KABARBURSA.COM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa kinerja sektor jasa keuangan dalam negeri berada dalam kondisi yang terjaga dan stabil. Stabilitas ini ditopang oleh tingkat permodalan yang kokoh dan likuiditas industri yang memadai, meskipun tengah menghadapi ketidakpastian perekonomian global.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan bahwa tingkat permodalan dan likuiditas industri jasa keuangan di Indonesia tetap kuat meski dihadapkan dengan gejolak perang dagang dan tensi geopolitik.
"Sektor jasa keuangan kita tetap stabil, didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan likuiditas yang memadai di tengah ketidakpastian global akibat meningkatnya tensi perang dagang dan geopolitik, serta normalisasi harga komoditas global," ujar Mahendra dalam konferensi pers yang diadakan secara daring, Senin, 5 Agustus 2024.
Secara umum, kata Mahendra, perekonomian global terlihat melemah dengan tingkat inflasi yang termoderasi di tengah penurunan inflasi Amerika Serikat (AS) dan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga kebijakan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
“Ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika, FFR sebanyak 2 atau 3 kali di sisa tahun 2024 ini,” jelasnya.
Sementara di Eropa, tutur Mahendra, kebijakan yang lahir pada pertemuan Bank Sentral Eropa (ICB) bulan Juni 2024 lalu, terus menunjukan pelemahan. Hal ini berakibat ICB menurunkan suku bunga.
Hal serupa juga terjadi pada perekonomian Tiongkok yang melambat. Mahendra menyebut, lambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok didorong oleh melemahnya permintaan domestik di sektor properti.
“Sehingga pemerintah dan bank sentral Tiongkok terus mengeluarkan stimulus fiskal dan moneter,” ungkapnya.
Sementara saat ini, kata Mahendra, tensi perang dagang dan geopolitik global terus mengalami peningkatan eskalasi. Meningkatnya eskalasi geopolitik tak terlepas dari dinamika politik AS menjelang pemilihan presiden, konflik timur tengah, hingga perang Rusia dan Ukraina.
Berbeda dengan kondisi perekonomian dalam negeri. Mahendra menyebut, perekonomian dalam negeri terpantau memiliki kinerja yang positif dan stabil dengan tingkat inflasi yang terjaga.
“Kirneja perekonomian nasional masih cukup positif dan cenderung stabil dengan tingkat inflasi yang terjaga, serta berlanjutnya surplus neraca perdagangan,” jelasnya.
Kendati demikian, Mahendra mengingatkan adanya ancaman di balik tren menurunnya harga komoditas yang termoderasi pada kinerja di sektor impor. Untuk menanggulangi dampak tersebut, OJK sendiri mengaku akan mencermati dinamika perekonomian global seiring dengan kondisi fluktuasi komoditas ekspor.
“Oleh karena itu, lembaga jasa keuangan agar tetap mencermati faktor-faktor tersebut secara berkala,” tutupnya.
Deflasi Ancam Perumbuhan Ekonomi
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli 2024 sebesar 0,18 persen. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan Juli 2024 juga turun di level 106,09 dibandingkan Juni 2024 sebesar 106,28.
Adapun deflasi yang terjadi pada Juli 2024, menjadi yang paling dalam jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Sementara menururt catatan BPS, perekonomian Indonesia mengalami deflasi tiga bulan beruntun sepanjang 2024.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Guru Besar Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menilai, perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini harus dicermati dengan baik.
Pasalnya, deflasi yang terjadi saat ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas. “Harga tidak naik lalu kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya,” tutur Didik dalam keterangannya, Sabtu, 3 Agustus 2024.
Meski begitu, Didik menuturkan, deflasi secara umum merupakan gejala konsumen secara luas yang tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.
Deflasi yang terdengar menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tutur Didik, tetapi keadaan tersebut merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya.
Didik menegaskan, deflasi berdampak negatif secara luas terhadap perkonomian jika kebijakan makro dan sektor riil tidak bersifat antisipatif sebagaimana terjadi saat ini. Dampak negative yang tampak terjadi, kata dia, penurunan Pengeluaran konsumsi.
“Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapaatannya dan banyak yang menganggur,” tegasnya.
Dalam aspek kesempatan kerja peluang pekerjaan, tutur Didik, masalah pengangguran lebih berat yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal, terjadi kian marak belakangan ini.
Menurutnya, bantuan sosial yang besar sebagai jual beli suara politik tidak membantu memperbaiki keadaan, bahkan mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.
Didik menuturkan, masalah industri, pengangguran, dan deflasi terjadi karena konsumsi menurun. Sebagai Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, dia mengaku tak banyak langkah yang bisa diambil oleh industri selain memangkas biaya produksi dan melakukan efesiensi pekerja.
Di sisi lain, Didik menyebut ada warisan utang besar yang diwariskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pemerintahan baru. Dia mengingatkan, resesi bisa saja datang menjegal niat baik pertumbuhan ekonomi jika deflasi terus terjadi.
“Hati-hati kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia karena deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi, yang memburuk,” jelasnya.
Jika hal itu terjadi, Didik menilai, investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi. Menurutnya, kondisi dunia usaha akan mengoreksi perencanaannya dan menunda atau membatalkan rencana investasi lantaran ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.
Di sisi lain, peningkatan suku bunga riil berpotensi terjadi ketika suku bunga nominal rendah. Menurutnya, hal tersebut akan membuat pinjaman menjadi lebih mahal dan menghambat investasi dan pengeluaran.
Lebih jauh, Didik menilai, mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen yang ditargetkan presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan terkubur jika deflasi tidak segera di atasi.
“Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri,” tutupnya. (*)