KABARBURSA.COM - Sebuah laporan mengungkapkan bahwa banyak kaum muda semakin enggan melanjutkan kuliah, sebagian karena masalah biaya. Menurut laporan National Student Clearinghouse Research Center, jumlah siswa sekolah menengah atas atau SMA yang tidak melanjutkan pendidikan mereka telah meningkat sejak dimulainya pandemi Covid-19. Angkatan tahun 2024 hanya terdiri dari lebih dari 900 ribu orang, lebih sedikit dari yang terdaftar pada tahun 2020.
Selain itu, laporan dari Pew Research Center menyatakan bahwa sebanyak 22 persen responden menganggap biaya kuliah sebanding dengan beban utang pendidikan.
Analis dari Pew yang dikutip oleh CNBC Internasional menyatakan bahwa kondisi pekerjaan bagi mereka tanpa gelar sarjana juga semakin membaik. Dari tahun 1970, yang pada awalnya cenderung rendah, keadaan ini mulai berubah sejak satu dekade terakhir.
Menurut peneliti senior dari Pew, Richard Fry, tingkat pengangguran telah menurun secara signifikan. Selain itu, peluang bagi pekerja berusia 25-34 tahun juga terus meningkat.
"Pasar tenaga kerja sangat ketat sekarang dan ini khususnya menguntungkan untuk pekerja berpendidikan rendah," kata dia, dikutip, Sabtu, 25 Mei 2024.
Fenomena ini juga dihadapkan oleh mendapatkan uang atau investasi dalam pendidikan. Pasar tenaga kerja juga dilaporkan mengalami kekurangan.
"Pilihan masyarakat untuk calon mahasiswa ini, mendapatkan uang layak sekarang atau investasi dalam gelar, diwarnai dengan kekurangan tenaga kerja," kata pendiri dan Presiden Lakhani Coaching, Hafeez Coaching.
Namun mereka yang memegang gelar sarjana juga tak sepenuhnya tidak beruntung. Sebab Pew mengungkapkan pendapatkan para sarjana mengalami kenaikan dalam periode yang sama.
Bank Sentral New York melaporkan gaji mereka lulusan perguruan tinggi (usia 22-27 tahun) 67 persen lebih tinggi dari mereka yang memegang ijazah SMA.
Gen Z Ingin jadi CEO
Sementara itu, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Mckinsey & Co menemukan bahwa Generasi Z merupakan generasi yang paling tertarik untuk menjadi Chief Operating Officer (CEO) atau pemimpin perusahaan.
Jumlah Generasi Z yang menyatakan keinginan untuk menduduki posisi CEO di sebuah perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan generasi lain, seperti Gen X, generasi Milenial, dan Baby Boomer.
Riset dari firma konsultasi manajemen Amerika Serikat tersebut difokuskan pada Generasi Z yang belum mencapai posisi tinggi di perusahaan-perusahaan AS. Hasilnya menunjukkan bahwa Generasi Z memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk menyatakan keinginan menjadi CEO dibandingkan dengan Gen X.
"Masing-masing sebesar 38 persen (Gen Z), dibandingkan 18 persen (Gen X)," tulis riset Mckinsey dikutip dari CNBC Internasional, Sabtu, 25 Mei 2024.
McKinsey & Co juga melaporkan persentase generasi Baby Boomer yang menyatakan ingin menjadi CEO berada di angka 21 persen, sementara untuk generasi Milenial angkanya juga tinggi mencapai 31persen.
Perlu diketahui, Gen Z merupakan generasi yang lahir pada periode 1997 hingga 2012. Sementara, generasi Milenial adalah mereka yang lahir pada periode 1981-1996; adapun Gen X lahir pada 1965-1980; dan Baby Boomer lahir pada periode 1946-1964.
Sebagian besar Gen Z tumbuh dewasa di tengah pandemi Covid-19. Sebuah masa yang ditandai dengan keresahan sosial yang mendalam dan fenomena burnout yang meluas. Kondisi ini diduga menjadi faktor yang mempengaruhi keinginan mereka untuk menjadi bos bagi diri mereka sendiri dan melakukan pekerjaan dengan mandiri, serta penuh fleksibilitas.
Pada 2024, McKinsey memperkirakan jumlah Gen Z yang masuk dunia kerja akan melebihi jumlah pekerja Baby Boomer untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, akan terjadi pergantian generasi di tempat-tempat kerja seluruh dunia.
Namun, Generasi Z bersama Generasi Milenial kerap mendapatkan stereotipe yang kurang enak. Mereka dianggap sebagai anak-anak manja, malas dan merasa berhak mendapatkan pekerjaan.
"Kedua generasi memiliki nilai-nilai yang sama," kata Direktur Operasional Hemmat Law Group berusia 27 tahun, John Avi Socha.
Socha menilai generasi Milenial adalah mereka yang paling terdampak oleh krisis finansial yang terjadi pada 2008. Krisis yang bermula dari sektor perumahan itu, kata dia, membuat karir dan penghasilan mereka terhambat.
Meningkatnya utang mahasiswa dan meningkatnya biaya real estat, kata dia, semakin menekan generasi milenial, yang menurut Socha telah membuat beberapa pemimpin milenial menjadi "lebih lesu dan berhati-hati" dibandingkan pemimpin generasi Z.