KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyebut tarif resiprokal yang diterapkan oleh presiden Amerika, Donald Trump kepada 60 negara tak lagi berdasarkan aturan ekonomi, tapi semata-mata untuk selamatkan defisit.
Sri Mulyani mengatakan imbas kebijakan tersebut dinamika perdagangan global kini tak lagi mengenal sekutu, dan prinsip-prinsip ilmu ekonomi nyaris tak lagi relevan dalam kebijakan yang diambil Washington.
“Tadinya kita masih berharap adanya supply chain yang berdasarkan perkawanan, makanya waktu itu muncul friendsharing, nearsharing. Sekarang bahkan tidak ada definisi yang disebut kawan atau friend lagi,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.
Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat yang dulunya membentuk blok dagang seperti NAFTA (yang terdiri dari AS, Kanada, dan Meksiko), kini justru memberlakukan tarif terhadap sesama mitra strategis.
“Karena Amerika terhadap Kanada, terhadap Meksiko, negara yang tergabung dalam NAFTA, ini pun juga yang didudani oleh Amerika Serikat, sekarang ini diabandon (ditinggalkan) dan menjadi persaingan yang tidak ada lagi definisi kawan atau lawan,” lanjutnya.
Dunia Tak Lagi Diatur Oleh Aturan
Menurut Sri Mulyani, perubahan ini telah menciptakan ketidakpastian luar biasa dalam lanskap perekonomian global. Dalam rentang waktu yang sangat singkat, kebijakan sepihak Amerika telah mengguncang sistem perdagangan internasional yang selama ini berbasis pada aturan dan kesepakatan multilateral.
“Kalau kita lihat timelinenya, selama satu episode, satu Februari hingga April ini, dalam dua bulan telah mengubah landscape perekonomian global,” tegasnya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejak Presiden Trump mengeluarkan Executive Order pada 1 April untuk mengenakan tarif 10 persen kepada Kanada dan 25 persen terhadap energinya, lalu 25 persen untuk Meksiko dan 10 persen untuk Tiongkok, maka seluruh tatanan global yang selama ini dianggap stabil berubah drastis.
“Timeline ini menggambarkan hanya dalam waktu satu bulan dunia yang tadinya di-govern dengan rule base sekarang tidak ada lagi kepastian,” tambahnya.
Tarif Demi Defisit, Bukan Ilmu Ekonomi
Pernyataan paling keras datang ketika Sri Mulyani menyoroti alasan di balik kebijakan tarif AS. Ia menyebut bahwa keputusan itu tidak didasarkan pada teori ekonomi manapun, melainkan murni transaksi politik untuk menutup defisit perdagangan.
“Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara penghitungan tarif tersebut yang saya rasa semua ekonomi yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami,” katanya.
Bendahara negara itu bahkan menyatakan bahwa dalam konteks ini, ilmu ekonomi tak lagi punya tempat.
“Tidak ada ilmu ekonominya di situ. Menutup defisit itu artinya saya tidak ingin tergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain. Itu is purely transactional. Tidak ada landasan ilmu ekonominya,” tegasnya.
Secara sarkastik, ia juga menyinggung para ekonom yang turut hadir dalam forum tersebut. “Jadi teman-teman ini ada ICI disini mohon maaf tidak berguna pak ilmunya hari-hari ini,” tambahnya.
Waspada Tapi Tidak Terkaget-Kaget
Perempuan yang akrab disapa ani menegaskan bahwa Indonesia perlu mengelola perekonomiannya dengan kewaspadaan tinggi di tengah ketidakpastian global ini. Namun demikian, pemerintah harus tetap tenang dan tidak selalu bersikap reaktif.
“Ini yang menjadi salah satu yang perlu kita perhatikan di dalam kita mengelola ekonomi tidak kita terus menerus terkaget-kaget namun pada saat yang sama kita tetap waspada,” ujar dia.
Strategi Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan strategi Indonesia dalam menghadapi tekanan kebijakan dagang Amerika Serikat, termasuk tarif tinggi yang diberlakukan terhadap sejumlah negara mitra dagang. Pemerintah Indonesia, kata dia, tidak tinggal diam. Berbagai reformasi fiskal dan administrasi terus digencarkan agar pelaku usaha tidak terlalu terbebani dan tetap kompetitif di tengah dinamika global.
“Kita juga penetapan nilai pabean dan ini juga termasuk yang dikomplain oleh pelaku usaha, termasuk yang dari Amerika. Kita akan menggunakan rentang harga yang berbasis yang valid, jadi ini lebih memberikan kepastian,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.
Ia menjelaskan bahwa kuota-kuota impor yang sebelumnya diberlakukan justru menambah beban transaksi, mengurangi transparansi, dan tidak memberikan tambahan penerimaan negara. Dengan menghapus kebijakan tersebut dan menggantinya dengan sistem berbasis data yang valid, proses impor-ekspor akan jauh lebih efisien.
“Kalau ini dihapus akan sangat menentukan banget perbaikan dari sisi import-ekspor Indonesia. Penyediaan perizinan dan tata niaga impor akan disederhanakan berbasis IT dan data,” jelasnya.
Langkah lain yang dilakukan adalah penguatan National Logistic Ecosystem (NLE). Saat ini, 53 pelabuhan dan 7 bandara sudah terintegrasi dengan sistem tersebut. “Sehingga seluruh transaksi itu semuanya digital dan jauh lebih cepat dan pasti,” tambah Sri Mulyani.
Selain itu, ia menyampaikan bahwa pemerintah juga terus mengembangkan implementasi teknologi mutakhir, salah satunya dengan penggunaan hyco x-ray. Dengan teknologi ini, petugas bea cukai tidak lagi perlu membongkar kontainer secara manual karena seluruh isi kontainer sudah dapat terlihat tanpa intervensi langsung dari petugas.
“Kita juga mengimplementasikan hyco x-ray,” ujarnya.
Tak hanya dari sisi logistik dan pengawasan, pemerintah juga melakukan harmonisasi antara kebijakan perpajakan dan kepabeanan.
“Sehingga antara policy kebijakan di hulu hingga ke hilir akan lebih sinergi. Ini untuk memudahkan berbagai transaksi restitusi, perbaikan proses kerja, dan fasilitas impor,” paparnya.
Sri Mulyani menyebut, saat ini proses pemeriksaan dan restitusi pajak telah jauh lebih cepat. Bahkan dalam kasus merger dan akuisisi, Kemenkeu bersedia membuka ruang agar perusahaan lebih lincah menyesuaikan diri dengan situasi ekonomi.
“Kami sangat terbuka untuk membuka dan melihat aspek perpajakan agar perusahaan-perusahaan yang perlu melakukan merger akuisisi itu jauh bisa lebih agile karena situasi memang mengharuskan begitu,” ucapnya.
Penyesuaian Produk Tertentu
Dari sisi fiskal, pemerintah juga akan menyesuaikan beberapa tarif. “Kebijakan perpajakan untuk PPh impor, kami akan melakukan penyesuaian untuk produk tertentu yang tadinya antara 2,5 persen ke hanya 0,5 persen. Ini berarti mengurangi lagi 2 persen beban tarif,” kata Sri Mulyani.
Tak hanya itu, tarif bea masuk produk impor dari AS yang semula berada di kisaran 5–10 persen akan diturunkan menjadi 0–5 persen. “Ini untuk produk-produk yang berasal dari Amerika Serikat yang masuk dalam most favored nation,” jelasnya.
Sementara itu, bea keluar untuk crude palm oil (CPO) juga akan disesuaikan untuk mengurangi beban pelaku ekspor.
“Ini juga equivalent mengurangi beban hingga 5 persen,” tegasnya.
Dari sisi trade remedies, Menkeu mengungkap bahwa upaya percepatan proses seperti anti-dumping dan safeguard juga sedang dibenahi.
“Termasuk Menteri Perdagangan, Pak Menko Perekonomian minta agar biaya masuk anti dumping, imbalance safeguard bisa dilakukan dan dipercepat hanya dalam waktu 15 hari. Itu akan kita lakukan bersama dengan KL yang lain,” katanya.(*)