Logo
>

Garuda (GIAA) Mau Borong Boeing di Tengah Utang Jumbo

Pemerintah kembali aktifkan kontrak pembelian 50 Boeing 737 Max 8 untuk Garuda, meski kondisi keuangan GIAA masih defisit triliunan.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Garuda (GIAA) Mau Borong Boeing di Tengah Utang Jumbo
Pesawat Garuda Indonesia, perusahaan pelat merah dan emiten berkode saham GIAA di sebuah landasan pacu bandara. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk atau GIAA kembali menyita perhatian publik menyusul pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir: rencana pembelian 50 unit pesawat Boeing 737 Max 8 dari Amerika Serikat (AS).

Kebijakan Menteri BUMN itu memunculkan pertanyaan serius mengenai tata kelola dan efisiensi pengelolaan perusahaan pelat merah penerbangan nasional tersebut.

"Pengadaan pesawat itu kami bicara sama Boeing. Kami sudah punya kontrak dulu, tetapi pernah ada kejadian yang kurang baik, kalau Bapak-Ibu ingat pernah ada kecelakaan pesawat dulu, nah di situlah kita tidak menindaklanjuti kontrak tersebut," kata Erick dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Selasa, 20 Mei 2025.

Erick menyebut bahwa pembelian 50 unit Boeing 737 Max 8 adalah bagian dari diplomasi perdagangan yang lebih besar dengan Amerika Serikat.

Ia menekankan bahwa kesepakatan ini tidak hanya berdimensi komersial, tetapi juga memiliki nilai strategis dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan antarnegara.

Erick menjelaskan bahwa sebelumnya Indonesia telah memiliki kontrak dengan Boeing, namun sempat tertunda akibat insiden kecelakaan pesawat.

Kini, dengan adanya perbaikan sistem dan teknologi pada pesawat Boeing yang telah mendapatkan persetujuan dari berbagai negara, Indonesia kembali menyampaikan kebutuhan armada kepada Boeing melalui penyusunan kontrak baru dengan jumlah pesawat yang sama seperti perjanjian sebelumnya.

Namun, langkah tersebut menuai kritik tajam dari pengamat BUMN sekaligus Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus.

Ia menilai bahwa keputusan membeli pesawat dalam jumlah besar di tengah kondisi keuangan Garuda yang belum sepenuhnya pulih menunjukkan lemahnya prinsip kehati-hatian dalam tata kelola perusahaan milik negara.

"Sebagai pemilik modal, Kementerian BUMN memang memiliki kewenangan untuk memerintahkan Garuda melakukan ekspansi, termasuk pembelian pesawat. Namun, pertanyaannya, apakah Garuda saat ini punya kemampuan finansial dan teknis untuk mengoperasikan 50 pesawat baru tersebut?" ujar Achmad Yunus kepada Kabarbursa.com pada Kamis, 22 Mei 2025.

Achmad mengingatkan bahwa Garuda Indonesia masih bergulat dengan persoalan fundamental yang belum sepenuhnya tuntas, termasuk utang jumbo, masalah pengadaan pesawat di masa lalu, serta beban operasional yang tinggi.

Menurutnya, penyembuhan struktural seharusnya menjadi prioritas utama, bukan pembelian aset baru yang justru berpotensi memperberat beban perusahaan.

"Penyembuhan GIAA bukan dengan membeli pesawat baru, tapi melalui pembenahan fundamental keuangan terlebih dahulu. Menambah pesawat artinya menambah biaya. Ini bisa jadi bumerang," kata dia.

Ia juga menyoroti bahwa pengadaan pesawat era sebelumnya yang sarat masalah masih menjadi beban operasional dan keuangan hingga saat ini.

Hal ini memperkuat argumen bahwa langkah akuisisi pesawat baru, terutama dalam jumlah besar, tidak mencerminkan prinsip manajerial yang bertanggung jawab secara fiskal.

Dari sisi governance, pengamat menilai keputusan ini tampak lebih didorong oleh tekanan geopolitik dan diplomasi perdagangan ketimbang rasionalitas bisnis jangka panjang.

Padahal, sebagai perusahaan terbuka dan operator strategis, Garuda Indonesia semestinya menjaga prinsip efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan usaha.

Kinerja Keuangan Garuda Indonesia (GIAA)

Garuda Indonesia menutup tahun buku 2024 dengan kondisi keuangan yang masih terbebani tekanan historis. Emiten berkode saham GIAA ini membukukan rugi bersih sebesar USD69,77 juta sepanjang 2024, setelah pada tahun sebelumnya sempat mencatatkan laba bersih senilai USD251,99 juta.

Pembalikan kinerja ini terutama disebabkan oleh membengkaknya beban keuangan dan tekanan dari pos beban lainnya yang mencapai USD2,71 miliar, naik signifikan dari USD2,31 miliar pada 2023.

Meski mencetak pendapatan usaha sebesar USD3,42 miliar, naik dari USD2,94 miliar pada 2023, kenaikan ini tidak cukup untuk menahan lonjakan biaya yang merusak margin keuntungan.

Kondisi neraca Garuda juga menunjukkan situasi yang belum sepenuhnya pulih. Total liabilitas per 31 Desember 2024 mencapai USD8,01 miliar, sedikit menurun dibanding akhir 2023. Namun, posisi ekuitas perusahaan tetap berada di zona negatif, yakni sebesar minus USD1,35 miliar, mengindikasikan bahwa beban utang masih jauh melampaui aset bersih perusahaan.

Hingga akhir 2024, total aset konsolidasian tercatat sebesar USD6,62 miliar, yang terdiri dari aset lancar senilai USD553,9 juta dan aset tidak lancar senilai USD6,06 miliar.

Memasuki tiga bulan pertama 2025, tekanan keuangan Garuda belum menunjukkan tanda perbaikan berarti.

Pada kuartal I 2025, perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar USD75,93 juta, memburuk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD86,82 juta. Rugi komprehensif juga melebar menjadi USD78,69 juta, mencerminkan kerugian dari perbedaan kurs penjabaran dan pos penghasilan komprehensif lainnya.

Di sisi top line, Garuda masih mampu mencetak pendapatan usaha sebesar USD723,56 juta, naik tipis dari USD711,98 juta pada kuartal I 2024.

Namun, upaya efisiensi operasional tampaknya belum cukup meredam tekanan dari sisi pembiayaan. Beban bunga dan keuangan tetap tinggi, mencapai USD124,57 juta hanya dalam tiga bulan pertama. Beban lainnya juga tercatat besar, yakni USD630,4 juta, mendominasi struktur pengeluaran perusahaan.

Per 31 Maret 2025, total liabilitas Garuda berada di angka USD7,89 miliar, dengan ekuitas tetap negatif USD1,43 miliar, menandakan bahwa maskapai pelat merah ini masih terjebak dalam posisi insolvensi teknikal.

Kinerja dan Valuasi Saham GIAA

Melansir dari data perdagangannya hari ini, saham GIAA tercatat berada di level Rp50 per lembar pada perdagangan hari ini. Jika ditarik mundur ke 19 Maret 2025, saham ini telah mencatatkan kenaikan signifikan dari posisi Rp31 per lembar, menunjukkan tren bullish dalam dua bulan terakhir.

Saham GIAA saat ini menyandang notasi khusus “EX” dari Bursa Efek Indonesia. Notasi ini menunjukkan bahwa emiten tengah melakukan atau merencanakan aksi korporasi, yang dapat berupa right issue, pembagian dividen, buyback saham, stock split, atau langkah strategis lain yang berdampak pada struktur permodalan. Dalam kasus Garuda, notasi EX berkaitan dengan serangkaian langkah restrukturisasi dan ekspansi strategis, termasuk rencana penambahan armada pascarestrukturisasi utang.

Selain notasi EX, saham GIAA juga dilengkapi notasi tambahan yang menandakan adanya kondisi atau catatan tertentu dari regulator yang perlu dicermati investor. Penyematan notasi-notasi ini mencerminkan tantangan tata kelola dan kesehatan keuangan Garuda Indonesia, meski manajemen sedang berupaya membenahi kondisi operasional dan keuangan melalui berbagai kebijakan korporasi.

Dari sisi valuasi, rasio price to earnings (PE) GIAA tercatat negatif, baik secara tahunan sebesar -0,91 maupun trailing twelve months (TTM) sebesar -4,59. Hal ini mencerminkan bahwa perusahaan masih mencatatkan kerugian bersih dalam periode tersebut. Rasio price to book value (PBV) juga berada di zona negatif, yakni -0,20, menunjukkan nilai pasar perusahaan lebih rendah dari nilai buku yang juga negatif. Sementara itu, earnings yield (TTM) berada di level -21,77 persen, menandakan tekanan terhadap kemampuan menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham.

Laba per saham (EPS) dalam 12 bulan terakhir tercatat sebesar -10,88, sedangkan EPS tahunan sebesar -54,71. Nilai buku per saham berada di level negatif -253,29, sejalan dengan posisi ekuitas yang masih minus pascarestrukturisasi utang dan kerugian beruntun dalam beberapa tahun terakhir.

Dari sisi profitabilitas, margin laba bersih kuartalan tercatat sebesar -10,57 persen. Return on assets (ROA) berada di -0,93 persen, dan return on equity (ROE) tercatat 4,30 persen. Sementara itu, return on invested capital (ROIC) tercatat positif di angka 14,41 persen, yang mengindikasikan efisiensi dalam penggunaan dana yang telah dihimpun perusahaan.

Dalam aspek solvabilitas, Garuda mencatatkan rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) sebesar -2,70. Rasio ini menandakan bahwa ekuitas perusahaan berada di wilayah negatif dan sebagian besar pembiayaan perusahaan berasal dari utang. Rasio current ratio dan quick ratio masing-masing berada di angka 0,46 dan 0,39, jauh di bawah ambang batas sehat 1,0. Hal ini menunjukkan tantangan likuiditas jangka pendek yang masih cukup serius. Altman Z-Score GIAA berada di level -2,38, yang menurut indikator tersebut menempatkan perusahaan pada zona risiko tinggi terhadap kebangkrutan.

Garuda Indonesia juga belum membagikan dividen selama lebih dari satu dekade. Data terbaru menunjukkan bahwa dividend yield, payout ratio, dan data dividen (TTM) masih nihil. Hal ini mencerminkan bahwa perusahaan belum memiliki kapasitas untuk membagikan imbal hasil langsung kepada pemegang saham dalam bentuk dividen.

Meski begitu, dari sisi operasional, Garuda menunjukkan tanda perbaikan bertahap. Pendapatan kuartalan tumbuh 6,14 persen secara tahunan (year-on-year), sedangkan laba bersih kuartalan meningkat 8,22 persen YoY. Kenaikan ini menunjukkan bahwa aktivitas bisnis perlahan pulih, meskipun belum cukup untuk mengembalikan kondisi keuangan secara menyeluruh.

Di pasar, saham GIAA memiliki Piotroski F-Score sebesar 4, yang menunjukkan fundamental perusahaan masih berada pada tingkat lemah. Relative strength rating saham ini hanya 15 persen, menandakan bahwa kinerjanya dalam 12 bulan terakhir masih tertinggal dibandingkan mayoritas saham lain di Bursa Efek Indonesia. Saham ini juga tercatat berada di peringkat 99 persen untuk rasio PE, dan 98 persen untuk price to sales, mengindikasikan bahwa saham ini tergolong sangat murah jika dibandingkan dengan pendapatan yang dibukukan. Namun, jarak terhadap harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir hanya berada di angka 28 persen, yang menunjukkan bahwa tekanan jual masih cukup tinggi.

Garuda saat ini memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp4,57 triliun, dengan enterprise value mencapai Rp62,86 triliun. Angka tersebut menunjukkan bahwa valuasi pasar belum sepenuhnya mencerminkan pemulihan kinerja keuangan secara menyeluruh.

Hingga laporan ini ditulis, pihak manajemen Garuda Indonesia belum menyampaikan pernyataan resmi. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".