KABARBURSA.COM – PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) kembali menjadi pusat perhatian pasar usai merilis laporan kinerja kuartal III 2025 pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Untuk pertama kalinya sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2022, GoTo berhasil mencatatkan laba sebelum pajak yang disesuaikan sebesar Rp62 miliar. Meski begitu, perusahaan teknologi hasil merger dua raksasa digital, Gojek dan Tokopedia, ini masih belum mampu membukukan laba bersih.
Sementara dari lantai bursa, saham GOTO justru menunjukkan sedikit penguatan. Pada perdagangan terakhir pekan ini, saham GOTO naik 5,36 persen ke level 59 per saham pada Kamis, 30 Oktober 2025 siang, menandai optimisme sebagian pelaku pasar terhadap upaya efisiensi perusahaan.
Namun di berbagai platform media sosial, muncul kembali perdebatan mengenai arah masa depan GoTo dan daya saing ekosistem teknologi Indonesia secara keseluruhan.
Pengamat sekuriti dan finansial Vaksincom, Alfons Tanujaya, menilai fenomena GoTo tidak bisa dilepaskan dari karakteristik industri teknologi global yang memang cenderung “bakar uang” di fase awal pertumbuhannya.
“Namanya bisnis unicorn ya, memang begitu, bakar duit dulu. Uber juga sampai sekarang masih bakar duit. Kalau mau model bisnis yang langsung kasih keuntungan, ya bukan yang seperti ini,” ujar Alfons kepada KabarBursa.com pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Menurutnya, GoTo saat ini berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi perusahaan harus menekan biaya operasional untuk mendekati profitabilitas, namun di sisi lain persaingan yang jorjoran membuat mereka tetap perlu mengeluarkan biaya besar untuk mempertahankan pelanggan.
“Kalau GoTo efisiensi, lalu saingannya jor-joran promosi, ya pelanggannya pindah. Jadi mau enggak mau Goto juga harus menyesuaikan diri. Kalau enggak jor-joran, lama-lama pelanggannya hilang,” ujar dia.
Alfons menilai bahwa secara umum, sektor teknologi Indonesia masih dalam fase transisi menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa kunci keberhasilan industri ini bukan semata pada valuasi besar, melainkan kemampuan untuk membangun ekosistem yang sehat dan efisien.
“Yang dibeli dari mereka itu prospeknya. Tapi kalau prospek itu mau jadi nyata, pemerintah harus sediakan infrastruktur dan regulasi yang mendukung,” ujarnya.
Peran Pemerintah di Sektor Teknologi Masih Nihil
Lebih jauh, Alfons menyoroti perlunya peran aktif pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi digital. Ia menilai kebijakan saat ini masih sering dianggap terlalu menekan pelaku industri, terutama dalam aspek pajak dan perizinan.
Ia menyoroti bahwa di Indonesia, banyak sektor digital yang baru tumbuh justru terlalu cepat dikenai berbagai pungutan dan regulasi yang memberatkan.
“Jangan lihat orang baru bisa cari duit sedikit, langsung berbagai macam aturan, pajak, dan pungutan keluar. Datang berbagai pihak minta uang. Enggak bisa begitu. Ada sektor-sektor yang baru berkembang, malah langsung diporotin. Itu justru mematikan ekosistem teknologi kita,” ucap dia.
Sebagai perbandingan, ia mencontohkan bagaimana beberapa negara bagian di Amerika Serikat memberi insentif besar bagi pengembangan teknologi. “Ada daerah yang kasih bebas pajak 30 tahun buat Amazon bangun data center. Nah, pemerintah kita berani nggak sampai ke situ?” tegasnya.
Ke depan, Alfons menilai arah pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan pada adaptasi terhadap tren global seperti kecerdasan buatan (AI) dan komputasi awan, namun dengan pendekatan produktif.
“Kalau sekarang lagi tren AI, ya sesuaikan diri. Tapi jangan AI yang konsumtif, harus produktif. Kita harus bisa manfaatkan momentum persaingan global antara China dan Amerika dengan cerdas,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai fondasi daya saing jangka panjang. “Teknologi itu padat skill, bukan padat tenaga kerja. Jadi jangan cuma banyak orang, tapi tidak punya kemampuan. Harus tingkatkan keahlian, terutama di bidang AI. Karena kalau pendidikan kita ketinggalan, ya industrinya juga ketinggalan,” pungkasnya.
Perjalanan GoTo masih panjang untuk benar-benar membuktikan profitabilitasnya. Namun pencapaian laba sebelum pajak yang disesuaikan untuk pertama kalinya menjadi sinyal bahwa strategi efisiensi mulai menunjukkan hasil.
Tantangannya kini adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, inovasi, dan keberlanjutan di tengah ekosistem teknologi yang terus berubah.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.