KABARBURSA.COM - PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) kembali menjadi sorotan investor dengan strategi buyback saham yang agresif sepanjang akhir 2024 hingga paruh pertama 2025.
Di tengah volatilitas harga saham dan tekanan pasar yang belum sepenuhnya mereda, langkah ini dipandang sebagai bentuk kepercayaan manajemen terhadap prospek jangka panjang perusahaan teknologi terbesar di Indonesia ini.
Berdasarkan data terbaru hingga April 2025, GOTO telah melakukan pembelian kembali saham secara konsisten dalam lima bulan terakhir. Rata-rata harga saham yang dibeli selama periode tersebut berkisar antara Rp69 hingga Rp82 per lembar, dengan nilai buyback dalam rupiah yang mencapai Rp1,8 triliun atau setara USD116 juta. Selama periode ini, GOTO telah menyerap 27,8 miliar lembar saham treasury, dengan pembelian terbanyak terjadi pada Desember 2024 dan Maret 2025.
Tidak hanya itu, GOTO juga telah menyusun rencana buyback lanjutan untuk tahun 2025-2026. Dengan nilai yang sama, yakni USD200 juta atau sekitar Rp3,3 triliun, buyback tahap kedua ini dijadwalkan berlangsung mulai 19 Juni 2025 hingga 18 Juni 2026, meski masih menunggu persetujuan RUPS pada 18 Juni mendatang. Hal ini menunjukkan konsistensi arah strategis perusahaan dalam menjaga stabilitas harga saham dan memperkuat nilai bagi pemegang saham.
Menariknya, sebagian saham hasil buyback ini nantinya akan digunakan untuk program Management and Employee Stock Option Plan (MESOP). Ini menjadi sinyal positif, karena menunjukkan bahwa GOTO tidak hanya fokus pada investor eksternal, tetapi juga pada insentif dan keterlibatan jangka panjang karyawan dalam pertumbuhan perusahaan. Adapun aturan memungkinkan transfer saham untuk MESOP dilakukan hingga tiga tahun setelah periode buyback berakhir.
Dengan kapitalisasi pasar yang masih sangat besar dan peran penting GOTO di ekosistem digital Indonesia, strategi buyback ini dipandang sebagai langkah defensif sekaligus ofensif. Di satu sisi, buyback menjaga kepercayaan pasar, sementara di sisi lain bisa memperkuat struktur kepemilikan dan menjaga harga saham tetap stabil di tengah fluktuasi pasar.
Bagi investor yang mencermati pergerakan GOTO, langkah ini menjadi semacam konfirmasi bahwa manajemen serius membangun nilai jangka panjang. Dan tentu saja, buyback yang agresif seperti ini memberi dorongan psikologis tersendiri bahwa saham ini belum kehilangan daya tariknya, justru mungkin sedang menyusun lompatan baru.
Terkoreksi di Jangka Pendek, Menyala di Lintasan Panjang
Saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) masih berada di jalur yang dinamis, dengan pergerakan yang cukup fluktuatif dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sepekan terakhir, harga saham GOTO terkoreksi sebesar 5,95 persen, ditutup di level Rp78, setelah sempat dibuka di Rp81 dan menyentuh level tertinggi harian di Rp83.
Tekanan jual terlihat cukup nyata dalam rentang waktu pendek, meski secara volume, transaksi terbilang aktif dengan volume harian sekitar 5,55 miliar saham, jauh di atas rata-rata volume bulanannya yang berada di kisaran 3,37 miliar.
Jika ditarik lebih jauh, dalam rentang satu bulan terakhir, harga saham GOTO juga melemah 1,25 persen, dan dalam tiga bulan turun 2,47 persen. Penurunan yang relatif moderat ini mencerminkan adanya konsolidasi harga setelah sebelumnya sempat mengalami reli teknikal.
Namun secara tahunan, saham ini masih memberikan return positif. Dalam satu tahun terakhir, GOTO berhasil menguat 21,54%, menunjukkan adanya pemulihan dari titik terendahnya.
Sementara, gambaran jangka panjangnya masih menyisakan banyak catatan. Dalam periode tiga tahun terakhir, saham GOTO sudah turun hingga 60,50 persen, dan penurunan lebih dalam tercatat dalam lima tahun terakhir, mencapai 79,06 persen.
Ini menjadi gambaran bahwa meskipun saham ini sempat mengalami fase koreksi besar, terutama pasca IPO dan tekanan makro, GOTO perlahan mulai bangkit dari fase tersebut, terutama seiring dengan berbagai langkah strategis perusahaan termasuk aksi buyback saham dan efisiensi operasional.
Menariknya, rasio price to earnings (P/E) masih belum tercatat, artinya GOTO saat ini belum membukukan laba bersih dalam hitungan tahunan atau belum menunjukkan EPS positif yang bisa diukur. Begitu pula dengan dividend yield yang masih kosong, sesuatu yang memang umum terjadi pada perusahaan teknologi yang masih dalam fase pertumbuhan dan ekspansi.
Dengan kapitalisasi pasar yang masih tinggi, yakni sekitar Rp90,21 triliun, GOTO tetap berada di jajaran emiten besar di bursa. Namun harga sahamnya masih jauh dari titik tertinggi 52 minggunya di Rp89, dan berada lebih dekat ke level bawah 52 minggu yaitu Rp50.
Artinya, masih ada ruang teknikal untuk pemulihan, terutama jika didukung oleh sentimen positif dari aksi buyback, perbaikan kinerja keuangan, atau bahkan potensi profitabilitas di masa depan.
Secara keseluruhan, pergerakan saham GOTO mencerminkan karakteristik tipikal perusahaan teknologi yang berada dalam masa transisi. Volatilitas tinggi, sentimen berubah cepat, tapi tetap ada harapan dan potensi jangka panjang selama strategi bisnisnya mampu menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan. Bagi investor dengan profil risiko moderat hingga tinggi, GOTO bisa menjadi saham yang menarik untuk terus dipantau.
Apa Sebabnya Harga Saham Terus Anjlok?
Langkah PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang melakukan buyback saham senilai triliunan rupiah ternyata belum cukup ampuh menopang harga sahamnya. Padahal, secara teori, aksi pembelian kembali saham oleh perusahaan biasanya menjadi sinyal positif, manajemen dianggap percaya diri terhadap nilai perusahaannya, jumlah saham beredar berkurang, dan tekanan jual seharusnya mereda.
Namun, dalam praktiknya, tidak selalu begitu. Kasus GOTO membuktikan bahwa buyback tak selalu langsung berdampak pada harga.
Hingga April 2025, GOTO telah menggelontorkan sekitar Rp1,8 triliun dari total rencana buyback sebesar Rp3,2 triliun. Jumlah itu cukup besar, dan telah menyerap lebih dari 27 miliar saham. Namun, alih-alih naik, harga saham justru mengalami tekanan. Dalam satu bulan terakhir, saham GOTO tercatat turun lebih dari 5 persen.
Lalu, kenapa buyback yang begitu agresif tidak berdampak seperti yang diharapkan?
Pertama, karena pasar melihat bahwa aksi ini tidak diiringi dengan perbaikan kinerja keuangan yang substansial. Hingga kini, GOTO belum mampu membukukan laba bersih tahunan.
Rasio price to earnings (P/E) perusahaan masih kosong, alias belum mencetak untung. Tanpa pertumbuhan kinerja yang jelas, aksi korporasi seperti buyback bisa dianggap sebagai manuver jangka pendek, bukan langkah strategis jangka panjang.
Kedua, tekanan jual dari investor lama juga tak bisa diabaikan. Saham GOTO telah mengalami koreksi tajam sejak IPO, bahkan turun lebih dari 60 persen dalam tiga tahun terakhir. Banyak investor ritel dan institusi besar yang kemungkinan besar melakukan realisasi rugi atau mengurangi eksposur secara bertahap, sehingga tekanan jual tetap ada meski perusahaan melakukan pembelian saham kembali.
Ketiga, pasar belum benar-benar pulih dari sikap skeptis terhadap saham-saham teknologi. GOTO memang memiliki ekosistem yang kuat, tetapi tantangan monetisasi dan efisiensi bisnis masih menjadi perhatian. Tanpa narasi pertumbuhan yang kuat, seperti rencana ekspansi besar, pencatatan anak usaha, atau lonjakan laba bersih—aksi buyback saja belum cukup untuk mengerek minat beli dari investor besar.
Yang juga perlu dicatat, sebagian besar saham yang dibeli kembali oleh GOTO direncanakan untuk digunakan dalam program Management and Employee Stock Option Plan (MESOP). Meski wajar, hal ini bisa mengirim sinyal ke pasar bahwa buyback bukan untuk memperkuat harga jangka panjang, melainkan untuk mengamankan insentif internal. Artinya, dampak buyback bisa terasa netral, bahkan cenderung defisit secara persepsi.
Secara keseluruhan, langkah buyback GOTO belum memberi efek instan terhadap harga saham karena pasar menunggu sesuatu yang lebih fundamental. Bagi investor, bukan hanya soal berapa besar uang yang dikeluarkan perusahaan untuk beli sahamnya sendiri, tetapi juga soal ke mana arah bisnis ini akan bergerak ke depan.
Jika dalam waktu dekat GOTO mampu menunjukkan kinerja operasional yang solid dan menjanjikan profitabilitas yang konsisten, maka buyback bisa menjadi katalis kuat. Namun selama itu belum terjadi, pasar akan tetap berhati-hati.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.