknya daging ayam impor asal Brasil ke pasar Indonesia. Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, menuturkan bahwa ancaman ini merupakan dampak dari kekalahan Indonesia dalam sengketa perdagangan dengan Brasil di World Trade Organization (WTO). Sengketa yang dimaksud adalah DS484 mengenai impor daging ayam dan produk ayam.
Menurut Edy, risiko ini akan membuat posisi peternak ayam broiler di dalam negeri semakin tertekan. "Terkait daging ayam, kita kalah dalam kasus tuntutan Brasil di WTO, artinya cepat atau lambat, daging ayam impor dari Brasil akan masuk ke Indonesia," ujar Edy.
Selain itu, kondisi pasar saat ini kurang menguntungkan bagi peternak ayam skala kecil. Harga jual ayam yang rendah dan biaya produksi yang tinggi membuat peternak sulit bersaing dengan harga daging ayam impor yang lebih murah. Oleh karena itu, Edy menyatakan bahwa pemerintah tengah berupaya untuk meminimalisir dampak dari banjirnya produk ayam asal Brasil terhadap peternak kecil.
Menurut Edy, perbaikan di sisi hulu perlu menjadi perhatian. "Apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana agar peternak ayam kita menjadi lebih efisien, sehingga perbedaan harga dengan daging ayam impor, terutama dari Brasil, dapat diminimalisir," tutur Edy.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga ayam pedaging (hidup) di tingkat produksi mengalami tren penurunan sejak awal semester II 2024. Harga ayam pedaging (hidup) pada Juli 2024 tercatat sebesar Rp21.590/kg, lebih rendah 9,2 persen dibandingkan Juli 2023 yang mencapai Rp23.780/kg. Pada September 2024, harga ini kembali turun menjadi Rp20.850/kg. (*)