KABARBURSA.COM - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah mengkaji penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Evaluasi meliputi tiga aspek: ekuitas, kualitas, dan tarif, sesuai masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menjelaskan bahwa dari 253.124 tempat tidur di rumah sakit BPJS Kesehatan, penerapan KRIS berpotensi mengurangi 23.227 tempat tidur atau 9,1 persen dari total. Namun, hal ini tidak serta merta mengurangi akses masyarakat ke rumah sakit karena tidak semua rumah sakit memiliki rasio hunian tempat tidur yang sama.
"Secara keseluruhan, rasio hunian tempat tidur rumah sakit sekitar 50 persen-60 persen. Dengan mengurangi tempat tidur, mungkin rasio hunian akan meningkat. Saat ini, rasio tersebut identik dengan 1,3 berbanding 1.000 penduduk," ujar Dante dalam rapat dengar pendapat mengenai BPJS Kesehatan, Kamis (6/6/2024).
Rasio ini sejalan dengan mandat WHO yang menyatakan bahwa rasio tempat tidur adalah 1 berbanding 1.000 penduduk.
Kemenkes juga akan mengevaluasi kualitas kebijakan KRIS. Idealnya, program ini meningkatkan kualitas layanan dari 8-10 orang per kamar menjadi 4 orang per kamar. Namun, kualitas ini perlu dievaluasi dan diseragamkan agar semua rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, memenuhi kriteria KRIS.
Selain itu, tarif kebijakan KRIS sedang direvisi dan belum final. Pengurangan tempat tidur tidak akan merugikan rumah sakit. Saat ini, tarif iuran KRIS dikaji oleh Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan, dan Kemenkes untuk menetapkan iuran yang tepat dan tidak memberatkan masyarakat.
"Evaluasi ini dan masukan dari anggota dewan akan kami jadikan pertimbangan apakah program KRIS disetujui, diteruskan, dievaluasi, atau ditunda," jelas Dante.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang menghapus kelas layanan 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. Aturan ini mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan.
Polemik mengenai penerapan Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menggantikan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan telah menimbulkan berbagai kekhawatiran dan perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerintah. Penerapan KRIS masih dalam tahap uji coba dan evaluasi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) demi memastikan publik tetap mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
"KRIS mendapat banyak sorotan karena diduga akan mengurangi akses masyarakat terhadap layanan kesehatan," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Dalam rapat DPR RI bersama Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan, Edy menegaskan bahwa niat baik untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan melalui KRIS perlu diapresiasi, namun pelibatan masyarakat dalam penerapannya sangat penting.
"Mereka yang membayar iuran sekaligus menikmati fasilitasnya," tambah Edy.
Dia juga menyoroti bahwa pemerintah belum menetapkan iuran karena masih menghitung aktuaria. Kabar beredar menyebut akan ada iuran tunggal, yang perlu segera dijawab pemerintah untuk memberikan kepastian.
“Jika iuran benar satu harga, ini bisa mengaburkan prinsip gotong royong di JKN dan menurunkan pendapatan iuran JKN,” jelasnya.
Edy menambahkan, jika iuran harus naik, harus ada sosialisasi kepada masyarakat, dan jangan dilakukan mendadak.
"Sampai Juni 2025 masih ada waktu untuk survei atau FGD dengan masyarakat mengenai layanan kesehatan yang diinginkan dan kemampuan membayar iuran," ungkapnya.
Dengan informasi ini, pemerintah dapat memperbaiki desain rawat inap standar yang seimbang antara akses dan pembiayaan.
Edy juga menyoroti Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 yang mengharuskan RS swasta menyediakan minimal 40 persen tempat tidur untuk KRIS, sementara RS pemerintah minimal 60 persen. Meskipun ini minimal, banyak RS swasta kesulitan menyesuaikan ruang perawatan dengan syarat KRIS.
"Saya khawatir ini bisa menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan," katanya.
Dia mengaku sering mendengar keluhan dari RS, terutama RS swasta milik organisasi keagamaan, yang kesulitan mencari dana untuk memenuhi syarat KRIS.
"RS pemerintah didukung APBD, RS swasta mungkin ada investasi, tapi RS swasta keagamaan yang bergantung pada iuran masyarakat kebingungan mencari dana," ucap Edy.
Dia juga khawatir jika KRIS diterapkan dan ada RS yang belum memenuhi standar, maka RS tersebut akan diputus kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Selain itu, Edy menyoroti ketidaksesuaian antara laporan Kemenkes dengan data di lapangan. Kemenkes menyebut banyak rumah sakit sudah siap mengganti kelas rawat inap menjadi KRIS, namun data di lapangan berbeda.
"Saya minta pemerintah mematangkan lagi konsep kelas rawat inap ini," tutupnya.
Evaluasi KRIS
Pemerintah dan berbagai pihak terkait diharapkan dapat menemukan solusi terbaik yang tidak hanya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tetapi juga menjaga keterjangkauan bagi seluruh lapisan masyarakat. Berikut adalah beberapa poin penting terkait isu ini:
- Kekhawatiran Masyarakat:
- Banyak masyarakat khawatir dengan potensi kenaikan iuran atau kualitas pelayanan yang tidak optimal. Perubahan ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan kamar rawat inap yang memadai.
- Ekuitas dan Kualitas:
- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengevaluasi kebijakan KRIS berdasarkan tiga aspek: ekuitas, kualitas, dan tarif. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa penerapan KRIS tidak merugikan masyarakat, terutama mereka yang menggunakan kelas III.
- Dampak Ekonomi:
- Kebijakan ini berpotensi membuat iuran peserta mandiri menjadi satu tarif (single tarif). Hal ini dapat menyebabkan iuran kelas I dan II turun, sementara kelas III diproyeksikan naik, yang berpotensi meningkatkan jumlah peserta yang menunggak pembayaran.
- Rumah sakit, terutama swasta, mungkin menghadapi tantangan finansial dalam merenovasi ruang perawatan agar sesuai dengan standar KRIS.
- Respon Pemerintah:
- Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa perubahan kelas ini bukan penghapusan melainkan peningkatan kualitas. Mereka menegaskan bahwa pelayanan akan disederhanakan dan kualitasnya akan ditingkatkan sehingga semua kelas layanan akan naik standar.
- Desain Pembiayaan:
- DPR RI meminta pemerintah untuk memastikan bahwa desain dan konsep KRIS matang sebelum diterapkan secara penuh. Mereka juga mengingatkan agar kebijakan ini tidak memberatkan peserta BPJS Kesehatan, terutama yang mandiri dan berasal dari kelas ekonomi bawah. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.