KABARBURSA.COM - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) angkat suara ihwal pembelian 50 pesawat Boeing yang merupakan bagian dari kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani menyampaikan saat ini Perseroan dan Boeing tengah melakukan komunikasi secara intensif untuk membahas detail kebutuhan ammada yang sesuai dengan pangsa pasar Garuda.
Ia mengatakan rencana pembelian pesawat tersebut merupakan salah satu langkah strategis jangka panjang dalam upaya penyehatan Perseroan.
"Melalui transformasi bisnis dengan penguatan armada dan optimalisasi jaringan penerbangan dalam lima tahun ke depan," ujar dia dalam keterbukaan informasi, Senin, 21 Juli 2025.
Wamildan menyebut pembelian 'burung besi' telah disetujui oleh Menteri BUMN, Erick Thohir yang sebelumnya juga telah disetujui oleh Presiden Indonesia, Prabowo Subianto pada 23 Juni 2025.
"Perseroan juga secara paralel tengah menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak pemberi dana potensial," katanya.
Lebih jauh ia menyatakan, penambahan armada akan menunjang transformasi bisnis Garuda dari aspek network dan fleet melalui rasionalisasi jaringan rute yang didasari pada profitability uplift potential dan strategic network serta ekspansi armada yang align dengan dengan permintaan market.
Meski begitu, Wamildan menegaskan pihaknya akan tetap menjaga efisiensi atas operating cost, yang diharapkan dapat mengoptimalkan pendapatan Perseroan.
"Saat ini Perseroan dan Boeing melanjutkan komunikasi secara intensif untuk membahas lebih komprehensif terkait detail kebutuhan armada yang sesuai dengan pangsa pasar Perseroan, termasuk terkait dengan waktu delivery pesawat. Hal ini juga mempertimbangkan dari sisi kesiapan Boeing untuk menyediakan tipe pesawat yang dibutuhkan oleh Perseroan," pungkasnya.
Perlu diketahui, pembelian pesawat tersebut merupakan bagian dari syarat kesepakatan tarif 19 persen yang dicanangkan AS terhadap produk dari Indonesia.
Dalam persyaratan, Indonesia diharuskan membeli 50 pesawat buatan Boeing. Kesepakatan juga mengharuskan Indonesia membeli energi dan mengimpor produk pertanian dari Negeri Paman Sam.
Tak hanya itu, Presiden AS, Donald Trump menyatakan barang ekspor AS ke Indonesia tidak akan dikenakan biaya atau nol persen.
Investor Perlu Hati-hati, Tarif Trump Bisa Picu Volatilitas
Analis Stocknow.id, Abdul Haq Al Faruqy, mengatakan kebijakan tarif tersebut menunjukkan ketimpangan struktural dalam hubungan dagang kedua negara.
Menurut Abdul, kebijakan itu menimbulkan beban besar bagi eksportir Indonesia karena produk mereka menjadi kurang kompetitif di pasar AS.
"Terutama pada sektor manufaktur padat karya seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan komponen otomotif yang selama ini bergantung pada ekspor ke AS," ujar dia kepada Kabarbursa.com dikutip, Sabtu, 19 Juli 2025.
Sebaliknya, jelas Abdul, produk dari AS dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif, membuatnya lebih kompetitif dibandingkan produk lokal, dan berpotensi mengancam pelaku usaha kecil serta industri dalam negeri.
Dari sisi makroekonomi, Abdul memperkirakan tarif ini bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase, terutama karena pelemahan ekspor akan mengurangi kontribusi terhadap PDB.
"Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan risiko penurunan aliran investasi asing turut memperburuk ketahanan ekonomi domestik. Sebagai langkah antisipasi, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya menjadi 5,25 persen pada Juli 2025 untuk mendorong permintaan domestik dan menjaga stabilitas moneter," terangnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.