KABARBURSA.COM - Generasi Z atau Gen Z yang masuk kategori pengangguran berpotensi menjadi salah satu faktor pendorong terhambatnya rencana pemerintah mencapai Indonesia emas 2045.
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menyampaikan alasan mengenai fenomena pengangguran Gen Z bisa memengaruhi rencana tersebut karena terdapat satu faktor penting yakni sumber daya manusia (SDM).
"Salah satunya (pengangguran Gen Z pengaruhi Indonesia emas 2045), tapi bukan satu-satunya faktor. Tapi salah satu faktor adalah tentang sumber daya manusia, kalau ini kan masalahnya kompleks," ujarnya kepada Kabar Bursa, Selasa, 21 Mei 2024.
Fenomena Gen Z menganggur, sambung Hadi, merupakan bagian yang sulit dihadapi pemerintah. Salah satu alasannya karena berhadapan langsung dengan banyak manusia yang tidak mudah untuk diatur.
"Ini soal manusia yang tidak gampang untuk diatur apalagi dengan negara kita yang sangat demokrasi. Tapi salah satunya konsen tentang human resources," ujarnya.
Solusi yang pernah ditawarkan pemerintah untuk menghadapi persoalan tersebut adalah kebijakan merdeka belajar. Selain bertujuan menekan angka pengangguran, kurikulum dalam kebijakan ini memiliki tujuan menyocokan kompetensi dengan kebutuhan di lapangan kerja.
“Langkahnya sebenarnya sudah dimulai, tapi perlu diakselerasi. Misal penyesuaian kurikulum dengan kebijakan merdeka belajar, itu kan sebenarnya untuk me-match-kan antara kompetensi dengan di lapangan,” kata dia
Akan tetapi, Hadi menilai langkah tersebut perlu diakselerasi lagi dengan alasan dalam kondisi di lapangan, individu banyak dihambat oleh para stakeholder terkait dengan berbagai macam argumentasi teori.
Lebih lanjut, Hadi menyebutkan bahwa pemerintah memang sudah menawarkan solusi berikutnya melalui program pelatihan prakerja, khususnya menyasar Gen Z. Sayangnya, pemerintah tidak optimal mengerjakannya sehingga menjadi kurang efisien. Bentuknya seperti memberi orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) kartu tersebut, alih-alih kepada lulusan baru atau freshgraduate.
“Kita tahu waktu pandemi prakerja malah dibuat untuk orang yang terkena PHK. Sebenarnya kartu prakerja kan untuk menyiapkan orang yang mau bekerja, ini mungkin perlu direvitalisasi,” jelasnya.
Di sisi lain Tantan Hermansah, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, menyampaikan pandangannya mengenai definisi Indonesia emas. Ia menegaskan bahwa tujuan itu akan tercapai ketika semua orang memiliki kehidupan sejahtera.
"Indonesia emas bukan persoalan bagaimana orang mendapatkan pekerjaan, tetapi, Indonesia emas itu ditopang oleh semua orang yang hidupnya makmur sejahtera yang mereka memiliki akses kepada sumber daya material, secara lebih bebas, terbuka, transparan, dan mudah," jelasnya.
Meski begitu, Tantan meyakini salah satu cara mencapai tujuan itu adalah dengan memberi penghasilan kepada setiap orang, yang dalam konteks ini adalah Gen Z. Namun menurutnya, orang berpenghasilan tidak hanya didapat dari kerja konvensional sehingga belum tentu seorang pengangguran.
"Pemerintah perlu memahami bahwa bisa saja Gen Z yang dinyatakan menganggur itu memiliki penghasilan dari pekerjaan yang tidak terdaftar. Jadi berpenghasilan belum tentu didapatkan dengan cara bekerja seperti definisi mereka," tandasnya.
Prakerja Tidak Efektif
Program Kartu Prakerja yang digagas pemerintah Indonesia dengan tujuan mengurangi pengangguran dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja telah berlangsung 4 tahun, tepatnya sejak 2020-2024.
Namun, efektivitasnya dalam mengatasi masalah pengangguran masih dipertanyakan. Mengingat, berdasarkan data Badan Pusa Statistik (BPS) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2023 sebesar 5,32 persen, atau turun secara tahunan (YoY) sebesar 0,54 persen poin dibanding Agustus 2022.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance ( INDEF) Esther Sri Astuti, mengatakan Kartu Prakerja seharusnya lebih dari sekadar program pelatihan. Tapi juga bisa menjadi mediator antara pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Esther menyoroti bahwa selama ini, lulusan Kartu Prakerja harus mencari pekerjaan sendiri setelah menyelesaikan pelatihan, tanpa ada jaminan mereka akan mendapatkan pekerjaan.
Dia menekankan pentingnya peran Kartu Prakerja sebagai perantara antara pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Dengan demikian, pencari kerja akan memiliki kepastian lebih besar untuk memperoleh pekerjaan setelah menyelesaikan pelatihan.
“Kartu Prakerja seharusnya menjadi mediator di antara kedua pihak itu. Jadi pelatihan yang diselenggarakan oleh Kartu Prakerja, dengan melakukan seleksi dari calon tenaga kerja, kemudian diberikan pelatihan, langsung bisa diserap oleh perusahaan-perusahaan itu,” jelas Esther kepada Kabar Bursa, Jumat 17 Mei 2024.
Selain itu, Esther juga membahas tren pengangguran yang tidak menunjukkan penurunan signifikan. Dia mengaitkan hal ini dengan kurang optimalnya fungsi Kartu Prakerja. Menurutnya, jika program ini dioptimalkan, kontribusinya terhadap pengurangan pengangguran bisa lebih besar.
“Kita harus mengatasi masalah link and match antara ketersediaan tenaga kerja dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Selain itu, investasi yang masuk ke Indonesia harus berorientasi pada padat karya, sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja,” tambah Esther.